Mohon tunggu...
aruna
aruna Mohon Tunggu... Mahasiswa - undergraduate psychology

live my life

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sindrom Sarang Kosong: Memaknai Hidup Pasca Kepergian Anak

24 Juni 2024   15:32 Diperbarui: 24 Juni 2024   15:42 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Masa lansia adalah salah satu tahap perkembangan hidup yang pasti akan dialami manusia, termasuk didalamnya penurunan fungsi tubuh karena usia semakin bertambah. Salah satu peristiwa yang tidak asing pada lansia adalah kepergian sang anak dari rumah yang sejak kecil ditempati bersama untuk kepentingan lainnya, seperti pendidikan lanjut, pekerjaan, atau menikah. Ketidakhadiran anak membuat lansia juga secara tidak langsung kehilangan dukungan untuk menghadapi penurunan fungsi tubuh dan peran di keluarganya. Kepergian anak dari rumah yang sejak kecil telah bersama individu dan penurunan fungsi peran di keluarga membuat individu merasakan kekosongan di masa tuanya atau disebut juga empty nest syndrome yang ditandai oleh beberapa gejala, meliputi kesedihan mendalam, kesepian, stres dimana jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan lansia. Oleh karena itu penting bagi lansia untuk beradaptasi dengan perubahan ini agar tetap beraktivitas dan melanjutkan hidup.

Menurut Teori Psikososial Erickson, individu akan melalui 8 tahapan perkembangan berbeda yang berisi konflik, termasuk integrity vs despair yang dihadapi para lansia. Integritas didapat dari evaluasi yang dialami individu sepanjang hidupnya. Jika individu dapat melewati konflik ini dengan baik maka akan menghasilkan ego integrity dimana hal tersebut dapat diraih jika individu telah berdamai dengan diri, pilihan yang dibuat, dan segala peluang yang mampu diraih. Beberapa aspek ego integrity mencakup, adapting to triumphs and disappointments dimana individu mampu beradaptasi dengan keberhasilan dan accept the past as meaningful berupa menerima masa lalu sebagai sesuatu yang bermakna.

Despair merupakan keadaan individu sulit untuk mengintegrasikan pengalaman hidupnya atau bisa dibilang lawan dari integrity. Individu yang telah mencapai tahap integritas maka akan menemukan kedamaian dalam hidup, puas pada hidupnya, dan kemampuan toleransi yang baik. Sementara individu yang mengalami despair tentu tidak memenuhi kedua aspek tersebut karena dirinya sibuk untuk tidak menyetujui segala hal yang tidak sesuai keinginannya, cepat putus asa, dan riskan untuk depresi. Selain itu, lansia menghadapi banyak perubahan, baik sosial maupun fisik dimana anggapan bahwa dirinya sudah tidak lagi mampu mengambil peran di masyarakat dan penurunan drastis fungsi tubuh. Kedua hal tersebut yang terjadi hampir bersamaan tentu akan berdampak pada keadaan emosionalnya sehingga individu mudah sekali untuk merasa kesedihan dan kesepian.

Uraian tersebut sesuai dengan Hurlock (1980) bahwa salah satu ciri individu yang telah memasuki fase lanjut usia ialah dengan adanya perubahan peran karena berbagai kemunduran yang terjadi. Individu di usia lanjut akan mengalami permasalahan fungsi fisik dan psikis yang memungkinkan merekan membutuhkan orang lain untuk mendukung dan membantunya dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Individu akan merasa tidak berguna ketika mengalami penurunan fungsi fisik. Dari segi finansial, lansia telah pensiun sehingga penghasilannya berkurang yang membuatnya bergantung pada keluarga (Sangian et al., 2017). Sementara pada usia ini para lansia akan menghadapi keadaan dimana anaknya akan meninggalkan rumah karena pekerjaan, pendidikan, atau bahkan pernikahan yang menyebabkannya mengalami kesedihan mendalam.

