Mohon tunggu...
Zahir Makkaraka
Zahir Makkaraka Mohon Tunggu... Dosen - Belajar dalam segala hal

Lagi mencari guru dan tempat berguru!!!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Salam Malam Padamu yang Tak Sempurna (VII)

18 Mei 2013   22:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:22 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam dirambati pekat, semakin gelap, tak ada cahaya yang tersingkap. Kususuri waktu yang kumiliki, tapi tak jua kutemukan terang diantaranya. Ruangku pun tak seluas harapanku, kini seperti kian menyempit, menghimpit asa-asa yang sempat aku tata. Aksaraku yang pernah kutemukan di halaman penantian, kini seperti tak punya makna, nilainya meniada. Aksara itu kini malah memasung sukmaku, memaksaku menulis untaian-untaian kesedihan. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi aksara semakin memaksaku melebur damai ke dalam sepi. Kini aku dilingkupi sunyi.

Pucat pasi aku memenuhi keinginan aksara, semacam tiada tenaga mengurai hasrat-hasrat dan ambisi aksara. Kehabisan kalori dan dehidrasi aku karenanya. Kata ingin dicipta, kalimat ingin dijadikan permata, paragraf dipinta jadi istana, hingga cerita menjadi semesta. Kupahami potensiku, kuselami mampuku hingga kutemukan sintesa bahwa aku tak punya kuasa. Aku bukan budak, itu kuucapkan kepada aksara setelah amarah bertahta di atas logika. Aku makhluk merdeka, punya pilihan disetiap situasi, bertanggung jawab atas konsekuensi. Mataku nanar, tapi tak sampai tercipta airmata, pandanganku kucoba setajam mungkin, aku ingin netraku menusuk jantungnya, menohok jiwanya.

Satu menit, dua menit berlalu, ah..., sudah hampir setengah jam aku pandangi aksara, tapi aksara bukannya goyah, semakin teguh menegaskan harap dan pintanya. Sedang aku, netraku semakin layu, semakin sayu. Aksara mendekatiku, pandangan tak setajam ketika pertama kali memandangku. Nada bicaranya pun telah berubah tapi masih tegas. Suaranya tidak diliputi lagi amarah, langkahnya pun seperti tak punya ambisi. Dalam pikirku, tak lama lagi aksara akan mengharu iba dihadapanku. Meluapkan segenap penyesalan telah memperlakukan sedemikian rupa. Ataupun mengucap maaf sembari mengulurkan tangan. Itu angan yang seketika meraja disegapkan nalarku.

Sayang seribu sayang, angan itu hanyalah angan semata, tak mewujud dan mengaktual. Aksara sekarang memelukku, tapi bukan penuh rindu. Pelukannya justru ingin meremukkan tulang-tulangku, kemudian bahuku digoyang-goyangkan, kemudian aku tak tahu apa-apa.

"Dimana aku?" seketika aku tersadar. Aku tak temukan apa-apa, hanya gelap yang menyelimuti sekelilingku. Kuraba disekitarku, kutemukan aksaraku membatu. Tak ada ingatan yang tersimpan mengenai kejadian yang lampau. Yang kupahami sekarang hanya satu, aksaraku telah mati. Namun hatiku tak risau, karena masih ada kau yang tak pernah kupandang dan tak kukenal ada disegenap do'aku. Kau tak mati ataupun sekedar membatu, tapi kau tetap hidup bersama asaku yang tak pasti, tak pasti karena aku bukan pemasti. Bukan aku, bukan kamu, bukan kalian, tapi Dia. Salam malam padamu yang tak sempurna!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun