Mohon tunggu...
Arum Nilam Cahya
Arum Nilam Cahya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

SOSIOLOGI FIS UNJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak Komersialisasi terhadap Nilai Budaya Tari Kecak di Bali: Analisis Sosiologis dengan Perspektif Pierre Bourdieu

10 Juni 2024   21:55 Diperbarui: 10 Juni 2024   23:00 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan
Pulau Bali dikenal dengan sebutan “Pulau Dewata”, hal ini dijuluki oleh para pengunjung karena Pulau Bali memiliki banyak bangunan pura sebagai tempat ibadahnya dan juga disebut sebagai “Sorga Terakhir” (Soedarsono, 1999:17). Pulau Bali sendiri terletak diantara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Luas Bali sekitar 5.636,66 km2, terdapat perubahan yang terjadi dari 563.666 Ha menjadi 559.468 Ha (berdasarkan data BPS dan Biro Pem). Bali adalah pulau yang indah memiliki panjang garis pantai sekitar 633,35 km. Bali adalah salah satu dari 17.805 pulau di Indonesia yang hingga kini masih memancarkan pesona magis. Pulau kecil ini terletak di kawasan tropis, dihiasi pepohonan hijau di lereng gunung berapi, pantai berpasir putih, terumbu karang, dan ombak yang memikat para peselancar. Lanskapnya mencerminkan keahlian tangan manusia selama berabad-abad, terlihat dari terasering sawah dengan sistem pengelolaan air yang canggih, yang dikenal dengan subak.

Pulau Bali juga merupakan pulau dengan segudang budaya. Banyak seni budaya yang muncul dari pulau ini. Bahkan karena kekayaannya akan seni pertunjukan, Bali juga sering diberi julukan sebagai “Pulau Kesenian” (Kartodirdjo, 1987:47). Kebudayaan beragam ini mulai dari keunikan daerah, tarian, wisata, dan kehidupan sosialnya. Keunikan Bali dapat tercermin dengan kehidupan sosialnya, yang dimana menggabungkan antara agama dengan kesenian. Pulau Bali yang kecil dengan penduduknya yang sebagian besar beragama Hindu yang dalam sejarahnya lahir sekitar abad 4000 sebelum masehi dan memiliki bangunan suci keagamaan pura dalam jumlah sekitar 20.000 buah. Kesenian yang seolah telah menyatu dengan kehidupan masyarakat telah banyak ditulis oleh banyak peneliti. Kesenian yang banyak berkembang salah satunya yaitu seni pertunjukan.

Dengan berkembangnya seni pertunjukan, maka semakin lama seni pertunjukan ini akan menjadi pusat wisata. Perkembangan pariwisata telah membuat Bali sangat terbuka dalam berkomunikasi dengan dunia luar, sehingga pariwisata di Bali telah mendorong terjadinya perubahan budaya dari budaya agraris menuju budaya industri. Berkembangnya industri pariwisata selama ini tampaknya telah menyentuh kehidupan masyarakat Bali. Hal itu kiranya telah membuat kondisi masyarakat Bali mengalami ketidakseimbangan atau kehilangan orientasi (disorientasi) dan dislokalisasi hampir di setiap aspek kehidupan masyarakatnya. Hal itu dapat dilihat pada kehidupan masyarakatnya yang kini cenderung bersifat sekuler, komersial, bahkan banyak yang menjadikan uang sebagai tolak ukur dalam kehidupannya (Ardika, 2004:73). Akhirnya, seni budaya Bali disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, sehingga muncul "Tari Kecak" sebagai karya seni yang dapat dipertunjukkan kepada mereka. Dengan demikian, kehadiran seni pertunjukan tari Kecak di Bali dapat dianggap sebagai bentuk budaya kreatif yang sengaja dirancang untuk kepentingan pariwisata.

Isi
Indonesia memiliki beragam suku dan budaya dari berbagai macam pulau. Salah satunya yaitu berasal dari Bali, yaitu tari kecak. Tari Kecak adalah pertunjukan dramatari yang menceritakan mengenai Ramayana dan dimainkan terutama oleh laki-laki. Tarian ini dipertunjukkan oleh banyak (puluhan atau lebih) penari laki-laki yang duduk berbaris melingkar. Pada tari Kecak terdapat irama menyerukan "cak" sambil mengangkat kedua lengan yang menggambarkan kisah Ramayana saat barisan kera membantu Rama melawan Rahwana. Kecak berasal dari ritual sanghyang yaitu tradisi tarian yang penarinya akan berada pada kondisi tidak sadar, melakukan komunikasi dengan Tuhan atau roh para leluhur dan kemudian menyampaikan harapan-harapannya kepada masyarakat. Tari Kecak ini telah menjadi seni pertunjukan yang banyak digemari. Seni pertunjukan sendiri adalah seni yang disajikan dengan penampilan peragaan atau seni yang ditunjukkan oleh pelakunya (Bastomi, 1992:42)

Tari kecak ini semakin lama menjadi kesenian yang berorientasi pada pertunjukan wisata. Seni pertunjukan pariwisata Bali adalah seni pertunjukan daerah yang sengaja dikemas untuk ditampilkan bagi wisatawan/pariwisata. Seni pertunjukan pariwisata di Bali berkembang sebagai hasil dari interaksi antara seni pertunjukan tradisional Bali dan industri pariwisata yang tumbuh di wilayah ini. Seni pertunjukan ini berkembang sebagai tanggapan masyarakat Bali terhadap pertumbuhan industri pariwisata di daerah mereka. Memerlukan peran serta masyarakat setempat, seperti halnya Tari Kecak di Bali yang bermanfaat bagi ekonomi lokal. Ada teknik baru dalam mengembangkan Tari Kecak agar dapat mewakili identitas seni Bali, dengan nilai lokal dan daya tarik global. Pengembangan Tari Kecak dilakukan melalui pembentukan jaringan sosial secara sukarela untuk mempertahankan modal budaya yang berakar pada tradisi, adat istiadat, dan kehidupan komunal (Tillar, 2007). Tari kecak sebagai budaya diciptakan bukan hanya untuk kepentingan pengembang kesenian, tetapi lebih besar dari pada itu yaitu mengembangkan tari kecak sendiri sebagai komuditi yang berkembang pada pasar.

Era globalisasi saat ini, memaksa seniman Bali untuk dapat menciptakan sesuatu yang tidak hanya berguna untuk dirinya dan masyarakat, tetapi juga berguna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak lagi dengan melakukan kreativitas yang melahirkan budaya kreatif karena dorongan sosial, tetapi dorongan ekonomi. Sebagai seni wisata, Tari Kecak diciptakan untuk memenuhi selera wisatawan dan menjadi arena untuk memperjualbelikan kesenian. Faktor ekonomi yang mendorong penciptaan kesenian ini adalah kunjungan wisatawan ke Bali. Wisatawan datang ke Bali terutama untuk melihat seni budaya Bali yang unik sebagai bentuk kearifan lokal. Kepentingan ekonomi menjadi sangat jelas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Bali dalam menghasilkan uang. Jika seni dikuasai oleh kepentingan ekonomi, kehidupan budaya akan terganggu, dan kita akan menempatkan diri dalam dunia yang diberi label harga (Smiers, 2009:3). Akibatnya, nilai kebersamaan, tolong menolong, dan pengabdian akan menjadi kabur. Komersial tari kecak dapat dilihat dari pertunjukan yang ditampilkan di tempat wisata seperti di Uluwatu, Tanah Lot, dan Besakih. Dari pertunjukan tersebut, juga menjual merchandise seperti topi, kaos, gantungan kunci, dan oleh-oleh lainnya.

Dari kejadian diatas tentang perubahan tari kecak dari pengembangan kesenian menjadi pengembangan komersial dapat dianalisis menggunakan sudut pandang Pierre Bourdieu. Pierre Bourdieu adalah seorang sosiolog Perancis yang terkenal dengan karyanya tentang kelas sosial, budaya, dan praktik sosial lainnya. Melalui perspektif Bourdieu, komersialisasi Tari Kecak dapat dilihat sebagai bentuk perjuangan di dalam lapangan budaya Bali. Para pelaku budaya, seperti penari, seniman, dan pengusaha wisata, bersaing untuk mendapatkan modal simbolik dan ekonomi dari Tari Kecak. Habitus para pelaku budaya ini, yang dibentuk oleh pengalaman dan posisi sosial mereka, akan memengaruhi cara mereka melihat dan berperilaku dalam lapangan budaya. Mereka yang memiliki modal simbolik dan ekonomi yang lebih tinggi, seperti pengusaha wisata, mungkin memiliki lebih banyak pengaruh dalam menentukan bagaimana Tari Kecak dikomersialkan. Reproduksi sosial budaya Bali juga dapat dipengaruhi oleh komersialisasi Tari Kecak. Generasi muda yang terpapar Tari Kecak yang dikomersialkan mungkin memiliki pemahaman yang berbeda tentang nilai budaya Tari Kecak dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Dengan demikian, Pierre Bourdieu melihat kesenian tari kecak yang telah dikomersialkan memengaruhi nilai budaya.

Kesimpulan
Seni Pertunjukan memberikan pengaruh kepada masyarakat Bali terhadap pertumbuhan industri yang memerlukan peran masyarakat setempat agar dapat bermanfaat bagi ekonomi lokal dan memiliki gaya tarik global. Pengembangan Tari Kecak dilakukan melalui pembentukan jaringan sosial secara sukarela untuk mempertahankan modal budaya yang berakar pada tradisi, adat istiadat, dan kehidupan komunal. Sebagai seni wisata, kepentingan ekonomi menjadi sangat jelas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Bali dalam menghasilkan uang. Jika seni dikuasai oleh kepentingan ekonomi, kehidupan budaya akan terganggu, dan kita akan menempatkan diri dalam dunia yang diberi label harga. Komersialisasi Tari Kecak di Bali memiliki dua sisi mata pisau. Di satu sisi, komersialisasi dapat memberikan manfaat ekonomi dan meningkatkan popularitas budaya Bali. Di sisi lain, komersialisasi juga dapat membawa dampak negatif terhadap nilai budaya dan eksploitasi masyarakat lokal. Perspektif Pierre Bourdieu menawarkan kerangka kerja yang berguna untuk memahami dinamika kompleks dalam lapangan budaya dan bagaimana komersialisasi memengaruhi nilai budaya.

Daftar Pustaka
Ni Made, R. (2010). Seni Pertunjukan Pariwisata Bali dalam Perspektif Kajian Budaya.

Wijaya, W. K. (2014). PANCA BALIKRAMA BESAKIH Manajemen,Implikasi, dan Dasar Pelaksanaan.
Universitas Hindu Indonesia.

Pemayun, A. G. P. (2018). Ekonomi Kreatif dan Kearifan Lokal dalam Pembangunan Pariwisata
Berkelanjutan di Bali. Universitas Pendidikan Nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun