Nada suara Lingga merajuk, digengamnya tangan sang Ayah lebih erat. Sejenak keduanya menghentikan langkah, bersipandang. Sabda pun tersenyum, lekas melanjutkan langkah memasuki rumah, meninggalkan senja yang kian menjingga.
"Nak.. Ibumu pernah mengajarkan semua ini kan?"
Ujar Sabda membolak-balikan buku tugas matematika milik anak semata wayangnya, sambil sesekali menggaruk-garuk kepala.
"Ibu tidak pernah lupa mengajarkan apapun kan ayah? Kalo memang soal-soal itu lebih sulit, Aku pasti bisa mengerjakannya"Â Tukas Lingga menyambar buku yang tengah ditatap ayahnya lamat-lamat.
Huft.
Sehela nafas lagi-lagi berhasil diekspirasikan Sabda, untung saja karbondioksida tidak membawa serta molekul kenangan yang kian senja menyesakkan dadanya.
Takdir adalah cara Sang Pencipta menegaskan eksistensi manusia sebagai makhluk. Sebab ekspektasi memungkinkan sang pemikir merasa mampu menghidupkan dirinya sendiri, demikian realita terjadi mutlak sebagai kekuasaan Ilahi. Begitulah Allah menyatukan Sabda yang sama sekali tak pernah menyukai Matematika dengan Syaima yang justru menganggap hobi Sabda adalah sesuatu yang takkan pernah menghasilkan kehidupan jika dikalkulasikan.
"Bermain biola hanya akan membuang waktu!", tegas Syaima sebelum merelakan perjodoham yang dilakukan kedua orang tua mereka.
"Ayah.. Malam ini akan menjadi yang keempat. Itu artinya lusa ibu pulang kan ayah?"
Sabda tergeming dari lembaran syair-syair di laptop, jarinya berhenti mengetik, dan menatap mata Lingga dengan syahdu. Tampak tangan Lingga memilin ujung buku yang kini telah terisi penuh dengan jawaban-jawaban.
"Ayah.. Aku sayang ibu. "
Hati Sabda sedikit tercekat, iapun mengangguk pelan tanpa sedikitpun merotasikan mata kearah lain selain menatap iris mata coklat Lingga. Persis mata ibunya.
"Ayah.. Ibu tidak mungkin membenciku kan? Aku hanya menangis di sekolah karena ayah telat menjemputku."