Mohon tunggu...
Arum Dwi Sulistiyo Wati
Arum Dwi Sulistiyo Wati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan dengan fokus pada konsentrasi moneter. Tertarik mendalami kebijakan makroprudensial, keuangan digital, dan efektivitas instrumen moneter dalam perekonomian Indonesia. Melalui tulisan-tulisan ini, saya berharap dapat berbagi wawasan dan berdiskusi mengenai berbagai isu ekonomi terkini yang berkaitan dengan kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Stabilitas Nilai Tukar di Tengah Ekonomi Global yang Berfluktuasi: Apa Langkah Indonesia?

10 November 2024   22:22 Diperbarui: 11 November 2024   18:52 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Volatilitas nilai tukar menjadi salah satu tantangan utama dalam perekonomian Indonesia. Sebagai negara berkembang dengan sistem ekonomi terbuka, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan nilai tukar, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor global dan domestik. Nilai tukar yang berfluktuasi tajam dapat menciptakan ketidakpastian di berbagai sektor, mulai dari sektor ekspor dan impor, investasi asing, hingga stabilitas harga barang dan jasa di dalam negeri. Volatilitas ini dipengaruhi oleh aliran modal asing yang keluar-masuk dalam jumlah besar, perubahan harga komoditas, serta kebijakan moneter dari negara-negara ekonomi besar, terutama Amerika Serikat. Ketika terjadi peningkatan suku bunga di negara maju seperti AS, investor cenderung menarik dananya dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, yang menyebabkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. 

Dalam situasi ini, Bank Indonesia harus sering melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas nilai tukar, meski tidak selalu mudah karena keterbatasan cadangan devisa dan kompleksitas pasar valuta asing yang dipengaruhi banyak faktor eksternal. Selain faktor eksternal, volatilitas nilai tukar di Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi domestik, termasuk inflasi, defisit transaksi berjalan, dan kinerja ekonomi secara keseluruhan. Tingginya defisit transaksi berjalan, misalnya, meningkatkan ketergantungan pada aliran modal asing untuk menutupi kekurangan dalam perdagangan internasional. Ketika kondisi ekonomi global memburuk, aliran modal ini bisa berkurang drastis, sehingga memperburuk posisi rupiah. Di sisi lain, inflasi yang tinggi di dalam negeri dapat membuat nilai tukar rupiah tertekan karena biaya hidup yang semakin mahal. 

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah dan Bank Indonesia berupaya menjaga inflasi agar tetap rendah melalui kebijakan moneter yang ketat, termasuk dengan menaikkan suku bunga acuan. Namun, kebijakan ini kadang membawa konsekuensi negatif, seperti memperlambat pertumbuhan ekonomi domestik akibat mahalnya biaya pinjaman bagi dunia usaha. Volatilitas nilai tukar juga berdampak besar pada sektor bisnis, terutama bagi perusahaan yang bergantung pada bahan baku impor atau yang memiliki pinjaman dalam bentuk mata uang asing. Kenaikan kurs dolar AS terhadap rupiah berarti bahwa biaya produksi perusahaan akan meningkat, yang kemudian berpotensi mengurangi margin keuntungan atau bahkan menyebabkan kenaikan harga barang di pasar domestik. Dalam situasi ini, perusahaan sering kali berada pada posisi sulit, terutama jika mereka tidak bisa menyesuaikan harga jual produk dengan cepat akibat persaingan ketat. Bagi pelaku usaha kecil yang tidak memiliki akses ke lindung nilai (hedging) terhadap fluktuasi mata uang, volatilitas nilai tukar menjadi risiko besar yang sulit dihindari. Banyak perusahaan Indonesia mencoba mengurangi ketergantungan pada impor melalui substitusi bahan baku lokal, tetapi langkah ini juga memerlukan investasi dan waktu yang tidak singkat. 

Bank Indonesia memainkan peran kunci dalam menjaga stabilitas nilai tukar, terutama melalui kebijakan suku bunga dan intervensi di pasar valuta asing. Bank sentral sering kali melakukan intervensi saat terjadi tekanan besar pada rupiah, baik melalui penjualan cadangan devisa atau dengan menaikkan suku bunga acuan. Langkah ini bertujuan untuk menjaga daya tarik rupiah di mata investor asing dan mencegah arus modal keluar yang bisa memperburuk depresiasi rupiah. Namun, strategi ini memiliki keterbatasan, terutama jika volatilitas nilai tukar dipicu oleh faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan oleh kebijakan domestik. Sebagai contoh, saat pandemi COVID-19 melanda, Bank Indonesia harus menghadapi tantangan besar karena pasar global mengalami ketidakpastian tinggi yang menyebabkan arus modal asing keluar secara signifikan. Dalam situasi tersebut, Bank Indonesia tidak hanya mengandalkan intervensi pasar, tetapi juga bekerja sama dengan pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi melalui stimulus fiskal yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat. 

Di tengah volatilitas nilai tukar yang tinggi, pemerintah juga berusaha melakukan diversifikasi ekonomi sebagai langkah jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada sektor-sektor yang rentan terhadap fluktuasi mata uang, seperti komoditas ekspor. Diversifikasi ekonomi, termasuk dengan mendorong sektor manufaktur dan teknologi, diharapkan dapat menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi di dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada barang-barang impor. Selain itu, pemerintah juga berupaya meningkatkan ketahanan ekonomi melalui pengembangan industri pengolahan dan memperkuat ketahanan pangan untuk mengurangi tekanan terhadap neraca transaksi berjalan. Jika Indonesia berhasil memperkuat basis ekspornya dan mengurangi impor bahan baku, ini akan membantu memperbaiki struktur ekonomi sehingga lebih tahan terhadap guncangan eksternal dan menjaga stabilitas nilai tukar dalam jangka panjang. Sementara itu, kerja sama internasional juga menjadi salah satu langkah yang dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar. 

Indonesia telah menandatangani beberapa perjanjian kerja sama bilateral dan multilateral untuk mendukung stabilitas mata uang, seperti perjanjian swap mata uang dengan negara-negara mitra. Perjanjian ini memungkinkan Indonesia untuk mengakses cadangan valuta asing tambahan jika dibutuhkan, sehingga dapat membantu menstabilkan nilai tukar rupiah saat terjadi gejolak di pasar global. Langkah-langkah seperti ini memberikan ruang lebih bagi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas rupiah tanpa terlalu bergantung pada cadangan devisa. Selain itu, dengan mempererat kerja sama dalam perdagangan internasional, Indonesia bisa lebih fleksibel dalam mengelola nilai tukar rupiah, khususnya dengan mitra dagang utama seperti Tiongkok dan Jepang. Secara keseluruhan, volatilitas nilai tukar rupiah adalah tantangan yang memerlukan strategi komprehensif dan koordinasi antar-lembaga untuk menjaga stabilitas ekonomi. Selain kebijakan moneter dan fiskal yang tepat, peningkatan daya saing ekonomi dalam negeri juga harus menjadi fokus utama agar Indonesia tidak terlalu rentan terhadap perubahan nilai tukar. Dengan memperkuat ketahanan ekonomi melalui diversifikasi sektor-sektor yang tidak terlalu tergantung pada impor serta menjaga iklim investasi yang kondusif, Indonesia diharapkan bisa mengurangi dampak dari volatilitas nilai tukar di masa depan. Kesadaran akan pentingnya stabilitas nilai tukar tidak hanya menjadi tugas pemerintah dan Bank Indonesia, tetapi juga membutuhkan dukungan dari masyarakat dan sektor swasta dalam menciptakan perekonomian yang lebih mandiri dan tangguh terhadap guncangan eksternal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun