Kalaupun disebut efek domino dari shabu itu ada kebaikan, maka lebih baiklah legislator yang korupsi karena dengan uang korupsinya bisa membangun perusahaan atau bidang usaha yang tentunya bisa membuka lapangan kerja, bisa membangun gereja dan yayasan sosial, bisa memberi beasiswa dan membuka akses-akses bidang kehidupan lainnya. Jelaslah lebih baik jadi koruptur daripada sekedar nyabu yang justru merusak fisik, dan legislator penyabu pun akhirnya jd koruptur untuk membiayai kesehatannya dan memenuhi hajatnya. Meminjam kalimat bro Adhye Panritalopi "Aaahk, logika anda salah besar sdr. Ninoy N Karundeng, sadar tidak sih?
"Keempat, Hanura sebagai partai yang mengedepankan kemajuan bangsa rupanya memiliki visi yang hebat terkait hak azasi manusia. Hanura memahami bahwa setiap orang memiliki hak untuk berbuat apa saja. Termasuk di sini hak politik bagi siapa saja termasuk pemakai shabu. Urusan memakai shabu adalah urusan pribadi dan tak ada hubungannya dengan caleg dan masyarakat."
Saya rasa bukan hanya Hanura yang memiliki visi tersebut, kalimat Karundeng serasa ada nuansa politisnya (mungkin kader or simpatisannya Hanura,he...). Selamat bermarturbasi dengan partai politik mbak/mas Karundeng. Parahnya lagi menyebut shabu tidak ada hubungannya dengan caleg dan masyarakat. Mungkin tuan/puan Karundeng belum pernah kajian "eksistensi", sehingga aksiden tidak dianggap bagian dari substansi. Padahal kontruksi esensi kadang dikuatkan oleh hal-hal yang biasa-biasa saja. Belajar kembali filsafat atau kitab ajaran agama mas/mbak Karundeng.
"Kelima, warga Makassar harus memilih Eva Purnama Wahid menjadi anggota DPRD Kota Makassar agar Makassar menjadi kota dan kabupaten pertama yang memiliki pecandu shabu sebagai anggota legislator. Dan diharapkan Eva mampu memimpin dan membuat legislasi atau Perda yang membebaskan peredaran narkoba di Kota Makassar."
Membantahnya, saya sejalan dengan bang Adhye Panritalopi dan cukup mengutip kalimatnya "apakah sdr. Ninoy N Karundeng lupa kalau Labuan Batu (di Sumut), Kutai Kartanegara (di Kaltim), dan Tasikmalaya (di Jabar) sudah terlebih dahulu menjadi Kab/Kota yang memiliki legislator “penyabu”? Anda tidak percaya?"
Jujur, seandainya tidak diberitakan oleh media dan Ninoy N Karundeng tidak menulis tentang Eva, saya tak tahu kalau ada caleg yang bernama Purnama Wahid dan mantan penyabu. Kali ini saya haturkan terima kasih karena telah "memperkenalkan" saya dengan Eva. Masih banyak putra-putri Makassar, baik yang tua maupun muda yang lebih mapan secara intelektual, emosional, moral, dan spiritual, kalau Eva hanya nomor buntut sekiranya diberi peringkat. Eva hanya sekedar caleg cumi, Eva: kamu manis tapi iblis (caleg cumi).
Janjimu di panggung kampanye mungkin sudah luput Seiring bibirmu dan bibir biduan telah berpagut Janji manis dan nuranimu telah terenggut Tinggal iblismu berkuasa dan hasratmu merajut
Salam siang, salam damai dariku, dari warga Makassar yang baru menetap 12 tahun lebih di kota Daeng! *****************
nb: kalau maksud tulisan Ninoy N Karundeng hanya bercanda, mengapa tidak dimasukkan ke kolom humor? Opini yang anda bangun dalam artikel saudara (i) bernada sarkatis dan itu melukai hati kami warga Makassar. Jangan menciderai filosofi "sharing and connecting" yang ada di Kompasiana. Kata maaf dariku sekiranya ada salah kata!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H