Empty nest syndrome (ENS)dianggap sebagai respons maladaptif pada lansia terhadap transisi menjadi orang tua (postparental) yang salah satunya dipicu oleh keadaan dimana perginya sang anak sehingga individu berkemungkinan besar mengalami kesedihan mendalam karena merasa kosong ditinggal oleh anak, terutama pada kalangan ibu (Raup & Myers, 1989). Hal ini ditegaskan oleh Rosen et al., (2008) bahwa ENS atau sindrom sarang kosong ditandai oleh perasaan sedih atau duka cita yang dirasakan orang tua ketika anak meninggalkan rumah di usia dewasa atau karena hal lainnya. Jika hubungan antara orangtua dan anak dekat, orang tua akan lebih merasa kosong karena rumah yang biasanya ramai mendadak sepi. Lebih lanjut, melalui penelitian Darmayanthi dan Lestari (2018) ditemukan bahwa perubahan rutinitas dan kebiasaaan yang selama ini dilakukan juga memicu terjadinya ENS karena penurunan fungsi tubuh yang dialami lansia sehingga membuatnya merasa kesepian. Hal tersebut selaras dengan Abraham (2012; Hidayati dan Suparno, 2024) bahwa terdapat beberapa faktor risiko yang meningkatkan ENS pada lansia; (1) Berhubungan protektif dengan anak dan terlalu ikut campur, (2) Merasa tidak ada gunanya untuk memiliki peran tertentu di keluarga, (3) Kehilangan peran utama sebagai orang tua. Dapat dikatakan bahwa kepergian anak dari rumah membuat orang tua secara tidak langsung juga kehilangan rutinitasnya dalam mengasuh anak yang selama ini telah dilakukannya selama bertahun-tahun.

Darmayanthi dan Lestari (2018) menjabarkan bahwa terdapat beberapa tahapan ideal dari awal mula individu mulai mengalami empty nest syndrome hingga akhirnya individu mampu beradaptasi terhadapnya. Awalnya individu akan mengalami perasaan negatif yang terjadi tepat setelah anak meninggalkan rumah, berupa takut kehilangan anak, khawatir terhadap kondisi anak, serta perasaan hampa dan kesepian. Jika hal ini tidak ditangani dengan baik maka lansia akan mengalami memori kilas balik beberapa kali sekitar 6 bulan sejak kepergian sang anak. Tak jarang hal ini diperparah oleh emosi yang fluktuatif sebagai dampak dari menopouse yang dialami. Selanjutnya, individu akan mulai terbiasa dengan ENS yang terjadi sekitar bulan ke-12 sejak anak meninggalkan rumah. Ketika individu sudah mulai terbiasa dengan ketidakberadaan sang anak serta perasaan yang diakibatkan, membuat indiividu lebih memahami dan menyadari pengalaman tersebut secara utuh serta mulai mengerti alasan dari kepergian sang anak dimana ini terjadi sekitar bulan ke-18 sejak anak menginggalkan rumah. Secara ideal, akhirnya orang tua mampu beradaptasi terhadap perubahan tersebut yang biasanya memakan waktu sekitar satu tahun sejak kepergian anak dari rumah.

Namun, seperti yang sudah dikatakan bahwa uraian di atas merupakan keadaan ideal dari lansia yang mengalami empty nest syndrome. Bagaimana dengan individu yang mengalaminya lebih lama dari jangka waktu ideal yang ditetapkan? Ternyata, ENS yang berkepanjangan juga berdampak negatif bagi individu. Menurut Borland (1982), apabila hal ini berlangsung lama dapat menimbulkan kecemasan, penurunan harga diri, hingga menyebabkan stres, depresi, kesepian, dan krisis identitas. Bahkan lansia yang mengalami berbagai gejala dari sarang kosong berkaitan erat dengan kesepian dan depresi (Wang et al., 2017; Hidayati dan Suparno, 2014). Maka dari itu diperlukan suatu adaptasi agar para orang tua ini tidak kebingungan dan dapat berfungsi normal kembali baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat.

