Aku terkapar dikamar dengan keluhan suhu badan tinggi hingga mencapai 39,4 derajat Celcius. Â Rasanya seperti cacing kepanasan membuatku tidak bisa bertahan dan ingin jerit berteriak.
Ini terjadi bulan Juni 2017 saat bulan puasa, awalnya Jumat pagi (8/6/17) aku masih beraktivitas biasa di kantor dan masih mengikuti meeting seperti biasanya. Saat jam istirahat kulakukan rebahan di ruang sholat namun aku mulai merasakan suhu badan yang tiba-tiba panas dan membuatku menggigil parah.Â
Aku termasuk orang kantoran yang jarang ijin pulang kantor karena sakit, namun saat itu aku sudah tidak tahan dengan sakitku dan kuputuskan untuk pulang cepat. Â Namun, aku masih bertahan menjalankan ibadah puasaku hingga Adzan Magrib berkumandang.
Gejala awal "hanya" panas
Saat berbuka puasa aku utamakan minum obat penurun panas dan memang suhu badanku bisa turun, namun tidak berlangsung lama. Â Malam itu suhu badanku merangkak naik sehingga aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Â
Keesokan harinya, dari jam 7 pagi aku sudah datang ke puskesmas terdekat untuk mengambil nomor urut dengan menyerahkan ktp. Â Ternyata, puskesmas tetap didatangi para pasien dengan berbagai keluhan. Â Sambil mengobrol tentang keluhan penyakit sesama pasien, namaku terdengar disebut dengan lantang melalui speaker. Â Sebelum bertemu dokter, aku harus mengukur tekanan darah dan berat badan. Â Perawat juga tidak lupa menanyakan keluhanku saat itu, aku pun menjawab "Hanya panas". Â Beberapa menit kemudian, aku mulai berhadapan langsung dengan dokter dan. Â mengutarakan keluhanku itu. Â Hanya beberapa menit diperiksa, aku pun mulai keluar dan menunggu di depan loket apotik. Â Pulang ke rumah mengendarai sepeda motor butut kesayanganku dan segera meminum obat yang telah diberikan oleh dokterku.
Aku minum obat secara teratur, namun ternyata kondisi stabil tanpa panas hanya bertahan beberapa jam.  Obat yang aku minum tidak terlalu memberikan pengaruh yang berarti pada suhu badanku.  Empat jam setelah minum obat, angka di termometerku mulai merangkak menunjukkan angka besar hingga mencapai 39,4 deraja Celcius.  Udah pernah merasakan suhu badan setinggi itu?? Kalau sudah pernah merasakannya, pasti tahu apa yang kurasakan.  Gamang.  Menggigil. Jujur saat itu aku pengen sekali berteriak karena merasakan panasnya tubuhku. Bener-bener seperti cacing kepanasan.  Kondisi masih termasuk kuat karena kalau anak bayi dengan memiliki suhu badan setinggi itu akan terjadi kejang-kejang atau step. Suhu badan setinggi itu baru pertama kali kurasakan.  Ini termasuk hal baru yang kurasakan.  Selain obat, aku juga meminum air kelapa ijo yang dicampur dengan madu karena aku teringat dengan kebiasaan almarhumah ibu.  Bila salah satu saudaraku memiliki suhu badan tinggi, biasanya diberikan air kelapa ijo dan madu.  Sayangnya, ini tidak terlalu berpengaruh menurunkan suhu badanku.Â
Jadwal periksa sudah kudapatkan yaitu siang hari, dengan kondisi ini tentunya aku tidak bisa memaksakan diri untuk mengendarai motorku dan aku mulai memesan ojek online.  Dengan menahan sakit serta fisik yang mulai melemah, aku membonceng abang ojek disiang bolong.  Badan panas, cuaca panas juga. klop deh.  Serasa aku sedang membaurkan panasnya tubuhku dengan keganasan siang bolong. huft....
Begitu masuk pintu utama rumah sakit, hawa dingin AC menyambutku. Â Registrasi dan mulai duduk manis di kursi antrian bersama puluhan pasien lainnya. Â "Hmmm...banyak yang sakit juga dibulan Ramadhan" gumanku. Â Bila melihat kondisi pasien lainnya, aku berujar dalam hati"Alhamdulillah, sakitku hanya panas. Â Aku harus bersyukur, sakitku gak seberapa dibandingkan pasien lainnya". Â Aku masih berpikir positif dan bersyukur dengan cobaan yang diberikan oleh Alloh kepadaku. Â
Hampir satu jam sejak kedatanganku, perawat mulai memanggil namaku. Â Dengan langkah lunglai, aku melangkahkan kakiku menuju ruangan dokter spesialis yang kupilih.
 Dokter mulai menanyakan keluhanku dan memeriksa kondisi tubuhku dan kujawab singkat sama seperti dokter di puskesma"Suhu badan tinggi".  Setelah memeriksaku, dokter memberikan obat penurun panas dan mengingatkanku supaya segera datang lagi bila suhu badan tidak turun lagi.  Setelah semalaman di rumah dengan merasakan panasnya kulitku, keesokannya aku putuskan untuk datang lagi ke dokter yang sama.Â
Dokter mulai menyarankanku untuk cek darah dan menyebutkan ada tiga kemungkinan diagnosa penyakitku yaitu Demamb Berdarah, Types atau Infeksi Bakteri/Virus.  Ketiga penyakit itu memang yang memiliki gejala awal suhu badan tinggi/panas.  Hasilnya memang tidak bisa didapat saat itu juga, hasilnya bisa diambil agak sorean.  Aku memutuskan untuk pulang kerumah terlebih dahulu untuk beristirahat dan makan siang.  Sorenya aku mulai datang ke laboratorium rumah sakit dan menerima hasil tes darah secara tertulis.  Jadwal praktek dokter sudah selesai, berhubung aku kepo dengan hasilnya, aku meminta tolong kepada customer care rumah sakit supaya membantu menelpon dokternya dan membacakan hasilnya. Hasil darahku tidak menunjukkan adanya penyakit Types dan Demam Berdarah.
Keesok paginya aku mulai mendatangi dokterku dengan membawa hasil tes darah, dokter mengatakan kemungkinan besar diagnosanya adanya infeksi, kemudian dokter mulai "mengomeliku" dan mengatakan supaya opname saja sehingga dokter dan perawat bisa memantau suhu badan secara terus menerus serta diberikan cairan infus kedalam tubuh. Â Aku jelas menolaknya mentah-mentah. Kenapa? Karena tidak lama lagi akan lebaran dan aku sudah ketakutan sendiri membayangkan aku terkapar dirumah sakit hingga lebaran (aku mulai lebay dengan penyakitku. maklum saja, karena diagnosa tentang infeksi bener-bener penyakit yang baru aku ketahui). Â Aku mulai ketakutan dengan suhu badan "tinggi/panas".
Opname di rumah sakit
Memang disaat dokter mengatakan aku aman dari Types dan Demam Berdarah, aku sempat berguman dalam hati "Aku aman" dan menyimpulkanku aku tidak perlu opname di rumah sakit.  Ternyata salah besar dugaanku itu, opname-lah yang harus kujalani.  Opname di rumah sakit memang menjadi momok tersendiri bagiku, mengingatkanku pada kejadian tahun 2005 dimana aku harus opname selama minggu di rumah sakit.  Melihat pasien lainnya yang opname sekamar denganku yaitu pasien stroke, kanker mulut, ginjal bocor dan beberapa pasien sekamarku yang sakit hingga meninggal.  Meninggal di ruangan kamarku, dimana aku tidak bisa meninggalkan ruanganku.  Kejadian ini masih melekat di ingatanku.  Jelas sekali  bahwa opname bukan pilihanku karena kenangan buruk yang pernah kurasakan.
Instruksi opname kutolak saat itu dan kubertahan dengan keputusanku bahwa aku harus pulang ke rumah, aku tidak mau tidur di rumah sakit. Â Dokter menjelaskan bahwa dengan menginap di rumah sakit maka kesehatanku akan terpantau dan bisa dilakukan berbagai tes kesehatan lainnya seperti thorax/rongten, tes urin dan lainnya. Â Dengan adanya berbagai tes ini, dokter bisa mengetahui letak sumber infeksiku. Â
Melawan pasien yang pernah punya trauma seperti itu membuat dokterku menyerah dan menambahkan obatku dengan antibiotik.
Seminggu sejak pertama kali badanku panas, aku mulai menyerah. Â Aku tidak bisa menahan rasa sakitku itu. Aku mulai hapus harapanku untuk mudik dan menelpon ke bapakku dan mengatakan kemungkian aku tidak bisa mudik. Â "Pikirkan kesehatanmu dulu. Jangan pikirkan mudik lebaran" itulah jawaban bijak seorang bapak kepada anaknya. Â Aku mulai menelpon kakakku supaya membantuku mengurus masalah opnameku. Â Sayangnya, malam itu kakakku harus bersiap-siap mudik lebaran bersama keponakan. Â Sedih mendengar kata "mudik". Â Untuk itu, kakakku tetap mempersiapkan segala keperluanku sebelum berangkat ke rumah sakit dan meminta Mbak Tini (ojek langganan keponakan) membantu mengurus segala keperluanku. Â
Jam 10 malam, Mbak Tini mulai mengendarai motor dengan memboncengkanku, menembus angin malam kawasan Bintaro menuju RS IMC Bintaro. Â Begitu menginjakan kaki rumah sakit, aku dan mbak Tini menuju IGD sambil menenteng berbagai keperluan opname. Â Sepintas melihatku tentunya tidak akan menyangka aku sedang sakit. Â Fatamorgana. Tidak sesuai dengan yang dilihat dengan kasat mata. Â Aku mulai menyerahkan kertas hasil tes darah dan perawatpun menyambutku dengan ramah menunjukkan arah ruangan kosong. Â Kertas itulah yang meyakinkan tenaga medis IGD mempercayai kondisi tubuhku yang sedang sakit.
Perawat mulai mengukur suhu badanku dan tekanan darahku dan dokter mulai masuk ke ruanganku membawa hasil tes darahku. Â Setelah melihat hasilnya, dokter mulai mengutarakan rujukan opname dan menyuruh keluargaku (Mbak Tini) untuk mengurus administrasi opname. Â Perawat mulai mempersiapkan peralatan infus. Â Sebelum terpasang infus, aku meminta ijin dahulu supaya buang air kecil di toilet. Â Aku membayangkan ribetnya ke toilet saat tangan terborgol jarum dan kantong infus.
Keesokan harinya, aku duduk manis diatas kursi roda yang bergerak menuju ruang thorax/rongten.  Ruang rongten tidak jauh dari kamar opname-ku.  Sambil mendengarkan obrolan perawat dan petugas Ray-X, aku terdiam sambil menguping pembicaraan mereka yaitu baru saja terjadi kecelakaan dengan korban ibu muda  dengan kondisi berdarah.  Semakin ngilu mendengarnya.  Kualihkan pendengaranku dan kucoba menikmati pemandangan didalam ruangan itu. Â
Dokter spesialis Penyakit Dalam yang menanganiku mulai datang memeriksaku, kemudian memberikan rujukan ke perawat untuk tes darah dan urine. Â Saat magrib, petugas pengambil sample darah datang keruanganku dan mengambil darahku secukupnya. Â Aku pun memberikan sample urine kepada perawat. Â Hari itu sudah tiga tes kesehatan yang kulakukan yaitu Thorax, Urine dan darah.
Infeksi Saluran Kemih
Thorax normal.
Darah normal.
Urine positif bakteri.Â
Dengan melihat hasilnya, dokter mulai menginstruksikan kepada perawat untuk mengganti antibiotik kapsul menjadi cairan.  Antibiotik cairan masuk kedalam tubuhku melalui infus.  Dokter sempat membacakan hasilnya kepadaku dan menjelaskanku bahwa terdapat bakteri pada saluran kemih yang menyebabkan suhu badanku tinggi.  Jadi, bakteri yang terdapat di dalam saluran kemih harus segera dikeluarkan dari tubuh supaya tidak menyebar ke organ tubuh lainnya.  Kondisiku ini lebih dikenal dengan istilah Infeksi Saluran Kemih.Â
Selain Antibiotik, aku diharuskan minum air putih sesering mungkin, begitu pula dengan buang air kecil. Harus rutin. Â aku menuruti semua yang dikatakan oleh dokterku. Â Setiap satu jam sekali, aku minum air putih segelas dan pergi ke toilet sambil menenteng infus untuk buang air kecil. Siapa sangka bakteri sekecil itu bisa mengalahkanku dan membuatku terkapar di rumah sakit. Â
Infeksi Saluran Kemih sempat disinggung oleh Dokter Inge saat memberikan materi Hidrasi di kelas Danone Blogger Academy 2017. Â Infeksi Saluran Kemih merupakan dampak adanya dehidrasi berkelanjutan. Â
Dehidrasi terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara cairan yang masuk ke dalam tubuh dengan cairan yang dikeluarkan oleh tubuh, ini disebabkan karena kurangnya minum air, keringat berlebih dan pengaruh suhu/cuaca panas. Â Gejala awal dehidrasi lebih banyak diketahui dengan munculna rasa haus, namun bila dehidrasi ini dibiarkan saja maka akan tubuh berresiko mengalami Infeksi Saluran Kemih.
Untuk itu dokter Inge menyarankan peserta DBA untuk tidak menyepelekan masalah dehidrasi pada tubuh dan supaya selalu membiasakan minum air putih setiap beraktivitas. Hal ini supaya asupan cairan yang masuk ke dalam tubuh bisa memenuhi kebutuhan cairan tubuh manusia.
Asupan Air dalam tubuh
Berapa kebutuhan cairan bagi tubuh? Â Orang awam pasti menjawab sebanyak 2 liter. Â Ternyata, menurut Dokter Inge bahwa kebutuhan cairan tubuh digolongkan berdasarkan faktor usia dan gender.Â
Inilah kebutuhan cairan berdarakan faktor usia dan gender.
Berikut videoku tentang pengalamanku menjadi pasien Infeksi Saluran Kemih dan penuturan Dokter Inge tentang dehidrasi dan kebutuhan cairan bagi tubuh.
Itulah sepenggal kisahku tentang Infeksi Saluran Kemih dan ingatlah untuk tidak meremehkan pentingnya air bagi tubuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H