Mohon tunggu...
Radianti ArumPratiwi
Radianti ArumPratiwi Mohon Tunggu... Operator - Welcome

Mahasiswi Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

"Petik Laut" sebagai Sarana Ucap Rasa Syukur

12 Januari 2021   02:01 Diperbarui: 12 Januari 2021   02:40 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia sebagai negara Kepulauan, yang penduduknya mayoritas berprofesi sebagai nelayan sudah tidak asing dengan suatu tradisi yang kerap disebut dengan Tradisi Petik Laut, Petik Laut Sarongan atau yang biasa disebut dengan Larung Sesaji ini merupakan tradisi turun temurun berupa pemberian sesaji kepada laut dikarenakan para nelayan telah mengambil ‘memetik’ ikan dari laut, tradisi ini salah satu peninggalan dari leluhur yang masih dipercaya dan dilestarikan di Jember dan beberapa daerah lainnya seperti Banyuwangi, Pasuruan, Probolinggo, Malang, Situbondo, atau bahkan diluar dari pulau Jawa.

Menurut kepercayaan masyarakat tradisi ini dilakukan sebagai sarana pengucapan rasa syukur atas nikmat dari hasil laut yang melimpah yang telah berhasil didapatkan nelayan selama melaut. Petik Laut atau Larung Sesaji ini biasa dilakukan setahun sekali pada 15 Muharram di bulan Suro (Penanggalan Jawa).

Di kota Jember sendiri tradisi ini biasa dilakukan di kecamatan Puger dahulunya dikenalkan oleh leluhur yakni nenek moyang kita dan sudah ada sejak tahun 1930. Tradisi Petik Laut yang rutin dilakukan setiap tahun oleh masyarakat Pugerkulon, Jember tidak hanya bertujuan sebagai pengucapan rasa syukur nelayan terhadap laut tetapi juga dipercaya sebagai tolak bala agar nelayan yang sedang mencari ikan untuk nafkah dilaut terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Bahkan beberapa nelayan percaya jika usai tradisi Petik Laut dilakukan ‘biasanya’ hasil tangkapan ikan saat kembali melaut akan lebih melimpah dari sebelumnya. Pada zaman dahulu, tradisi Petik Laut ini dipimpin oleh seorang dukun, namun seiring berjalannya waktu, unsur keagamaan mulai masuk kedalam tradisi Larung Sesaji sehingga dipercaya lebih memberikan makna religius dalam pelaksanaannya.

Larung Sesaji atau Petik Laut dilaksanakan dalam waktu tiga hari, pada hari pertama masyarakat sekitar laut melakukan pembacaan Surah Yasin bersama, dilanjutkan hari kedua yakni khataman Al-Qur’an, dan barulah pada hari ketiga sesaji yang telah dibuat dilarungkan atau dilempar ke tengah laut.

Pelaksanaan Larung Sesaji pada hari ketiga tidak sebatas melarungkan sesaji ke tengah laut, namun diawali dengan pembacaan do’a bersama, dzikir, dan shalawat yang dipimpin oleh seorang uzstad atau kyai, juga dimeriahkan oleh tarian khas Jember dan juga pawai atau arak arakan masyarakat sekitar dengan menggunakan bermacam-macam pakaian adat.

Kemudian jika arak arakan telah sampai ke tepi pantai barulah para nelayan menaiki beberapa perahu yang sebelumnya telah dihias sedemikian rupa sehingga terlihat lebih cantik hingga ke tengah laut, sedangkan Sesaji yang dilarungkan biasanya berupa kepala sapi, tiga ekor ayam, kue atau jajanan bermacam warna, bubur dengan tiga warna dan beberapa hasil bumi seperti jagung, kedelai, padi, umbi, ketela, dan lainnya. 

Seluruh sesaji yang telah disiapkan ini ditata sedemikian rupa diatas miniatur perahu yang terbuat dari batang pohon pisang sebelum dilempar dan dilarungkan kelaut bersama-sama oleh para nelayan. Berbagai macam sesaji yang disiapkan memiliki makna masing-masing dalam kajian budaya, seperti kepala sapi yang merupakan wujud penyerahan dan ketundukan manusia terhadap Tuhan karena kepala menggambarkan ego manusia.

Sedangkan untuk hasil bumi lainnya seperti umbi, padi, ketela, jagung, kue jajanan beraneka warna, melambangkan hidup manusia pada umumnya yang membutuhkan sandang dan pangan untuk menjalani hidup, kemudian bubur dengan warna merah dan putih menggambarkan adanya siang dan malam.

Seutuhnya, tradisi sesaji sedemikian rupa yang dilarungkan ke laut ini merupakan perwujudan serah diri manusia kepada Tuhan sebagai ucapan syukur dan permohonan perlindungan untuk tetap dapat bekerja melaut mencari ikan dengan hasil melimpah dan juga demi keselamatan. Usai para nelayan melarungkan sesaji ke tengah laut yang diiringi oleh bacaan dzikir dan shalawat, nelayan kembali ke tepi pantai dan hal ini menandakan bahwa upacara adat Petik Laut atau Larung Sesaji telah usai dilakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun