Mohon tunggu...
Rahmat Mustafa
Rahmat Mustafa Mohon Tunggu... wiraswasta -

Wiraswasta yang senang ngopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pele Indonesia, Terlupakan dan Berakhir Tragis

21 Maret 2014   15:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:40 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada sebuah pemeo yang menjadi trademark orang Bugis-Makassar. Kalimat itu menyebut sang legenda sepak bola Indonesia. Toa mi Ramang” atau Ramang sudah tua begitulah pengucapannya. Biasanya terlontar saat menyinggung seseorang yang sudah menurun prestasinya. Siapa saja, entah orang biasa, tokoh masyarakat, politikus, pejabat, atau atlet, bila seharusnya turun panggung meninggalkan arena pertandingan disebabkan umurnya yang sudah uzur. Tentulah sindiran tersebut tidak melukai hati yang dituju, karena diucapkan dalam suasana canda. Walau Ramang bernama lengkap Andi Ramang telah tiada, namun sosoknya selalu hadir. Setidaknya, “toa mi Ramang” sering terdengar dalam obrolan sehari-hari masyarakat anging mamiri.

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitu juga dengan kepiawaian Ramang memainkan si kulit bundar. Ayahnya bernama Nyo’lo adalah ajudan Raja Gowa, ia sudah lama dikenal  sebagai jagoan sepak raga (Wikipedia). Bakat sang ayah menurun ke Ramang. Saat berusia sepuluh tahun, Ramang kecil sering menendang-nendang buah jeruk, gulungan kain atau kertas, dan bola anyaman rotan dalam permainan sepak raga.

Waktu terus berputar hingga Ramang terjun ke dunia sepak bola. Kemahirannya dalam sepak raga menunjang karirnya sebagai pemain sepak bola profesional. Dalam sebuah pertandingan, Ramang menjaringkan bola ke gawang lawan melalui bakat alamnya itu berupa tendangan salto yang menawan. Dengan menggunakan kostum nomor 11 di tim nasional, Ramang dikenal sebagai pemain multi talenta.

Ia memiliki naluri mencetak gol seperti Lionel Messi (Argentina), kecepatan larinya menyamai Gareth Bale (Wales), lihai menembak sasaran dalam posisi manapun bagaikan tembakan Xavi Hernadez (Spanyol), memiliki tendangan geledek yang sangat keras bak tendangan roket Roberto Carlos (Brasil), dan piawai dalam melakukan tendangan melengkung atau tendangan pisang mirip tendangan David Beckham (Inggris).

Timbul pertanyaan, bagaimana ia bisa memiliki kemampuan di atas rata-rata hingga mendapat julukan sebagai Macan Bola dan Pele-nya Indonesia? Satu hal yang pasti bahwa, kesuksesan tidak datang dengan mudah dan tidak datang dengan sendirinya. Butuh proses panjang dan upaya keras, sebagaimana yang dialami Ramang.

Saat latihan, sebelum para pemain lainnya muncul, ia sudah lari berkeliling lapangan. Begitu juga ketika teman-temannya usai berlatih, ia masih tetap berlatih menendang bola ke gawang hingga hari gelap. Untuk mengasah kecepatan larinya, ia rutin berlari di atas bukit dekat rumahnya. Pada kesempatan lain, Ramang sering berlatih di pantai. Menendang bola ke arah laut, kemudian bola itu kembali ke bibir pantai dibawa oleh gelombang. Berulang-ulang hingga tenaganya tidak mampu lagi.

Jika sedang di rumah, Ramang melakukan latihan dengan menggunakan alat sederhana yaitu tiang pancang dan karet bekas ban dalam sepeda. Salah satu ujung karet bekas, dia ikat pada tiang pancang. Ujungnya yang satu lagi dia ikat pada betisnya. Latihan ini ia lakukan tiap hari untuk menghasilkan kualitas tendangan yang prima dan kelenturan kaki saat menendang bola.

Ada kejadian istimewa yang dialami Ramang. Ketika sedang berlatih sepak bola di lapangan Sumpang Binangae, Barru. Saat itu melintas sebuah pesawat terbang. Sambil menengadah, Ia berkata lantang kepada temannya, “dengan kaki ini, saya akan naik itu!” (Ramang Macan Bola, M. Dahlan Abubakar). Lalu, istimewanya di mana? Menurut penulis, inilah salah satu kunci kesuksesannya, disamping ketekunan dan kedisiplinannya dalam latihan. “Dengan kaki ini” (sebuah keyakinan kuat akan kemampuannya), “saya akan naik itu” (cita-cita). Kedua unsur tadi bersenyawa menghasilkan ikrar yang terpatri kokoh dalam benaknya.

Alhasil, nama Ramang melesat tinggi bak pesawat terbang menghiasi langit Indonesia bahkan dunia. Seperti kesaksiaan Henky Timisela rekan Ramang di timnas. Henky menuturkan, Ramang mencetak gol indah dari jarak jauh pada pertandingan Indonesia melawan Kostarika di lapangan Ikada pada tahun 1950-an. Gol itu merupakan gol kedua dari tiga gol yang tercipta dalam sembilan menit babak pertama (Kompas online, 9-8-2011). Lain lagi menurut Bob Hippy bekas pemain Persebaya. Pada final Kejurnas 1965, PSM berhasil mengalahkan Persebaya. “Saat itu Ramang paling ditakuti. Saking jadi momok, pelatih sampai bilang saya harus jaga Ramang kalau perlu sampai kamar mandi”, ujarnya dengan antusias (Koran TopSkor, 10-8-2011).

13953629171206035413
13953629171206035413

Yang paling spektakuler, federasi sepak bola dunia FIFA menurunkan artikel khusus untuk mengenang Ramang dengan tajuk, “Indonesian who Inspired’50s Meridian” (www.fifa.com, 26-9-2012). Artikel itu memberitakan bahwa Ramang yang memiliki postur tubuh mungil mampu mencatat karier luar biasa sebagi mesin gol Indonesia yang terkenal akan kepala dan tendangan saltonya. Dia tampil cemerlang di Olimpiade Melbourne 1956 menghadapi Soviet yang kala itu berstatus Juara Eropa dan diperkuat pemain top seperti Lev Yashin, Igor Netto, Eduard Strelstov, dan Valentin Ivanov. Suatu prestasi yang sangat luar biasa, sekelas Juara Eropa mampu ditahan imbang. Mungkin, saat sekarang hingga kedepannya, prestasi Indonesia tidak akan mampu mengulanginya kembali?

Namun sayang seribu sayang, prestasi Ramang yang mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia, tidak diimbangi perlakuan negeri ini terhadap dirinya. Ramang pernah bekerja sebagai opas di Dinas Pekerjaan Umum. Gaji? Tak pernah naik tetap saja Rp. 3.500,- Untuk mencukupi keperluan hidupnya sehari-hari, ia nyambi menjadi kenek truk dan tukang becak.

Dengan raut wajahnya yang sendu, Ramang curhat kepada wartawan bahwa pemain sepak bola sepertinya tidak lebih berharga dari kuda pacuan. “Kuda pacuan dipelihara sebelum dan sesudah bertanding, menang atau kalah. Tapi pemain bola hanya dipelihara kalau ada panggilan. Sesudah itu tak ada apa-apanya lagi”, ujarnya.

Tragisnya, selama enam tahun lamanya  Ramang menderita penyakit paru-paru basah tanpa bisa berobat ke rumah sakit karena kekurangan biaya. Hingga akhirnya pada 26 September 1987 menghembuskan nafasnya yang terakhir akibat penyakit yang dideritanya. Mayatnya terbujur kaku di sebuah rumah sederhana yang ia tinggali bersama anak, menantu, dan cucunya, semuanya berjumlah 19 orang!

***

(Sumber gambar: kaskus.co.id/fifa.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun