Mohon tunggu...
Arum Ardianty
Arum Ardianty Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa

Mahasiswa antropologi yang menaruh perhatian pada dinamika perkotaan dan isu-isu lingkungan. Mengamati hubungan antara manusia, ruang, dan alam sebagai pijakan untuk menulis dan berkarya.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Flamboyan dan Pudarnya Kenangan di Kota Malang

15 Desember 2024   08:40 Diperbarui: 15 Desember 2024   09:14 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halo Lokal. Sumber ilustrasi: PEXELS/Ahmad Syahrir

Indonesia, yang dikenal dengan keanekaragaman hayati (KEHATI) luar biasa, kerap menghadapi ancaman dari urbanisasi dan perubahan kebijakan tata kota. Kisah meredupnya flamboyan ini bukanlah hal baru.  Di berbagai kota besar, pohon-pohon peneduh sering menjadi korban pembangunan. Jakarta, misalnya, dilansir dari laman Institut Hijau Indonesia, telah kehilangan ratusan pohon dalam satu dekade terakhir akibat proyek infrastruktur. Dari Cipete hingga Blok M, pohon ditebang demi jalan layang dan trotoar baru. Meski nyatanya Jakarta seperti rumah bagi flamboyan, dimana bunga ini kerap dikenal menjadi simbol identitas Betawi, semua manfaat yang diberikannya seolah bukan lagi prioritas utama.  Keberadaan flamboyan kini mulai dipertanyakan, bahkan IUCN (International Union For Conservation of Nature) telah mengklasifikasikan tanaman ini dalam kategori "Least Concern" atau memiliki risiko rendah mengalami kepunahan.

Di kala musim hujan, langit Malang sering mendung pada saat inilah dulu dedahanan flamboyan merimbun menghijau. Ini kontras di saat musim panas, jalanan kota ini akan dihiasi payung-payung merah dari bunga flamboyan. Itulah nama lain Flamboyan yang dikenal sebagai flame tree. Dalam bahasa Latin, pohon ini disebut Delonix regia. Nama tersebut berasal dari bahasa Yunani: delos berarti mencolok, dan onyx berarti cakar, mengacu pada bentuk mahkota bunganya yang menyerupai cakar.

Flamboyan bukan sekadar pohon; ia adalah kanopi hidup yang melindungi kota dari sengatan matahari, memberi kesejukan, dan menyuguhkan keindahan yang menenangkan. Pohon ini dapat menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar dan menghasilkan oksigen. Melalui proses fotosintesis Flamboyan membantu membersihkan udara kota yang kian terpolusi. Daunnya yang lebat bisa menurunkan suhu sekitar, menjadikan flamboyan penyejuk alami di tengah hiruk-pikuk perkotaan dan krisis iklim. Sistem akar banir yang tingginya mencapai 30 cm ini diakui efektif untuk menjaga keseimbangan struktur tanah, mencegah erosi, longsor dan banjir. Bunganya yang merah menyala selalu menjadi permadani di jalan-jalan Kota Malang saat berguuran di kala senja tiba.

Bahkan dari kajian produk kesehatan dan kosmetik Sariayu Martha Tilaar, Flamboyan memiliki kemampuan untuk menyembuhkan luka pada kulit dan senyawa yang membantu mencegah penuaan dini. Selain itu, Flamboyan juga mengandung senyawa seperti alkaloid dan deloxine, yang dapat digunakan sebagai anti bakteri, anti inflamasi, analgesik, anti jamur, dan antioksidan yang baik untuk perawatan kulit. Mungkin kota Malang bisa belajar bagaimana memanfaatkan dan memanen pohon-pohon flamboyan ini untuk pendapatan daerah.

Kini, flamboyan perlahan menghilang dari lanskap Malang. Pohon yang dulu menjadi ikon estetika kota ini mulai tergantikan oleh tabebuya, si "sakura tropis" yang lebih populer di jalan-jalan seperti Dieng. Tragis, pada 1 Oktober lalu, flamboyan terakhir di Jalan Ir. Rais, Kelurahan Bareng, Kecamatan Klojen, tumbang. Dahan-dahannya yang patah berserakan di jalan, menyisakan kenangan tentang keindahan yang pernah ada. Alunan syair lagu Bimbo tiba-tiba terngiang-ngiang, "Senja Itu Flamboyan Berguguran....".

Flamboyan: Kenangan yang Meredup

Flamboyan, yang berasal dari Madagaskar, diperkenalkan ke Nusantara oleh Belanda pada abad ke-19. Dengan kanopi rindang dan bunga merah-oranye yang mencolok, flamboyan menjadi pilihan favorit untuk penghijauan kota tropis seperti Malang. Bunga flamboyan sering kali dianggap sebagai simbol kegembiraan dan kebangkitan. Warna merah cerahnya melambangkan semangat, vitalitas, dan keindahan yang tak tertandingi. Dalam beberapa budaya, bunga ini dianggap sebagai lambang cinta yang penuh gairah, serta kebahagiaan dan persahabatan yang mendalam. Tak heran jika lagu Bimbo begitu pas menggambarkan suasana flamboyan yang berguguran.

Namun, kehadiran flamboyan di Malang kini semakin dianggap ancaman karena usia. Pohon-pohon tua ini dianggap berbahaya karena beberapa di antaranya tumbang akibat kurangnya perawatan. Akar-akarnya yang kokoh menjalar kini juga menjadi ancaman bagi jalan-jalan kota yang diidealkan lurus datar tidak bergelombang. Sehingga nyaman bagi kendaraan-kendaraan modern. Kota Malang, yang pernah dikenal karena hijaunya pepohonan rindang --- tidak hanya flamboyan, tetapi juga keteduhan trembesi, asem jawa, dan mahoni ---kini satu persatu perlahan kehilangan napas eksistensinya karena perluasan jalan yang rata dan dianggap mengganggu kabel-kabel modern yang bergelantungan.

Selain itu, flamboyan memiliki manfaat ekologis yang besar. Pohon ini mampu menyerap karbon dioksida dalam jumlah signifikan, mencegah erosi tanah, dan menyediakan habitat bagi burung serta serangga. Daun, bunga, dan kulit kayunya bahkan memiliki khasiat obat, seperti mengobati demam dan peradangan. Sayangnya, semua keunggulan ini sering kali diabaikan dalam perencanaan kota modern yang lebih mengutamakan estetika praktis.

 

Akankah Flamboyan Kembali KEHATI?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun