Mohon tunggu...
Syahrul Q
Syahrul Q Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Orang merdeka, jadi selayaknyalah bila bersikap dan berperilaku layaknya orang merdeka. Dan bila masih ada yang merasa terjajah, yaaaa... sebaiknya membebaskan diri dari jajahan itu. Dan bila melihat ada orang yang ada di sekitarnya masih terjajah, merdekakanlah orang yang masih terjajah itu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Maafkan Aku Bu De, Kita Serahkan Saja pada Yang Kuasa

14 April 2010   03:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:48 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bu De, begitu ia disapa, entah siapa nama sebenarnya, aku tidak tahu. Aku terpaksa tinggal bersamanya sejak kecil, karena orang tuaku harus merantau entah kemana, dan aku dititipkan di Bu De. Kami tinggal di sebuah gubuk kecil berukuran 2 x 3 M. Gubuk itu sekaligus berfungsi sebagai warung kecil sebagai satu-satunya tempat kami bergantung hidup. Dengan demikian, Bu De kadang buka 24 jam sehari untuk melayani pembeli yang sewaktu-waktu pulang atau berangkat kerja di pagi buta.

Saat itu usiaku baru lulus SD. Dan karena aku mendapat peringkat ketiga di sekolah, harus ada wali murid yang datang ke sekolah untuk mengambil ijazah. Bu De terpaksa tidak membuka warung hari itu, hanya untuk memenuhi panggilan dari sekolah. Ketika aku turun dari panggung setelah menerima ijazah, Bu De memelukku dengan erat, hangat, bangga, serta penuh kasih sayang. Sebuah kotak kecil kuberikan kepada Bu De, sebuah hadiah dari sekolah karena prestasiku. Bu De menangis menerimanya.

“Aku tidak keberatan menutup warung sehari untuk melihatmu berprestasi, Nak.” Ucapnya terisak. Aku pun turut menangis waktu itu, karena yang aku bayangkan adalah orang tuaku yang sebenarnya, yang entah kini berada di mana. Tapi memang, hanya Bu De yang kumiliki sekarang. Bu De yang menjadi ibuku, sekaligus ayahku. Ia mengasuhku dengan penuh kasih sayang.

* * *

Siang itu terasa cukup menyengat. Warung Bu De cukup rame dikunjungi para buruh bangunan yang saat itu tengah mengerjakan proyek bangunan besar yang berada tidak jauh dari tempat tinggal kami. Aku sibuk membantu Bu De mencuci piring, membersihkan meja makan, dan segala hal yang mempermudah pekerjaan Bu De.

Aku melihat para buruh itu berkelakar riang sesama temannya. Badannya berkeringat, lusuh, kekar besar dan mengkilap. Aku terus saja memperhatikan mereka seraya mengantarkan minum, atau mengelap meja bekas mereka makan. Tidak lama kemudian, mereka pergi begitu saja. Aku tersentak. Mereka belum membayar makan. Sementara Bu De masih di belakang sedang mengurus masakan. Kontan saja aku memanggil mereka.

“Pak, bayarannya mana?” Tanyaku gelisah.

“Besok. Ngutang dulu. Bilang sama Bu De ya.” Jawab mereka sambil lalu.

Bu De ternyata memahami keadaan itu. Ia tau, kalau orang-orang itu tidak akan membayar. Tapi apa dayanya? Ia hanyalah seorang perempuan paruh baya yang tidak bisa membela diri. Tapi Bu De tidak mengeluh, apalagi menangis. Ia tetap bisa tersenyum kepadaku, sambil mengatakan, “Nggak apa2, Cup. Anggap saja sedekah”.

“Tapi Bu De, mereka sudah tidak bayar makan sudah lebih dari 5 kali Bu De. Ntar kalau Bu De rugi, bagimana?” protesku kepada Bu De setelah seminggu peristiwa itu berlalu, dan terus berulang. Tapi Bu De hanya membalasnya dengan senyuman. “Kita serahkan saja sama Yang Kuasa”.

Dalam hati, aku bertekad, besok aku harus menagih orang-orang itu. Mereka harus membayar-hutng-hutngnya. Kalau tidak, BuDe tentu tidak akan bisa berjualan lagi. Namun yang terjadi justru di luar perkiraanku. Mereka malah mengejekku, lalu mempermainkanku. Tubuhku dilempar ke sana kemari, dari orang yang satu ke orang yang lain.

Bu De menangis histeris, meminta agar mereka menghentikan perlakuannya terhadapku. Bu De memohon agar jangan menyakiti aku. Tapi orang-orang kekar itu justru semakin menggila. Mereka merobek bajuku, lalu menelanjangiku. Dan saat aku terjatuh tak berdaya, mereka mengencingi mukaku. Sesaat kemudian, dalam keadaan setengah sadar, aku merasakan kesakitan pada lubang pantatku tertusuk sesuatu.

* * *

Sudah tiga kali aku melamar menjadi tentara, tetapi selalu tidak lulus. Melamar menjadi polisi juga ternyata lebih sulit untuk tembus. Obrolan yang paling sering muncul jika bertemu dengan teman se-pelamar adalah, “Pake berapa?” Ada yang menjawab, seratus, seratus lima puluh, bahkan sampai ada yang tiga ratus lima puluh. Lalu dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu?

Akhirnya ada seorang pelanggan Bu De menyarankan aku agar ikut melamar menjadi Sat-Pol PP. Ia sanggup membantu dan pasti lulus, karena ia memiliki banyak relasi di pemda.

* * *

Enam bulan lamanya aku tinggalkan Bu De untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan dasar kepemimpinan. Tiap hari aku memikirkan kesehatan Bu De. Tiap malam aku mendoakan keselamatannya. Tiap saat aku mengkhawatirkannya. Tapi Bu De selalu berpesan, serahkan saja semuanya kepada Yang Kuasa, dan itulah yang selalu mampu menentramkan perasaanku.

[caption id="attachment_118064" align="alignright" width="270" caption="Gambar diambil dari:http://sawali.info/2009/05/22/ulah-satpol-pp-dan-potret-buram-angkatan-gagap/"][/caption]

Selepas dari pelatihan, kami langsung diberikan tugas untuk melakukan pembersihan dan penertiban kota dari pemulung dan anak jalanan. Temasuk juga membersihkan serta menyita beberapa rumah liar yang ada dipinggiran kota. Aku ditunjuk sebagai pemimpin regu atau komandan pasukan. Tentu saja aku bangga menerima jabatan itu. Aku merasa menjadi orang yang kuat, penuh kuasa. Dengan kekuatan dan kekuasaan seperti ini, tidak akan da yang berani melawanku, apalagi mengejekku atau mempermainkan aku lagi.

Tugas terus dijalankan. Aku tidak peduli dengan protes warga yang rumahnya terkena penertiban. Aku hanya menjalankan tugas. Dan itu adalah tanggung jawabku sebagai abdi negara. Tugas harus dilaksanakan.

Lalu,

Ada sebuah rumah yang sangat aku kenal yang masuk dalam daftar penertiban kota. Rumah itu tiada lain adalah rumah bu De. Aku tercenung sejenak, memandangi rumah mungil itu dari jauh. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa orang anggotaku sudah mulai menggedor pintunya dengan kasar. Aku masih terdiam. Seseorang lainnya mulai memukul-mukul atapnya dengan kayu panjang. Aku terdiam. Terdengar jeritan tangis hiteris dari dalam rumah menolak untuk keluar. Aku tertunduk lesu. Lalu sebuah alat berat tiba di lokasi dan mulai mengeruk rumah kecil itu, tanpa peduli, seseorang masih berada di dalam sambil menangis, berteriak, dan menjerit.

Aku memalingkan wajahku dari rumah mungil itu. Terlihat oleh mataku yang sayup sebuah bangunan megah yang dibangun saat aku lulus SD. Dalam hati aku bergumam, “Maafkan aku Bu De. Kita serahkan saja pada Yang Kuasa.”

___________________

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun