Entah bagaimana memulainya, sepertinya aku melarut pelan dalam syair-syair cinta para pecinta. Semesta syair cinta Jalaluddin Rumi melingkupi segenap dimensiku. Tak tahu kemana mesti aku bersembunyi dari indahnya, elok nian jalinan aksara yang dibina. Cela dan celah mungkin saja ada, tapi tak kunjung bisa aku temui, sekali lagi aku silau dengan pesona syairnya.
Jika engkau bukan seorang pencinta, maka jangan pandang hidupmu adalah hidup. Sebab tanpa Cinta, segala perbuatan tidak akan dihitung pada Hari Perhitungan nanti. Setiap waktu yang berlalu tanpa Cinta, akan menjelma menjadi wajah yang memalukan dihadapanNya.
Burung-burung Kesedaran telah turun dari langit dan terikat pada bumi sepanjang dua atau tiga hari. Mereka merupakan bintang-bintang di langit agama yang dikirim dari langit ke bumi. Demikian pentingnya Penyatuan dengan Allah dan betapa menderitanya Keterpisahan denganNya.
Wahai angin, buatlah tarian ranting-ranting dalam zikir hari yang kau gerakkan dari Persatuan. Lihatlah pepohonan ini ! Semuanya gembira bagaikan sekumpulan kebahagiaan. Tetapi wahai bunga ungu, mengapakah engkau larut dalam kepedihan ? Sang lili berbisik pada kuncup : “Matamu yang menguncup akan segera mekar. Sebab engkau telah merasakan bagaimana Nikmatnya Kebaikan.”
Di manapun, jalan untuk mencapai Kesucian Hati adalah melalui Kerendahan Hati. Hingga dia akan sampai pada jawaban “YA” dalam pertanyaan : “Bukankah Aku ini Rabbmu ?
(Rumi)
Semakin tegas aku mencari makna, semakin ketiadaan yang aku temukan.
“Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan, Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih yang abadi.
Dia adalah orang yang Saya cintai, dia begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna. Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya. (Rumi)
Kucoba palingkan muka, tak jua kutemukan pelita, karena ruang dan waktuku telah meniada. Hilang, aku meniada bersama aksara-aksara yang tersusun indah. Mungkinkah aku nanti lahir juga indah seperti syair Rumi? Entah, aku terperosok dalam fantasi yang lebih gila lagi. Bukannya aku takut dalam keterperosokan itu, aku tak takut kawan. Akan kuperjelas lagi, keterperosokan kali ini adalah sesuatu yang aku ingini. Sadarku menciptanya, bukan arogansi waktu yang menelikung warasku. Aku bukan Qays, serupa pun tidak.
Beda, nyata membentang, yang sama hanya sama-sama candu pada syair, cinta, dan kerinduan. Itu saja kawan, tak lebih. Tak usahlah kau menarikku dalam pusaran garis edarmu, karena orbit hidupku telah diatur oleh-Nya. Qays dan cintanya (mungkin) telah dipersuakan di taman surga, sedang aku?
"Setiap hembusan angin membawa harummu untukku. Setiap kicauan burung mendendangkan namamu untukku. Setiap mimpi yang hadir membawa wajahmu untukku. Aku milikmu, aku milikmu, jauh maupun dekat. Dukamu adalah dukaku, seluruhnya milikku, dimanapun ia tertambat"
"Aku bagaikan orang yang kehausan, kau pimpin aku menuju sungai Eufrat, lalu sebelum sempat aku minum, kau menarikku dan kembali ke kawasan panas membara, padang pasir yang tandus!" (Laila Majnun)
Tak bisa aku hentikan langkah walau sekejap. Terlalu riskan ketika perjuangan ini kududukkan pada politik dan pesta, aku mau lamunku tidak buyar oleh ambisi, tak pula dengan basa-basi. Tak sudi membagi makna menjadi ambigu, lebih parah lagi absurd datang mendera. Tidak, aku ingin bersama cintaku, rinduku, manisku, pahitku, dan segenap yang kupunyai. Biarkan tiba dengan sendirinya, dengan atau tanpamu.
Akhirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
........
........
Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru
(Sebuah Tanya, Soe Hok Gie)
Malam semakin perkasa, tidak lama lagi akan melibasku. Tak siap daya untuk melawannya, kali ini aku rela tertunduk kalah. Kalah dihadapan-Nya, biar aku diliputi rahman dan rahim-Nya, seperti Rumi dipenuhi cinta Ilahi.
Malam larut, malam memulai hujan
inilah saatnya untuk kembali pulang
Kita sudah cukup jauh mengembara
menjelajah rumah-rumah kosong
Aku tahu: teramat menggoda untuk tinggal saja
dan bertemu orang-orang baru ini
Aku tahu: bahkan lebih pantas
untuk menuntaskan malam di sini bersama mereka,
tapi aku hanya ingin kembali pulang.