Â
Indonesia Mendidih: Konflik Natuna Memanas Mengancam Kedaulatan
 Tak kunjung usai, sengketa Laut Natuna justru memasuki babak panas, meningkatnya ancaman pencaplokan wilayah, penelitian illegal yang bebas keluar masuk hingga pengerukan hasil laut membuat Natuna menjadi wilayah rentan konflik yang menimbulka ancaman bagi kedaulatan Indonesia.
Kepulauan Natuna :surga tersembunyi di Selat Karimata
 Bak permata didalam lumpur, kepulauan Natuna yang terletak di utara selat Karimata adalah esensi dari sebuah Anugerah, melansir dari puskajianggaran.dpr.go.id kekayaan biota laut dan perikanan diperkirakan ada sekitar 504.212.85 ton (SAE;2021), cadangan minyak bumi di Natuna juga mencapai 14.386.470 barel, selain kekayaan alam yang tersembunyi Natuna juga dikenal sebagai jalur pelayaran Internasional Asia Timur, letaknya yang strategis dan potensi alam yang melimpah tak ayal membuat Natuna kerap diintai masalah-masalah yang mengancam kedaulatan Nasional.
Mulai dari maraknya kasus illegal fishing oleh kapal asing Vietnam yang melanggar batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, kegiatan penelitian ilmiah kelautan tanpa izin juga kerap ditemukan dapat keluar masuk wilayah dengan bebas, yang terbesar adalah permasalahan sengketa wilayah Natuna antara Indonesia dan China yang sudah terjadi cukup lama dan belum kunjung menemukan titik terang, China mengklaim laut Natuna berada dibawah teritorialnya berdasarkan nine dash line serta teori traditional fishing ground dimana secara historis China mengaanggap nelayannya sudah sering berlalu-lalang di laut Natuna sejak dulu kala.
Declaration of the Conduct of the Parties in South China Sea, Dasar Hukum Yang Dilanggar China Dalam Klaim Sepihak.
Klaim sepihak China tentu membuat Indonesia mendidih, tidak adanya kejelasan hukum yang kuat dan alasan historis yang cenderung absurd, sementara Indonesia sendiri sudah memperjuangkan kedaulatan bagi Natuna sejak lama mulai dari penguatan pengakuan dunia Internasional yang mengamini bahwa laut Natuna masuk kedalam wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia berdasarakan hukum laut PBB 1 dan United Nations Convention On The Law of The Sea (UNCLOS) pada 1982, hingga penyelesaian konflik melalui mediasi yang melahirkan "Declaration of the Conduct of the Parties in South China Sea" pada tahun 2002, semua dasar hukum tersebut membuat Indonesia berada didalam posisi yang kuat untuk mengklaim Natuna berada dibawah teritorialnya, terlebih Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga turut mengecam kegiatan illegal fishing serta penelitian kelautan tanpa izin yang dilakukan China, hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum Internasional.
 Badan Hukum & Ambiguitas Sanksi Atas Pelanggaran di Laut Natuna:
Permasalahan sengketa ini tentu tidak hanya memerlukan perhatian khusus, akan tetapi juga perlu ketegasan dari aparatur hukum, serta peraturan perundang-undangan, khususnya RUU kelautan yang masih tumpang tindih karena adanya dua badan yang berperan dalam penegakan hukum kelautan yaitu BAKAMLA (Badan Keamanan Kelautan) dan KPLP (Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai) , ketidakjelasan akan siapa yang layak memberikan tindakan tegas disekitas laut Natuna ini justru akan menciptakan celah masuknya ancaman-ancaman baru, karena pertahanan militer kelautan yang cenderung ambigu.
Kontroversi dualisme kekuatan laut ini juga sampai ke telinga Presiden Joko Widodo , hingga muncul wacana pembentukan Indonesian Coast Guard di wilayah Natuna yang hingga kini masih menjadi polemik panjang, dibawah perintah presiden Joko Widodo pembentukan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai ini direncanakan akan meleburkan BAKAMLA dan KPLP menjadi satu organisasi, namun hingga saat ini dua organisasi tersebut masih berdiri masing-masing dibawah dua nanungan organisasi yang berbeda, KPLP berada dibawah naungan Kementrian Perhubungan Indonesia, sementara BAKAMLA sendiri merupakan organisasi kelautan non-kementrian, yang memiliki keterikatan secara langsung dengan Presiden dan Menteri Koordinator Bidan Politik, Hukum dan Kemanan.