Mohon tunggu...
Zahir Makkaraka
Zahir Makkaraka Mohon Tunggu... Dosen - Belajar dalam segala hal

Lagi mencari guru dan tempat berguru!!!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tentang Seragam

9 Mei 2016   09:10 Diperbarui: 9 Mei 2016   09:20 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seragam bagi orang yang punya seragam adalah kemewahan hari ini. Dandan serupa dendang wajib dinyanyikan. Dan dengan seragam itu, dendang semakin nyaring ditemani dandan yang semakin indah menurutnya. Warna dari seragam beraneka rupa. Hijau menerobos hutan yang kian belukar dan hanya gumpalan asap yang beserta bau bangkai yang menemaninya. Putih pun sudi membagi cerita pagi tapi sayangnya hanya dongengan masa lampau nama besarnya. Hitam datang ingin serupa putih, hanya dia datang dengan ketegasan cerita dari pencerita yang memberinya segepok uang. Coklat berparas manis menyungging senyum dipinggir jalan, mungkin karena purnama baru bermula sehingga lariknya masih sebaris dengan siluet pagi yang baru saja berangkat pergi. Biru..., kutemukan kali ini ia bersama langit dan lautan. Dia memilih diam, hening mencoba mencari makna diri.

Senin waktu yang meriah untuk melihat seragam itu meruah warnanya. Warna itu kian berkompetisi, saling unjuk eksistensi. Dan katanya dari persepsi psikologis warna punya arti. Tapi warna dari seragam mereka punya makna psikologis atau hanya sekedar warna yang dia terima sekedar menunjukkan kadar dirinya? Atau hanya warna yang sekedar diterima karena tuntunan dan tuntutan pimpinan atau sistem?

Aku tak pahami tentang seragam itu, mungkin karena aku tak punya seragam yang mesti aku pakai dalam kesehariaan sehingga memperjelas posisi dan aku-ku. Aku hanya mempunyai beberapa lembar baju bercorak batik dan kotak-kotak, dan mungkin itu juga baju seragam pada diriku dengan orang lain yang warna dan coraknya yang sama. Warna dan corak itu telah menyeragamkan diriku dengan orang lain meski tak berada pada profesi dan pekerjaan yang sama, atau malah pada strata yang berbeda. Seperti halnya Khaki, warna yang setia melancong pada baju-baju pegawai negeri.

Permendagri 68 Tahun 2015 memang bukan buatku, aku hanya menikmati differensiasi yang dia ciptakan. Bagiku kini warna telah menjadi kelas tertentu, dan aku tak punya kelas untuk memiliki warna yang berkelas. Terlalu lama aku tinggal kelas di kelas yang sama dan aku jadi purna warna, mungkin aku juga telah purna kelas.

Ah..., sudahlah! Aku tak iri dengan seragam mereka, aku hanya merasa bahwa dunia semakin timpang karena seragam, warna, dan corak. Kelas- kelas sosial semakin cemerlang warnanya karena warna dari seragam itu. Seragam semakin tak seragam kemanusiaannya. Pun warna semakin hilang makna psikologisnya. Seperti biru yang bermakna kesejukan semakin terperdaya oleh gemulai pemakainya, seperti hijau yang melambangkan harmoni terpenjara dengan angkuh pemakainya, seperti hitam bermakna ketegasan semakin luntur wibawa oleh yang memakainya, seperti coklat yang menandakan kesederhanaan semakin mewah oleh yang memakainya. 

Tanya pun kemudian aku hadirkan, sekiranya aku kelak punya seragam meski purna warna dan purna kelas, warna apa yang aku pilih?

Ruang Dosen TI, 9 Mei 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun