Mohon tunggu...
Aruda L
Aruda L Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Orang biasa yang suka menghayal dan berimajinasi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

ESPER Song (Prolog)

9 November 2014   17:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:15 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Rio di belakangmu!”

Suara seorang gadis memecah keheningan di malam itu. Mendengar teriakan itu sontak kaget lelaki bernama Rio yang dipanggilnya barusan berbalik. Apa yang menantinya di belakang adalah seorang pemuda lain dengan ekspresi psiko. Dia siap menusuk Rio dengan tangannya yang berbalut listrik.

Tanpa pikir panjang Rio segera berlari dengan cepat, bahkan terlalu cepat sampai tak ada yang bisa melihatnya berlari. Tiba-tiba dia sudah berdiri di samping gadis yang memanggil namanya.

“Rio, kau tak apa?”

“Tetap fokus Lisa, dia masih ada di depan kita.”

Lelaki dengan tampang psiko itu masih berdiri dengan tenang di depan mereka. Kemudian dia mengangkat tangannya ke samping, dan salah satu besi pada tangga apartemen tua pun tertarik ke arahnya. Saking kuatnya tarikannya, besi itu pun terlepas secara paksa dari tangga dan tiba di tangan lelaki itu dengan bentuk yang lurus dan ujung yang meruncing.

Merasakan suatu bahaya, Lisa menarik lengan baju Rio, memberikan isyarat padanya agar segera lari dari sana. Rio yang memahaminya lantas bersiap pergi. Ketika kakinya bergeser satu senti dari tempat asalnya, sebuah tombak besi telah menancap di bahu kiri Rio.

“Rio!”

Rio terlutut menahan sakit di bahunya, noda merah merembes pelan di baju berwarna birunya, Lisa yang di sampingnya menatap Rio dengan mata yang berkaca.

“Tenang saja Lisa, luka seperti ini tidak apa-apa.”

Dengan pelan Rio berbisik pada Lisa untuk menenangkan perasaan Lisa saat ini.

“Mencoba untuk lari percuma lo.”

Lelaki psiko itu berbicara.

“Karena tak ada yang bisa lari dari kekuatanku! Hahahaha!”

Lanjutnya dengan tawa membahak.

“Kau sudah gila.”

Rio berkata pelan kepada lelaki psiko itu, namun cukup keras untuk dapat didengarnya.

“Aku gila kau bilang? Bukankah sejak awal permainan ini memang sudah gila? Kau sendiri juga pasti berpikir begitu kan?”

Benar, mereka kini terjebak dalam sebuah permainan gila, sebuah permainan yang mempertaruhkan nyawa masing-masing. Mereka bertarung untuk hak kehidupan normal mereka. Dan untuk mendapatkannya, mereka harus menjadi orang terakhir yang bertahan hidup.

"Memang benar permainan ini sejak awal sudah gila, tapi itu tidak akan membenarkan kita untuk ikut menjadi gila..."

Sebelumnya Rio tidak pernah menyadarinya, ketika suatu pilihan kecil dapat mempengaruhi seluruh hidupnya. Bahwa hanya karena mengunduh sebuah lagu dapat melibatkannya dalam sebuah permainan kematian.

Ketika dihadapkan berkali-kali pada kematian, kini tekad Rio sudah bulat. Dengan sorot mata yang tajam Rio menatap ke arah psiko itu.

“Aku akan mengakhiri kegilaan permainan ini sekarang juga!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun