Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD NRI 1945) memang tidak mensyaratkan calon presiden haruslah kader partai. UUD NRI 1945 di Pasal 6A ayat 2 Â mengatakan "Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum". Sang Calon Presiden atau Wakil Presiden tak harus anggota atau kader partai.Â
Bila kita berkaca pada tren survei selama ini  tiga nama, yaitu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan  selalu muncul sebagai calon potensial.  Ketiga nama ini memiliki keunikan masing-masing bila dibaca dalam paradigma politik  kepartian tujuh presiden yang pernah memimpin negeri ini. Â
Kursi Presiden dari Elit Partai ke Kader Partai
Sukarno, Presiden Pertama lahir dari rahim perjuangan kemerdekaan. Partai politik menjadi salah satu kendaraan politik Sukarno untuk meraih cita-cita kemerdekaan. Pada tanggal, 4 Juli 1927 dengan dukungan enam kawannya dari Algemeene Studieclub, Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia/PNI (Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hlm. 95). Â Semboyan PNI "Indonesia merdeka SEKARANG!". Delapan belas tahun sesudah berdiri PNI, kemerdekaan Indonesia sungguh diraih. Dari gambaran singkat ini terlihat bagi Sukarno partai politik menjadi sarana penting meraih cita-cita kemerdekaan.
Demikian pula di zaman Suharto, walaupun tidak berlatar partai politik namun Suharto dengan sangat efektif dan penuh perhitungan untuk urusan ini. Suharto yang di tahun 1965 setelah peristiwa G 30 S (Gestok) bisa dianggap sebagai primus inter pares berusaha keras merebut dukungan. Untuk itu dia membentuk sebuah kelompok penasihat dalam Angkatan Bersenjata yang dinamakan Tim Politik, untuk menyelenggarakan forum diskusi umum yang terdiri atas anggota staf umum, panglima lokal hinga pejabat senior yang memiliki jabatan fungsional (R.E. Elson-Suharto Sebuah Biografi Politik, hlm. 245).Â
Gerakan politik Suharto sebenarnya lebih mengandalkan kekuatan militer terutama Angkatan Darat, namun tidak berarti Suharto menyingkirkan Partai Politik. Hal itu bisa dilihat pada pidato 4 Juli 1967, Suharto menyatakan pandangan bahwa partai politik adalah alat penting bagi demokrasi Pancasila (R.E. Elson, hlm.310). Pernyataan Suharto ini bersamaan tanggal berdiri PNI.
B.J. Habibie merupakan Presiden ketiga, seorang pakar di bidang kedirgantaraan lulusan Jerman. Di bidang politik Habibie tak sekadar teknokrat, ia adalah think tank politik era orde baru yaitu sebagai Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar yang terdiri dari Golkar, ABRI dan Utusan Daerah (Bacharrudin Jusuf Habibie, Detik-Detik Yang menentukan, hlm. 31). Peran ini sangat strategis karena memberi saran utama kepada Presiden Suharto kala itu seperti pengangkatan menteri. Dan B.J. Habibie ada dipusaran penting politik tanah air sebelum akhirnya dia dilantik menjadi Presiden sesudah setelah Presiden Suharto mengundurkan dirinya.
Diawali dengan kekagetan publik karena penguduran diri B.J Habibie 20 Okotber 1999 atau sesaat sebelum Sidang Umum MPR menyisahkan pertarungan antara dua tokoh kuat yaitu KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, elit Partai Kebangkitan Bangsa dan Megawati Soekarnoputri, elit Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Â Gus Dur dalam pemungutan suara di MPR memenangkan perolehan 60 persen suara dan menjadi Presiden ke-4 (1999-2001).
Namun, pada tanggal 23 Juli 2001 setelah berbagai dinamika menegangkan, akhirnya Megawati Soekarnoputri dilantik menjadi Presiden ke-5 menggantikan Gus Dur (2001-2004). Era presiden yang berasal dari elit partai ini juga kemudian berlanjut dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode (2004-2014). Tak dipungkiri, SBY merupakan bagian penting dari Partai Demokrat.