Mohon tunggu...
Aruda L
Aruda L Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Orang biasa yang suka menghayal dan berimajinasi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

ESPER Song (Ch 1)

16 November 2014   23:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:40 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“––Ioo... Rio... Oi Riooo!”

Eh?

“HAH! A–ada apa?”

“Yang serius lah Rio, kamu pikir kita di sini sedang apa?”

“Eh–hehehe... Maaf, padahal kau sudah repot-repot mau datang ke kossanku untuk mengajari biologi, tapi aku malah melamun.”

Beberapa saat yang lalu aku meminta bantuan Aldi, sahabat sekelasku untuk mengajariku biologi. Entah sejak kapan aku sudah tidak lagi mendengarkan penjelasan Aldi.

“Hebat juga kamu yah, melamun selama itu dan tidak menggubris omonganku sama sekali.”

“Eh? Masa selama itu? Perasaan aku cuman melamun beberapa detik.”

“Beberapa detik? Maksudmu beberapa menit kali! Dari tadi kamu dieem aja sambil menatap kosong kaya orang bego. Sampai-sampai kupikir kamu bisa tidur sambil buka mata sekarang.”

Tak kusangka orang yang bisa melamun sampai seperti itu benar-benar ada di dunia ini, dan lebihnya lagi orang itu adalah aku sendiri. Walaupun apa yang dikatakan Aldi tidak bisa dipercaya, tapi kurasa itu memang benar terjadi karena dia yang mengatakannya.

“Emmm jadi, bisa ulangi lagi pembahasannya?”

“Tentu, setelah kamu melepas itu!”

Aldi menunjuk ke samping wajahku, tepatnya ke arah daun telingaku dimana di sana sampai sekarang masih menempel dengan erat sepasang handsfree. Aku bahkan tidak ingat sedang memasangnya.

Seperti yang dimintanya, aku pun mematikan musik yang kuputar dan melepaskan handsfree dari telingaku.

“Ahahaha... Maaf, aku lupa sedang mendengarkan musik... Oh ya, kudengar dengan mendengarkan musik bisa menstimulus otak supaya lebih pintar, benar kan?”

“Memang benar musik bisa menstimulus otak, tapi hanya lagu tertentu tau... Biasanya kayak musik instrumen atau musik klasik, musik seperti itu terbukti bisa menstimulus otak.”

“Huooo! Berarti musik yang kudengar barusan tidak salah kupilih!”

Tanpa kusadari aku langsung bersemangat sendiri sampai-sampai berdiri dan menghentak meja, bahkan Aldi menampakkan ekspresi terkejut di wajahnya karena ulahku. Setelah tenang kembali, aku pun duduk lagi.

“Kau mendengar musik klasik?”

Tanya Aldi merespon reaksiku sebelumnya.

“Bukan musik klasik, tapi musik instrumen solo. Durasinya hanya satu setengah menit dan instrumen yang dipakai adalah drum.”

“Drum?”

Wajar jika dia kebingungan, karena sangat jarang kutemui ada musik instrumen yang hanya menggunakan drum.

“Sebenarnya aku dapat musik ini dari pesan yang masuk ke e-mailku malam tadi. Pengirimnya seseorang bernama ‘Creator’ dia bilang ‘Download musik ini dan berpartisipasilah dalam dunia baru’ jujur saja kurasa dia salah kirim, tapi aku penasaran dengan musik yang dimaksudnya dan akhirnya ku-download dan kudengarkan. Tiba-tiba saja aku ketagihan dan ingin mendengarnya terus.”

“Apa judul musik itu?”

Nampaknya Aldi antusias terhadap musik ini. Karena berbeda dengan tadi, kali ini aku melihat secercah cahaya ketertarikan di matanya

“Instrumen 7, judul yang aneh sih, tapi karena ini instrumen ketujuh berarti pasti ada nomor satunya kan? Aku jadi tertarik ingin mencarinya.”

“Hmm, instrumen 7 yah? Boleh kudengarkan? Aku penasaran dengan seleramu.”

“Oh, tentu saja, nih!”

Aku pun menyerahkan sebelah handsfree-ku pada Aldi. Setelah Aldi mengenakannya aku pun memutar instrumen 7 yang kumaksud.

Musik dimulai dengan tabuhan drum yang cepat, dan semakin cepat ketika ke tengah musik. Sebelum akhirnya memasuki bagian yang kuanggap reff, tabuhan drum mulai memelan, dan setelahnya tabuhan drum langsung menjadi super cepat sampai aku tidak bisa membayangkan orang seperti apa yang bisa memainkan drum secepat dan sekompleks ini.

Aldi nampak serius mendengarkannya, dia bahkan menutup sebelah telinganya untuk mendengarkan musik ini dengan jelas.

Musik pun berakhir dan Aldi melepaskan hendsfree di telinganya.

“Lagunya bagus, tapi tidak cocok untuk belajar.”

Dengan datarnya dia berkomentar seperti itu, walaupun dia terlihat sangat menikmati musik tadi.

“Oke, kita lanjut lagi belajarnya dan jangan coba-coba memutar musik itu lagi.”

Peringatan keras dilontarkannya dan aku tak bisa mengabaikan peringatan itu, karena ini menyangkut masalah hidup dan mati nilai biologiku.

Aldi pun mengulang kembali penjelasannya padaku dari awal. Dan sedikitnya ada setengah dari penjelasannya yang dapat kupahami.

Tak terasa dua jam telah berlalu, jam dinding hampir menunjuk pukul enam sore, dan kini sudah waktunya bagi Aldi untuk pulang.

“Rio, setelah ini apa kau akan bekerja ke mini market itu?”

Tiba-tiba dia mengajukan pertanyaan padaku sebelum ke luar pintu.

“Ya, begitulah.”

“Masih di sip kerja malam rupanya.”

“Yap, soalnya hanya malam waktu bebasku.”
“Sebaiknya kau hati-hati, belakangan ada kabar kasus pembunuhan di sekitar sini, dan pelakunya masih belum ditemukan. Malam hari di sini sepi kan? Kau bisa saja terbunuh kapan pun...”

“Semakin hari kau semakin mirip ibuku saja, tenang saja aku bisa menjaga diriku sendiri. Kau juga hati-hati ketika pulang yah!”

Udara di sekitar kami terasa berat, terlebih ketika Aldi tertunduk khawatir seperti ini.

“Rio, seandainya...”

Dia terdiam sejenak tak bersuara di pintu kosku. Diam terpatung tanpa gerakan sedikit pun. Aku pun bertanya padanya.

“Ada apa, Di?”

“Tak apa, lupakan saja. Kalau begitu aku pulang dulu yah, dah!”

Pada akhirnya, aku tidak mengetahui apa yang ingin dikatakannya tadi. Yah, tapi jika dia bilang tidak apa, maka kurasa memang tidak apa-apa.

Aku pun bersiap pergi ke tempat kerjaku, sebuah mini market yang tidak jauh dari kosku, mungkin hanya sekitar lima ratus meter. Walau aku masih SMA, tapi aku sudah memulai kehidupan mandiriku dengan tinggal secara terpisah dengan orang tua, dan mencari penghasilan sendiri.

Bukan berarti orang tuaku orang yang tidak berkecukupan, aku hanya ingin sekolah di SMA reguler seperti sekarang yang kupilih ini. Tapi, mereka menentangnya, mereka ingin aku sekolah di SMK jurusan tekhnik elektro agar aku bisa fokus di pelajaran fisika yang notabene hanya itu pelajaran yang aku kuasai dengan baik.

Dan akhirnya terjadilah perdebatan antara kami. Hasil akhirnya adalah, aku boleh memilih sekolah manapun yang kuinginkan, tapi jika bukan pilihan orang tuaku, maka mereka tidak akan memberikan dana apapun padaku. Karena itulah aku tinggal terpisah dari mereka, walaupun di kota yang sama. Sejak itu aku berusaha mencari nafkah sendiri untuk membiayai pendidikan dan kebutuhan sehari-hariku sendiri.

Aku bekerja di sebuah mini market yang berani membayar mahal untuk yang bekerja dari jam sembilan sampai tengah malam. Bayarannya adalah lima puluh ribu per jamnya. Jika bekerja dari jam 9 sampai 12 berarti 3 jam seharinya. Jika dikalikan satu bulan aku bisa mendapat gajih  hingga empat juta sebulan. Tapi terkadang penghasilan sebanyak itu masih belum cukup membiayai kehidupanku. Sehingga, pada akhir pekan seperti hari ini pun aku juga bekerja di sip kerja reguler untuk menambah penghasilanku.

