Mohon tunggu...
Arundati Shinta
Arundati Shinta Mohon Tunggu... -

Aku peduli lingkungan, karena aku mengajar psikologi lingkungan. Tempatku mengajar di fakultas psikologi universitas proklamasi 45 Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Money Management by Amplop

3 Oktober 2012   00:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:20 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkantung bolong nampaknya akan selalu menjadi nasib saya pada setiap akhir bulan. Hal ini karena karena saya merasa sering kedodoran dalam mengelola keuangan keluarga, lebih tepatnya keuangan suami. Akibatnya bisa ditebak, saya sering mengalami kebingungan dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Kebingungan rutin pada akhir bulan dapat terlihat nyata dari kurang bervariasinya menu masakan.

Sebenarnya sudah sangat sering saya mencoba berbagai cara untuk mengatasi problem kantung bolong ini. Cara pengelolaan uang yang pernah saya coba adalah mencatat semua pengeluaran pada buku catatan. Begitu telitinya saya mencatat semua pengeluaran, sehingga untuk keperluan parkir kendaraan dan memberikan sedekah pada pengemis pun saya catat. Ide ini berasal dari kebiasaan almarhum ibu saya yang sangat teliti dalam membelanjakan uang yang berasal dari ayah saya. Maklum, beliau mempunyai latar belakang pendidikan Belanda yang sangat menekankan ketelitian dalam berhitung. Pada mulanya saya merasa kesulitan, karena faktor lupa dan seringnya menunda-nunda proses pencatatan. Meskipun merasa kesulitan, saya memaksa diri untuk tetap melakukan metode pencatatan ini karena tertantang oleh kebiasaan pengasuh saya yang sudah tua dan buta huruf tetapi sangat kuat daya ingatnya terutama terhadap uang yang sudah dibelanjakannya.

Setelah beberapa lama menjalankan metode pencatatan daftar pengeluaran ini, lama kelamaan saya merasa tidak tahan. Hal ini karena saya sering merasa menyesal pada akhir bulan ketika melihat daftar pengeluaran yang tinggi. Saya menyalahkan diri sendiri dan menjadi depresi. Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan metode pencatatan ini, karena saya tidak ingin diperbudak oleh buku catatan daftar pengeluaran ini.

Setelah tidak menggunakan metode pencatatan, saya menjadi gelisah dan merasa bersalah pada suami karena akhir bulan tetap saja berkantung bolong. Saya berusaha mengingat-ingat masa kecil ketika saya harus hidup bersama almarhum nenek, karena kedua orangtua saya pergi ke Colorado Amerika Serikat untuk menuntut ilmu. Nenek saya juga berlatar belakang pendidikan Belanda dan super teliti dalam mengatur keuangan keluarga. Nenek menjadi kepala keluarga karena harus menghidupi lima cucu dan sumber keuangan hanya gaji ayah saya serta pensiun kakek. Kami semua dilatih untuk super hemat, apalagi pada masa itu (sekitar tahun 1968) situasi negara tidak stabil sehingga harga barang-barang kebutuhan sehari-hari sulit dikendalikan.

Cara jitu nenek saya dalam mengelola keuangan sangat sederhana yaitu menggunakan metode amplop. Pada setiap awal bulan nenek selalu memasukkan uang pada banyak amplop. Satu amplop hanya untuk satu kebutuhan saja, dan kebutuhan itu tertulis pada bagian luar amplop. Amplop yang sudah terisi kemudian direkatkan dengan lem untuk mengurangi godaan mengambil uang. Metode ini saya tiru dan ternyata sangat ampuh untuk mengelola keuangan keluarga. Memang ada kalanya saya harus merobek amplop untuk kebutuhan yang tidak sesuai dengan yang tertulis di amplop, namun peristiwa itu jarang terjadi. Suami yang melihat amplop-amplop berisi uang juga menjadi tidak tergoda untuk membelanjakan uang. Agar lebih hemat, amplop-amplop itu dibuat dari kertas bekas yang masih layak pakai. Jadi sekarang saya mempunyai banyak persediaan amplop untuk menata keuangan keluarga. Saya bersyukur warisan nenek ternyata san

Berkantung bolong nampaknya akan selalu menjadi nasib saya pada setiap akhir bulan. Hal ini karena karena saya merasa sering kedodoran dalam mengelola keuangan keluarga, lebih tepatnya keuangan suami. Akibatnya bisa ditebak, saya sering mengalami kebingungan dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Kebingungan rutin pada akhir bulan dapat terlihat nyata dari kurang bervariasinya menu masakan.

Sebenarnya sudah sangat sering saya mencoba berbagai cara untuk mengatasi problem kantung bolong ini. Cara pengelolaan uang yang pernah saya coba adalah mencatat semua pengeluaran pada buku catatan. Begitu telitinya saya mencatat semua pengeluaran, sehingga untuk keperluan parkir kendaraan dan memberikan sedekah pada pengemis pun saya catat. Ide ini berasal dari kebiasaan almarhum ibu saya yang sangat teliti dalam membelanjakan uang yang berasal dari ayah saya. Maklum, beliau mempunyai latar belakang pendidikan Belanda yang sangat menekankan ketelitian dalam berhitung. Pada mulanya saya merasa kesulitan, karena faktor lupa dan seringnya menunda-nunda proses pencatatan. Meskipun merasa kesulitan, saya memaksa diri untuk tetap melakukan metode pencatatan ini karena tertantang oleh kebiasaan pengasuh saya yang sudah tua dan buta huruf tetapi sangat kuat daya ingatnya terutama terhadap uang yang sudah dibelanjakannya.

Setelah beberapa lama menjalankan metode pencatatan daftar pengeluaran ini, lama kelamaan saya merasa tidak tahan. Hal ini karena saya sering merasa menyesal pada akhir bulan ketika melihat daftar pengeluaran yang tinggi. Saya menyalahkan diri sendiri dan menjadi depresi. Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan metode pencatatan ini, karena saya tidak ingin diperbudak oleh buku catatan daftar pengeluaran ini.

Setelah tidak menggunakan metode pencatatan, saya menjadi gelisah dan merasa bersalah pada suami karena akhir bulan tetap saja berkantung bolong. Saya berusaha mengingat-ingat masa kecil ketika saya harus hidup bersama almarhum nenek, karena kedua orangtua saya pergi ke Colorado Amerika Serikat untuk menuntut ilmu. Nenek saya juga berlatar belakang pendidikan Belanda dan super teliti dalam mengatur keuangan keluarga. Nenek menjadi kepala keluarga karena harus menghidupi lima cucu dan sumber keuangan hanya gaji ayah saya serta pensiun kakek. Kami semua dilatih untuk super hemat, apalagi pada masa itu (sekitar tahun 1968) situasi negara tidak stabil sehingga harga barang-barang kebutuhan sehari-hari sulit dikendalikan.

Cara jitu nenek saya dalam mengelola keuangan sangat sederhana yaitu menggunakan metode amplop. Pada setiap awal bulan nenek selalu memasukkan uang pada banyak amplop. Satu amplop hanya untuk satu kebutuhan saja, dan kebutuhan itu tertulis pada bagian luar amplop. Amplop yang sudah terisi kemudian direkatkan dengan lem untuk mengurangi godaan mengambil uang. Metode ini saya tiru dan ternyata sangat ampuh untuk mengelola keuangan keluarga. Memang ada kalanya saya harus merobek amplop untuk kebutuhan yang tidak sesuai dengan yang tertulis di amplop, namun peristiwa itu jarang terjadi. Suami yang melihat amplop-amplop berisi uang juga menjadi tidak tergoda untuk membelanjakan uang. Agar lebih hemat, amplop-amplop itu dibuat dari kertas bekas yang masih layak pakai. Jadi sekarang saya mempunyai banyak persediaan amplop untuk menata keuangan keluarga. Saya bersyukur warisan nenek ternyata sangat berguna dalam penataan keuangan. gat berguna dalam penataan keuangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun