Saya tidak setuju kalau ada yang mengartikan backpacker sebagai orang yang melakukan perjalanan dengan biaya semurah-murahnya. Kata “backpacker” bisa saja diterjemahkan sebagai orang yang membawa backpack. Tapi, kita sedang membicarakannya sebagai sebuah terminologi yang berhubungan dengan perjalanan. Sesungguhnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum menyebut diri sendiri sebagai backpacker. Saya tidak anti travel agent. Tapi maaf sekali, menurut saya, perjalanan ala biro wisata yang dilakukan secara berombongan dengan kendaraan khusus telah menyalahi hakikat perjalanan itu sendiri. Sekali lagi maaf, ini pula yang menjelaskan mengapa banyak orang yang sudah kembali dari haji atau umrah tidak berhasil mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik. Walaupun sudah haji, korupsinya masih jalan terus. Walaupun sudah bolak-balik umrah, masih sering melakukan tindakan tidak terpuji. Zaman dulu, orang harus berjuang keras untuk sampai ke Mekkah. Orang zaman dulu harus berjalan kaki di tengah padang pasir, atau berlayar dengan perahu kecil di tengah gelombang yang ganas. Perjalanan ke Mekkah bahkan beresiko kehilangan nyawa, karena sungguh tidak gampang melakukan perjalanan jauh di masa itu. Bandingkan dengan kondisi sekarang. Sepertinya, siapa saja yang punya duit bisa pergi umrah. Dalam interpretasi saya, haji yang merupakan salah satu dari lima pilar agama Islam bukanlah sekedar ritual yang dilakukan di Mekkah dan Medinah. Menurut saya, justru perjalanan ke sana yang menjadi bagian paling penting dalam ibadah itu. Anda mungkin masih ingat kisah-kisah musafir dalam buku cerita anak-anak tentang orang-orang yang berkelana jauh mencari kebenaran. Jelaslah, perjalanan telah menjadi bagian penting dalam pencarian spritualitas seseorang sejak zaman dulu kala. Berbicara dalam konteks sekarang dengan lingkup yang lebih luas (bukan hanya Islam), konsep backpacking agak mirip dengan apa yang dilakukan para musafir zaman dulu. Dalam bahasa orang modern, backpacking bisa diartikan sebagai metode atau cara melakukan perjalanan. Meskipun perjalanan yang kita lakukan sekarang lebih gampang dibanding orang zaman dulu, ada beberapa cara supaya kita bisa mengambil manfaat dari kegiatan perjalanan. Dalam buku saya yang berjudul “Backpacking: Thailand” (diterbitkan Elex Media Komputindo), dipaparkan secara lengkap A sampai Z mengenai konsep backpacking. Di buku itu dijabarkan mulai sejarah backpacking, sampai bagaimana caranya mengaplikasikan perjalanan ala musafir tempo dulu supaya bisa dilakukan semua orang di zaman modern ini. Sebenarnya, ada empat prinsip backpacking yang bisa dilakukan semua orang supaya kegiatan liburan kita bukan sekedar jalan-jalan biasa. Apa saja itu? Silahkan baca sendiri di bukunya! Saya sengaja memilih Thailand sebagai “proyek percontohan” karena lokasinya cukup dekat dengan Indonesia, serta sarana transportasinya sudah cukup baik. Meskipun rute yang dicontohkan agak non-konvensional, namun masih bisa dilakukan backpacker pemula. Saya memang lebih banyak mengekspos provinsi-provinsi di utara Thailand yang berbatasan langsung dengan Burma dan Laos, ketimbang membahas Phuket dan Pattaya yang sudah sangat populer itu. Singkat kata, untuk menjadi backpacker tulen tidak harus pergi ke tempat-tempat yang sangat terpencil dan jauh demi mendapatkan pengalaman yang berbeda. Tidak semua orang bisa mengelana selama berbulan-bulan atau pergi ke tempat-tempat berbahaya seperti yang dilakukan penulis-penulis terkenal. Meskipun yang kita datangi lokasinya dekat-dekat saja, asal tahu caranya, pengalaman yang bisa didapatkan tak kalah mengesankan! Oh ya, untuk memesan buku “Backpacking: Thailand” secara online, bisa dilakukan dengan membuka tautan ini: http://www.gramediashop.com/book/detail/9786020002194/thailand
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H