Kerjaku dimulai jam enam, sebagai bagian pelayanan tapi tidak jarang juga ikut mengangkut-angkut barang. Sebelum masuk jam sembilan aku diperbolehkan istirahat selama setengah jam. Tidak membuang waktu secara percuma, waktu istirahat itu kugunakan untuk belajar karena aku tidak memiliki nilai yang baik selain fisika.

Setelah masuk jam sembilan, baru lah sip kerja malamku dimulai. Pada jam itu pelanggan mulai agak surut datang. Tapi, sebagai mini market yang buka dua puluh empat jam, mau tidak mau jam segini pun mini market tetap buka.

Satu persatu pegawai sudah selesai sip kerjanya, menyisakanku sendiri menjaga mini market ini hingga tengah malam. Pada saat sepi seperti ini biasanya aku kembali belajar atau hanya sekedar membaca-baca novel atau komik. Cukup ironis kupikir, pekerjaan semudah ini dimana pengunjung tidak banyak justru mendapat gaji yang lebih banyak daripada bekerja reguler.

Saat mendekati jam dua belas, saat itu lah penggantiku datang dan aku sudah dibebastugaskan untuk hari ini. Seperti biasa aku selalu pulang setelah membeli sebotol teh hijau dari mini market tempatku kerja.

Sambil berjalan pulang menuju kosku, kuputar musik untuk mengiringi langkahku. Mengenakan handsfree di telingaku membuatku merasa keren, tidak jarang aku bertingkah sok keren sambil berjalan. Mungkin aku hanya merasa tidak akan malu melakukan hal itu karena saat ini tidak ada yang melihatku.

Sekarang aku baru teringat dengan hal yang dikatakan Aldi padaku. Di malam hari dan tempat sepi seperti ini, apakah pembunuh itu akan menampakkan diri di hadapanku? Berkatnya, aku tidak bisa tenang setiap melangkahkan kakiku. Perhatianku selalu was-was, pandanganku terus toleh kiri dan kanan, bahkan sesekali menoleh ke belakang.

Saat itulah getaran pada handphone-ku membuat bulu kudukku berdiri. Bahkan tanpa kusadari sepertinya tadi aku menjerit kecil. Kuperhatikan layar handphone-ku, dan ternyata hanya pemberitahuan ada e-mail baru yang masuk.

Sebuah e-mail lagi dari ‘Creator’ kali ini dia mengirimkan sebuah link. Ketika aku ingin mengecek link tersebut, kepalaku terasa nyeri. Seakan ada sebuah isyarat yang mengatakanku untuk menatap ke belakang. Aku pun mengikuti isyarat dalam diriku itu dan menatap ke belakangku.

Sekitar dua puluh meter dari tempatku berdiri, seorang gadis sedang terjun bebas ke tanah dalam posisi kepala lebih dulu. Tidak sempat untuk kaget, tubuhku segera bergegas mengejarnya, berharap dapat menangkapnya sebelum menyentuh tanah yang keras.

Ketika kupikir aku sudah tidak sempat mencapainya, tiba-tiba saja kecepatan jatuhnya melambat, seakan mengambang di udara dalam waktu cukup lama. Aku pun bergegas dan telah berdiri tepat di bawahnya.

Kutangkap dan kupegang erat tubuh mungil gadis yang jatuh pelan ke tanganku itu. Awalnya terasa ringan sekali dan kupikir bahkan dengan satu tangan pun aku dapat mengangkatnya. Tapi, lama-kelamaan beratnya bertambah dan akhirnya naik drastis hingga aku tidak dapat menahannya dan terlutut ke tanah.

Fenomena yang cukup mengagetkan dan aku belum mendapatkan penjelasan yang logis terhadap fenomena tersebut. Kulihat gadis yang berada dalam dekapanku ini. Kutepiskan rambut hitam panjang yang menutup wajahnya, menatap paras cantik nan putihnya dengan terkesima dan heran.

“Siapa kau sebenarnya?”

Chapter 1 END

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun