Demokrasi secara perlahan dibajak oleh partai politik yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Keberadaan demokrasi tampak paradoks di tengah kontroversi keterwakilan, yaitu apakah anggota DPR sebagai representasi rakyat atau justru representasi partai politik.
Pertanyaan yang mendasari demokrasi menjadi paradoks terletak di tangan partai adalah tentang ketiadaan batasan maksimal jabatan anggota DPR. Sebagai anggota DPR yang sama-sama merupakan jabatan publik, seperti halnya jabatan Presiden, jabatan kepala daerah hingga jabatan Ketua KPK yang ditentukan maksimal 2 periode jabatan.
Sementara terkait pembatasan periode jabatan ini pernah diujikan di MK. Herannya, MK berpendapat jabatan Presiden dibatasi karena ditentukan tegas dalam konstitusi, sedangkan jabatan seorang anggota legislatif bersifat majemuk yang wewenangnya dijalankan secara kolektif. Hal demikian yang kemudian oleh MK disimpulkan sehingga sangat kecil kemungkinan terjadi kesewenang-wenangan.
Singkatnya, periode maksimal jabatan anggota DPR tidak diatur oleh konstitusi. Karenanya, periode jabatan anggota DPR tidak perlu dibatasi.
Bagaimana mungkin MK menyimpulkan demikian. Sementara realitas yang terjadi hegemoni partai di atas kepentingan rakyat karena minimnya rotasi jabatan anggota DPR yang penentuannya oleh partai.
Jika demikian yang menjadi pijakan argumentasi, alangkah rendahnya logika hukum yang dibangun oleh para hakim konstitusi itu. Jika demikian tentu ketidakadaan aturan pembatasan periode maksimal jabatan Presiden sebelum era reformasi bisa menjadi alasan pembenar tafsir konstitusi tentang adanya Presiden seumur hidup tidak berseberangan dengan prinsip demokrasi meski otoritarianisme bersama ketiadaan pembatasan jabatan tersebut.
Apabila kita bertolak dari konsep demokrasi, bahwa sesungguhnya demokrasi menghendaki rotasi jabatan. Di samping alasan karena dalam demokrasi rakyat yang memegang kedaulatan, tidak ada alasan yang mendasari demokrasi menghendaki seorang wakil yang mengatasnamakan kepentingan rakyatnya memegang jabatan seumur hidup. Dengan kata lain, tidak ada alasan yang membenarkan adanya peluang anggota DPR memegang jabatan seumur hidup, meski dilakukan pemilihan umum secara berkala 5 tahun sekali.
Jika demikian, rakyat tidak punya pilihan untuk turut serta dalam perubahan, rakyat kesulitan untuk ikut serta menentukan wakil rakyat dengan wajah-wajah baru yang reformis.
Jika tetap status quo, akan terjadi blunder terhadap demokrasi itu sendiri, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tak punya pilihan selain dari apa yang menjadi kebijakan partai yang mengatasnamakan demokrasi. Pada akhirnya, rakyat menjadi apatis dalam menggunakan hak pilihnya dan indikator golput terjadi karena alasan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H