Tak kutemui embun di selasar peraduanku. Beningnya di helai daun atau digelayut rumput selalu kunanti. Bangunku dari alam barzah tidurku hanya disambut rinai hujan, embun tak datang karena hujan yang bertandang. Bukan mentari yang datang menghempasnya, bukan pula tanah yang menelannya, bukan .... Hujan subuh yang menggantinya. Beningnya tak aku pandang kali ini.
Aku rindu bening. Ya..., serupa bening di kelopak matamu yang teduh memandangku. Tak ada amarah, hanya nafsu mutmainnah yang meruah. Sejenak melupa akanmu, sekejap indah meniada. Sekedar puji. Mungkin engkau tahu bahwa memujimu sebagai bentuk syukurku kepada Tuhan yang telah menciptamu. Itu caraku mengungkap rasa, yang semalu mentari datang menyapa pagi ini. Hangat yang kudamba tak kunikmati seperti bening yang tak kujumpa. Hampa.
Larut dalam dingin mungkin itu cara terbaik untuk bertahan. Biarkan saja dimensi dirasuki hawa yang tak menyejukkan damaiku. Bukan keluh kesah, bukan pula sumpah serapah, hanya berpasrah. Mungkin ada romansa yang bisa kucipta, tak sekedar berpasrah. Dingin memang menyelimuti sisi eksternalku, tapi kurasa ada hangat dalam sisiku yang lain. Pagi yang dingin justru menghangatkan rinduku padamu. Salam pagi padamu yang tak sempurna!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H