Secara teoritis, Hurlock (1980) menyatakan bahwa diperlukan indikator utama untuk menghadapi empty nest syndrome adalah dengan accept the timing dimana para lansia menerima keadaannya saat ini dimana hal tersebut menjadi salah satu indikator dari pemenuhan kesejahteraan psikologis individu, yaitu acceptance. Maksud dari uraian tersebut adalah lansia mengetahui dan menerima secara utuh kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya serta segala keterbatasan yang ada, baik secara fisik maupun psikoogis. Oleh karena itu, lansia diharapkan bisa lebih bijak dalam berpikir dan berperilaku karena dirinya tidak lagi muda dengan keadaan prima, melainkan sudah mengalami penurunan fungsional di beberapa aspek yang tidak bisa dihindari. Hal ini selaras dengan Triningtyas dan Muhayati (2018) bahwa lansia dengan tingkat penerimaan diri yang tinggi membantunya dalam menghadapi perubahan selama penuaan.

Ryff & Keyes (1995) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis individu atau psychological well-being sebagai keadaan dimana individu dapat hidup bahagia berdasarkan pengalaman hidup yang telah dilewati dan bagaimana ia memandangnya berdasarkan potensi yang dimiliki. Dapat dikatakan, individu yang puas dengan hidupnya tidak hanya terbebas dari berbagai indikator mental negatif, tetapi juga mengetahui potensi positif pada dirinya. Tingginya tingkat psychological well-being individu ditandai dengan penerimaan diri yang baik, berelasi dengan individu lain, mandiri, dan memiliki tujuan. Hal ini sesuai dimensi psychological well-being yang disampaikan Ryff (1989) bahwa penerimaan diri (self acceptance) menjadi salah satu dari keenam aspek psychological well-being dimana individu bersikap positif terhadap pribadi, memahami dan menerima berbagai aspek pada diri, dan menilai dengan positif kehidupan yang sedang dijalaninya.

Terdapat beberapa kondisi penting agar lansia mencapai kesejahteraan psikologis yang dinyatakan Hurlock (1980), yaitu realistis dan mau menerima kenyataan terhadap perubahan fisik dan psikis yang dialami. Self acceptance merupakan keadaan ketika individu dapat menyadari dan memahami karakteristik dirinya, serta menggunakannya untuk menjalani keseharian dimana hal tersebut dapat terlihat dengan mengakui kelebihan dan menerima kelemahan tanpa menyalahkan orang lain dan berkeinginan untuk mengembangkan diri (Cornbach, 1963). Jika individu dapat menerima dirinya, ia akan lebih menyadari siapa dirinya dan kekurangan dan kelebihannya sehingga dapat membantu menghadapi masalah yang sedang dihadapi, dan membantunya menjalani tuntutan peran di masyarakat. Self acceptance sangatlah penting bagi individu, tidak terkecuali pada lanjut usia yang mengalami empty nest syndrome, agar individu dapat beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi padanya dan mampu mengekspresikan emosinya dengan tepat dan fungsional guna menghadapi berbagai keadaan dalam kehidupan sehari-hari.

Pohan (2021) memaparkan beberapa faktor individu dapat menerima dirinya, seperti dukungan sosial yang melibatkan emosi, pemberian bantuan dan informasi, serta penilaian positif yang didapat dari orang sekitar dan berbagai instansi. Individu dengan spiritualitas tinggi dapat membantunya beradaptasi pada perubahan yang terjadi dalam dirinya pada lanjut usia dalam menghadapi sindrom sarang kosong. Religiusitas sebagai dasar keyakinan teologis meliputi pedoman hidup dan praktik ibadah dapat membantu individu memahami pengalaman hidupnya. Individu yang berpikir positif dapat memunculkan nilai-nilai positif pada dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun