Malam semakin larut, tak ada berkas yang melingkupinya, yang ada hanya gelap bersemesta menggenapi segenap ruangnya. Serasa ingin melangkah meretas malam, tapi tak jua kutemukan apa disana, kekosongan yang besar dan kenihilan hasrat yang mengada. Purnama belum bertandang, pun bintang enggan datang. Malam begitu tangguh bersama ketiadaan. Aku yang dalam penantian, serasa senasib dengan malam, senasib menanti terang. Pagi dan kebahagiaan harap kami, mungkinkah esok masih sempat kukecap? Entah.
Huruf kecil yang kupunyai perlahan kususun, entah menjadi apa tak jua kupeduli. Sepi malam yang ada telah mencipta kesunyian, merasuki kesemestaan aku-ku. Sekedar huruf kecil, mengada dalam kata pun seperti tak punya arti. Ah..., kenapa aku semakin nelangsa? Bukankah puisi, sajak, dan syair bisa kucipta? Pada puisi, aku telah kehilangan diksi. Pada sajak aku kehilangan gertak, dan pada syair aku kehilangan makna. Apalagi yang mesti kubuat, sedang kata semakin kecil bahkan hampir meniada. Diksi telah terpapar nafsu, ingin dipuji dalam kerangkeng besi.
Sebelum kata dan mata terlanjur padam, tercipta do'a sebagai penenang. Kuingin getarkan nada-nada malam, biar tiada kesedihan yang menyambangimu. Kuingin nyalakan lilin-lilin cahaya biar tiada kegelapan menyertaimu, biarkan cahaya tetap jadi milikmu. Karena aku tak pernah melihat dari wajahmu jatuh sesuatu selain cahaya. Kugenapkan asaku dengan dan tentangmu, dan malam, ingin kujadikan saksi dan hakim segala janji. Salam malam padamu yang tak sempurna!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI