Dulu. Aku pernah sangat membenci hujan. Membenci setiap rintik dan tanda-tanda kedatangannya. Hujan bagiku adalah epidemi hidup yang kejam, mengguyur bumi semaunya, dan membiarkan tanah becek di mana-mana. Kekeringan yang melanda bumi pasti menumbuhkan kerinduan bagi para penghuninya terhadap hujan. Namun rindu itu seakan tak berlaku tempo bagiku. Meski kering harus kulanda setiap hari, aku sanggup. Daripada harus kuhadapi sendiri hujan dengan tertatih, lebih baik aku hidup dalam kering tanah yang kerontang.
Mungkin orang-orang berpikir aku egois, puteri apatis, bahkan anarkhis terhadap takdir Tuhan, menentang dan menghapus garis-garis yang telah digambarkan Tuhan perihal waktu-waktu hujan harus diturunkan. Namun bagaimanapun pikiran orang-orang tentang diriku, beginilah aku yang sampai detik ini belum bisa menerima kenyataan hidup yang terpaksa kujalani sejak tujuh tahun yang lalu.
Waktu itu aku berumur 10 tahun. Tak banyak yang kupahami tentang hidup ini. Hidup kujalani seiring kaki melangkah. Yang benar-benar kupahami saat itu adalah aku bahagia memiliki ayah dan ibu.
Ayah, sosok laki-laki yang mengajariku banyak argumen tentang pentingnya bekerja keras dan berusaha. Darinya, aku tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan percaya diri. Tak heran, jika almari di rumahku penuh dengan piala dari berbagai penghargaan yang kusabet di sekolah. Dari nasehat dan petuahya, benih-benih semangat dalam diriku tumbuh menjadi potensi yang kugandrungi sampai saat ini.
Ibu, sosok wanita penyayang yang yang mewariskan kesabaran padaku. Meski hidup dalam kesederhanaan, dirinya adalah kesempurnaan. Sama seperti ayah, ibu selalu berpesan padaku agar kelak ketika dewasa, aku harus menjadi seorang wanita tegar yang berani menerjang segala keresahan hidup dengan senyum dan keikhlasan, sebab segalanya hanya milik Allah dan hanya akan kembali pada-Nya pula.
Tepat pada malam ulang tahunku yang ke-10, 22 Mei 2005, aku laksanakan pesan mereka, menjelma sosok paling tegar meski hanya berpura-pura. Ya, malam itu aku harus kehilangan ayah dan ibuku untuk selama-lamanya. Malam cekam disertai guyur hujan yang menggila mengiringi kepergian ayah dan ibuku.
Andai hujan tak datang, mungkin ayah akan lebih konsentrasi menyetir dan menyadari bahwa di depannya ada truk yang sedang melaju cepat. Begitupun dengan ibu yang hanya menyandarkan hidupnya pada konsentrasi ayah. Andai malam itu juga hujan tiada, aku masih bisa merayakan pesta ulang tahunku bersama ayah dan ibuku. Dan semenjak itulah, hujan bersalah padaku. Aku sangat membencinya dan mungkin tak kan pernah memaafkannya.
***
Begitu seterusnya kulalui hidup yang semakin resah, semakin sesak setiap kali hujan datang bertamu terlalu lama ke daerah tempat tinggalku, berjam-jam bahkan berhari-hari. Sedang diriku bukanlah Tuhan yang bisa setiap waktu menghentikan hujan bahkan meniadakannya. Hujan yang datang berkali-kali hanya akan membuat airmataku mengalir lebih deras lagi, sebab luka yang lebih perih setiap kali kutatap wajah ayah dan ibuku terlukis di antara hujan yang bersalah itu.
Iktirad dan testimoni itu terus kupertahankan sampai tahun-tahun selanjutnya, sampai diriku berusia 17 tahun. Namun hingga suatu hari, kau yang saat itu berusia 18 tahun mulai mengenalkanku pada hujan yang lain. Setelah tiga tahun aku bersahabat denganmu, baru saat itu kau menyinggung tentang hujan yang amat kubenci dan hujan yang amat kau kagumi. Itulah hujan lain yang akan kau kenalkan padaku.
Aku memang tidak pernah menceritakan perihal hujan yang kukenal padamu. Namun seakan paham keadaanku, setiap kali hujan datang dan saat itu kita sedang bersama, kau mendekapku erat agar tak satupun tetes hujan jatuh ke permukaan kulitku atau gemuruh petirnya tak menyentuh gendang telingaku. Kau selalu bilang padaku bahwa tak selamanya hujan begitu, seperti yang kupikirkan.