Seisi ruangan terasa begitu tegang. Tak ada yang berani menatap Guru, sosok perempuan berusia dua puluh delapan tahun yang kini harus mengambil alih kepemimpinan organisasi. Kematian Gusti, ketua sebelumnya membuat keadaan semakin rumit. Kabar burung mengatakan bahwa salah satu oknum partai tertentu memang sengaja melakukan pembunuhan berencana terhadap Gusti. Laki-laki yang cukup vokal dengan esensi keadilan itu harus pergi akibat menenggak segelas kopi beracun. Tak cukup dengan kematian sang ketua, keselamatan seluruh anggota organisasi pun saat ini tengah dipertaruhkan. Semua orang yang terlibat dengan aksi pemberantasan mafia politik terpaksa harus mendengar bunyi lonceng ancaman kematian.
Guru adalah satu-satunya orang yang mampu mengendalikan situasi. Ia tak menunjukkan rasa takut sama sekali. Sebagai seorang perempuan, pikirannya cukup tangguh dalam mencari penyelesaian masalah. Masih teringat tatkala aku dan dia berada dalam suatu kepengurusan organisasi tingkat kampus. Dia adalah manusia yang amat cerdik mengingat kemampuannya bersandiwara dapat disandingkan dengan pemain film papan atas. Bagaimana tidak? Skenario rancangan perempuan ini mampu menurunkan jabatan seorang menteri kabinet dengan memanfaatkan permainan prinsip. Semua orang seperti ketakutan dengan gaya berorganisasi Guru, bahkan untuk sekelas Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa kala itu. Logika dari setiap kata-kata yang meluncur mampu memainkan pikiran serta nurani orang-orang berpolitik. Tak jarang lidahnya juga tajam dalam mengkritik. Namun tetap saja Guru menampilkan persona sebagai gadis biasa. Tak banyak yang tahu jika kecerdikan perempuan itu mampu mematahkan setiap lawan yang mencoba tuk menghadang.
Aura menegangkan masih memenuhi seisi ruangan. Guru menatap satu per satu dari kesekian wajah yang kini mulai pasrah tak berdaya. Beberapa diantara mereka adalah pejabat setingkat menteri yang sama sekali tidak terikat dengan perjanjian partai politik. Nasib profesionalitas pun mulai terancam akibat rencana pemerintah meleburkan sistem multipartai. Kursi-kursi menteri telah disiapkan untuk reshuffle. Hanya jabatan menteri pendidikan sajalah yang memungkinkan untuk diisi oleh kalangan professional. Guru menghela napas panjang-panjang. Bibirnya tersenyum tanda sebuah rencana tengah menggelora menguasai pikiran. Aku tak heran, tetapi tidak bagi orang lain.
Guru duduk di sebuah kursi yang biasa dipakai oleh ketua lama, yaitu Gusti. Semua orang menatapnya dengan penuh harap. Bagaimanapun, perempuan itu adalah pendiri organisasi ini, terang saja ia mampu berkuasa sekaligus cepat tanggap menghadapi suatu masalah.
Kertagama, itulah nama organisasi yang didirikan oleh Guru. Suatu perkumpulan rahasia yang hanya dapat beranggotakan oleh orang-orang non partai atau non organisasi politik. Enam tahun lalu seorang pemudi berhasil mendirikan Kertagama dengan kedok kajian strategis kampus. Orang-orang melihatnya hanya sebagai komunitas diskusi biasa. Tak ada yang mencurigakan kecuali dengan sosok Guru sebagai pendirinya.
Aku adalah satu diantara sekian pemuda yang tertarik pada pemikiran Guru, hingga suatu ketika tanpa kuduga ia mengirim sebuah pesan dan memintaku untuk bertemu. Aku yang kala itu hanya seorang pemuda perantauan sekaligus mahasiswa baru tak mau berpikir panjang. Siapa yang tak mau dekat dengan kakak tingkat? Langsung saja tanpa pikir panjang kutemui sosok perempuan yang telah menjadi kakak tingkatku.Â
Ternyata di luar dugaan, adabanyak hal luar biasa yang menunggu. Diantaranya adalah pribadi seorang Guru beserta ratusan ambisinya yang menggebu. Hingga sampailah pada hitungan tahun-tahun berlalu,Kertagama berdiri dengan keringat beserta keyakinan tentang Negara yang adil dan mensejahterakan rakyat di tangan para professional. Organisasi ini bukanlah organisasi politik maupun cabang milik partai-partai politik. Guru mengatakan padaku akan ada saatnya kita menghancurkan kepentingan yang tak pernah memihak rakyat, dan langsung saja kusetujui karena terkesima.
Senyuman perempuan itu lagi-lagi membuat jantungku semakin berdebar-debar. Rencana apa yang sebenarnya ingin ia lakukan? Bukankah ambisinya terkadang memang sedikit sulit dipahami sekaligus menakutkan? Aku tak ingin berprasangka buruk. Hanya saja terkadang ingin kututup telingaku saat aku mulai terlibat dalam skenario cerdik miliknya.
"Saudara Restu, anda bisa menduduki jabatan menteri pendidikan. Saya akan mencari celah serta memimpin pelaksanaan gerilya Kertagama."
Lagi-lagi Guru menggunakanku sebagai alat politik. Aku tak bisa berkutik karena seluruh anggota akan menyetujui keputusan menyebalkan itu. Wajahku pucat pasi. Jabatan menteri bukanlah hal yang main-main. Namun, tidak demikian bagi Guru. Segala hal mampu dilakukannya, termasuk menjadikan aku sebagai sosok pria yang bergantung pada ilmu-ilmu yang ia ajarkan. Usiaku memang tak terpaut jauh dengannya, hanya saja aku merasa ada jarak yang membuatku dapat berkata 'iya' selayaknya anjing dengan majikan.Â
Kecemasanku mulai memunculkan amarah. Aku bukanlah bawahan maupun kaki tangan Guru. Tubuhku berdiri sembari menghampiri perempuan itu. Tatapanku mulai menajam setajam Elang yang hendak menculik mangsanya. Guru tak bergeming. Sepertinya ia telah terbiasa beradu mulut denganku. Namun, aku tak menyerah. Aku masih sangat penasaran akan rencana-rencananya, hingga suatu ketika hatiku luluh karena Guru menepuk bahuku dengan lembutnya. Sementara itu seluruh anggota masih terheran-heran dengan keadaan. Terlebih lagi dengan Guru yang mengambil keputusan tanpa meminta pertimbangan. Akankah rencana ini berjalan sesuai keinginan, atau justru semakin menjerumuskan? Tenang saja, semua kesepakatan sebenarnya ada di tanganku. Wanita itu hanya mampu menunggu sebuah jawaban.