Pelangi dengan warna-warninya yang menawan, tidak begitu saja muncul secara tiba-tiba. Tetapi ada sebuah proses awal yang mendahuluinya. Yaitu proses pembiasan sinar matahari oleh butiran-butiran air yang turun secara perlahan. Seperti halnya dengan pelangi, Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi hadir di belantika politik negeri ini, tidak seperti sulap – sim sala bim – kemudian muncul. Tapi melalui proses yang berjalan secara alami.
Karier Jokowi diawali sebagai pengusaha mebel, kemudian putar haluan dan masuk ke bidang pemerintahan. Di sana, kariernya bersinar dan terpilih menjadi Walikota Solo selama dua periode. Dari Solo bergerak menuju ibu kota, mengalahkan incumbent Fauzi Bowo dan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Puncak tertinggi diraihnya ketika berhasil menjadi Presiden. Perjalanan karier Jokowi yang menanjak secara berjenjang hingga menggapai puncak tertinggi merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk diselisik.
Karier tidak hanya sebatas jabatan atau pekerjaan tertentu, tetapi merupakan rangkaian sikap dan perilaku berdasarkan pengalaman hidup. Sebagaimana dijelaskan oleh Gibson dkk (1995: 305) bahwa karier merupakan rangkaian sikap dan perilaku berkaitan dengan pengalaman dan aktifitas kerja selama rentang waktu kehidupan seseorang dan rangkaian aktifitas kerja yang terus berkelanjutan.
Pengalaman hidup terhimpun dalam pikiran. Pikiran adalah unsur terpenting dalam pembentukan karakter, karena dalam pikiran terdapat seluruh program yang terbentuk dalam pengalaman hidupnya. Program ini membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya membentuk pola berpikir. Pola berpikir mempengaruhi karakter seseorang.
Karakter berhubungan dengan watak, tabiat, pembawaan, kebiasaan (Budiono, 2005: 288). Jika karakter dihubungkan dengan kepemimpinan maka, karakter kepemimpinan adalah hasil karya pendidikan, pelatihan, talent scouting dan pembiasaan, yang dipadukan dengan sinergi pembelajaran sepanjang hayat, diperkuat oleh daya nalar dan kecerdasan akal budi, serta kecerdasan spritual (Abdul Rahman Kadir, 2001: 5). Alhasil, karakter kepemimpinan akan mempengaruhi karier seseorang.
Mr. Fix julukan Jokowi oleh The Economist, lahir tanggal 21 Juni 1961. Masa kecinya dipenuhi berbagai kesulitan. Karena keterbatasan dana, ia masuk SD Negeri 111 Tirtoyoso sebagai sekolah untuk kalangan menengah ke bawah. Dalam proses selanjutnya, Jokowi merasakan betapa pahitnya kena gusur, bukan hanya sekali, bahkan tiga kali. Dengan kesulitan hidup yang dialami, ia terpaksa berdagang, mengojek payung, dan jadi kuli panggil untuk memenuhi keperluan sekolah dan uang jajan. Ketika anak sebayanya memilih bersepeda ke sekolah, Jokowi tidak punya pilihan lain, selain berjalan kaki.
Tamat SD melanjutkan ke SMP 1 Surakarta, SMA 6 Surakarta, dan masuk ke Fakultas Kehutanan UGM. Selesai di UGM, ia bekerja di CV Roda Jati milik pakdenya. Setelah tiga tahun bekerja, ia keluar dan merintis usaha sendiri tahun 1988 dengan bendera CV Rakabu, diambil dari nama anak pertamanya. Usaha ini bangkrut karena tertipu oleh mitra bisnisnya.
Tahun 1990 Jokowi bangkit dan merintis kembali usahanya. Setelah usahanya berkembang, ia bekerjasama dengan Micl Romaknan. Dengan kejujuran dan kerja kerasnya dalam berbisnis membuat Jokowi mendapat kesempatan untuk berkunjung ke berbagai kota di benua Eropa.
Berdasarkan biografi di atas, pengalaman hidup Jokowi membentuk karakter kepemimpinannya seperti penjelasan Abdul Rahman Kadir. Saat keadaan serba terbatas dialami dalam keseharian hidupnya, membuat kegetiran tertanam dalam dirinya. Hal ini membentuk karakter kerja keras, agar di masa datang tidak terulang lagi. Di samping itu, juga terbentuk karakter sederhana, apa adanya, dan rendah hati. Karakter dialog dan empati adalah buah dari pengalamannya saat terkena penggusuran selama tiga kali.
Menyangkut dunia usaha yang ia geluti sebelum terjun ke pemerintahan, selain membentuk karakter kerja keras, juga memunculkan karakter berani, tegas, kreatif, dan jujur. Sedangkan pengalamannya kala berkunjung ke benua Eropa, menginspirasi untuk membangun sebuah kota yang tertata rapi, indah, bersih, dan bersahabat. Karakter-karakter inilah yang menyatu dalam setiap helaan nafas Jokowi.
Selama menakhodai kota Solo dan DKI Jakarta, karakter kepemimpinannya berperan dalam melayani masyarakat. Hampir seluruh kota di Indonesia terjadi konflik akibat penertiban PKL, Jokowi mematahkan mitos tersebut dengan karakter dialog dan empati. Seperti di Solo, sekitar 900 orang pedagang akhirnya mau meninggalkan Taman Banjarsari di pusat kota Solo menuju lokasi baru di Pasar Klitikan tanpa adanya gesekan antara aparat dan PKL. Waktu menjabat Gubernur DKI jakarta, Jokowi mendapatkan kondisi pasar Tanah Abang terkesan sumpek selama puluhan tahun. Berkali-kali pergantian gubernur tidak pernah ada terobosan berarti. Kawasan itu tetap macet, kotor, dan tidak bisa ditertibkan. Namun, dalam satu tahun pemerintahan Jokowi, ratusan pedagang di pasar Tanah Abang berhasil ditertibkan tanpa adanya konflik.
Juni tahun 2011 terjadi perseteruan antara Walikota Jokowi dan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo. Jokowi dengan tegas menolak pendirian mal di lokasi bekas pabrik es Saripitejo untuk melindungi pasar tradisional. Padahal, pendirian mal adalah kebijakan atasannya. Terang saja atasannya marah dan mengatakan Jokowi “bodoh” karena menentang kebijakan Gubernur. Pernyataan Bibit Waluyo memicu reaksi keras dari warga, bahkan menolak kehadirannya di kota Solo. Jokowi sendiri berkata, “saya itu memang bodoh. Masih harus banyak belajar ke banyak orang”. Suatu sikap apa adanya, rendah hati, tegas dan berani memperjuangkan hak rakyat meski resiko besar menghadang.
Karakter kepemimpinan Jokowi yang diaplikasikan selama di pemerintahan, selain masyarakat merasakan langsung manfaatnya, juga berderet-deret penghargaan diperolehnya, baik itu dari dalam negeri maupun luar negeri. Penghargaan yang diperoleh dari dalam negeri melalui: Meutia Hatta, MURI, SPS, PNI Marhaenisme, Markplus inc, UNS, Depkeu, Depkes, Kemenbudpar, Kemen LH, Kemendagri, Dishubkominfo, dan Presiden SBY. Sedangkan penghargaan dari luar negeri melalui: Unicef,Delgosea, The City Mayors Foundation, dan majalah Fortune.
Dengan berderetnya penghargaan tersebut, membuat Obama dari Jakarta (julukan Jokowi oleh Kantor Berita Inggris BBC) menjadi magnet pemberitaan bagi para kuli tinta atau disebut sebagai media darling yaitu, seorang yang sangat populer dan menguntungkan bagi pemberitaan.
Namun, ada juga masyarakat dibuat salah kaprah. Mereka menganggap pemberitaan oleh beberapa media itu adalah bentuk pencitraan. Bahkan, ketika media asing turut serta dalam pemberitaan itu, mereka pun beranggapan sebagai antek asing! Kira-kira apa ya, tanggapan mereka ketika wajah Jokowi menghiasi sampul majalah TIME, Amerika Serikat dengan tajuk, “A New Hope” akan terbit tanggal 27 Oktober nanti..?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H