Rasa kecewa menghalangi penulis untuk menolak, dan menyatakan spontan akan menunggu sang perangkat sembuh saja baru melanjutkan pengurusan. Saya ingin perangkat itu sehat dan tanda tangan di kantor desa. Kalau dia sakit lalu saya minta tanda tangan rasanya juga tidak tega.
Dengan raut muka kecewa dan nangis karena usaha seminggu tidak membawa hasil penulis keluar kantor desa. Naas kunci motor tertinggal di meja. Karena perlu cepat kembali penulis mengambil kunci dengan berlari dan lanjut berlari keluar. Ekspresi kesedihan terlihat dan tertangkap oleh orang-orang di sana. Dengan cepat penulis menyalakan motor.Â
Pak Babinsa menahan penulis seraya menawarkan untuk mengantar ke rumah perangkat desa. Penulis menolak, dokumen pun dipegang oleh Pak Babinsa. Penulis hanya menyalahkan diri sendiri karena gagal mengurus, padahal menurut penulis syarat lengkap, hanya perlu meminta tanda tangan yang berwenang saja. Dan penulis berpikir untuk kantor desa minggu berikutnya untuk mengurus kembali. Penulis mengabaikan Pak Babinsa dan semakin sedih, hingga tergerak untuk meninggalkan kantor desa.
Harapan hilang, berkas tidak di tangan. Namun di perjalanan menuju tempat kerja terbersit niat untuk mengurus kembali dari nol, karena dokumen tersebut penting tidak cuma untuk penulis juga untuk kantor tempat ayah penulis bekerja. Â
Ajaib, 2 jam berikutnya penulis mendapatkan kabar bahwa dokumen itu selesai bahkan telah ditandatangani kepala desa. Penulis merasa lebih bersalah lagi, masa dilayani hanya gara-gara menangis. Kalau ada yang niru saya kan, repot. sebetulnya yang saya harapkan adalah kata-kata" Silahkan kesini seminggu lagi, silahkan ke sini sebulan lagi, dan basa basi itu saja.
Untuk Bapak Ibu perangkat desa, terimakasih. Saya doakan Bapak Ibu selalu sehat dan bahagia. Pak Babinsa terimakasih saya tidak bisa mengikuti karena terlalu sedih. Saya minta maaf, saya orangnya baperan. Nampaknya pandangan saya bahwa untuk pengurusan dokumen, menemui dan meminta layanan perangkat desa  di kantor desa itu keliru. Maaf Pak, Bu saya orangnya masih belajar. Ngapunten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H