Jika seseorang berbicara tentang beban kerjanya dalam keinginan untuk resign, lawan bicara pastinya akan menenangkan seraya membalasnya dengan makna bersyukur. Lawan bicaranya akan senantiasa mengajak bersyukur dan stop untuk mengeluh.
Itu memang benar dan tepat, namun apakah setiap orang resign cuma hanya gara-gara tidak bersyukur? tidak juga. Semua pasti ada alasan mendasarnya. Resign bukan hanya masalah ingin gaji lebih, ingin hak yang lebih baik dan segala keinginan. Jauh dari itu memang nyatanya ada beberapa alasan yang hanya diketahui oleh seseorang yang ingin resign.
Resign memang suatu jalan, opsi karir dan pilihan mandiri. Disanalah kesadaran, tekad dan kejujuran dipertanyakan. Ketika mengajukan resign, kebohongan harus dijauhkan dan mendekatkan diri dengan kejujuran. Saat pihak kantor atau tempat kerja menerima surat pengunduran diri dan membacanya, reaksi pun beragam.
Ada yang secara halus 'menahan, ada juga yang menerimanya sebagai suatu konsekuensi dalam suatu perusahaan walau bahkan ada pula yang kurang baik meresponnya.Â
Memilih keputusan untuk resign bukan berarti lemah, lari atau menyerah. Keluar dari sebuah zona yang menurut setiap orang sudah tidak cocok itu boleh saja. Apa salahnya? itu pilihan bukan? selama kode etik dan etika sudah dipatuhi tentu tidak ada masalah. Tetapi jangan jadikan jalan untuk resign sebagai pelarian tanpa rencana.
Jangan pula menjadikan resign tanpa perhitungan matang sehingga malah menjadi beban yang bertambah terutama dalam finansial yang bergulir layaknya bola salju.Â
Resign layaknya pilihan yang harus direncanakan before dan afternya. Perlunya mempertanyakan aspek resign atau tidak harus diperdalam. Seperti "apa alasan utama untuk resign sudah tepat?" atau "Sesudah resign apa rencana berikutnya?" dan bisa juga "Apakah memang benar-benar harus resign? apa sudah tidak bisa diperbaiki lagi?" sehingga tujuan resign bisa dijalankan dan seseorang akan siap tanpa harus menyesal jika sudah resign atau masih berpeluang bertahan dengan pertimbangan yang akan dibicarakan.
Mengingat masa pandemi yang sedang menerjang saat ini, seakan menambah beban yang 'menahan' dalam kebimbangan. Jelas saja, seseorang yang sudah bertekad untuk resign bisa saja pikir-pikir untuk melakukannya.
Kondisi perekonomian, finansial keluarga dan pribadi, lowongan kerja yang tidak sepadan dengan tenaga kerja dan sebagainya akan bertarung melawan tekad untuk resign. Sangat sulit untuk mengambil keputusan bukan? sebagian orang berpendapat seperti itu.
Ketika seseorang berkeluh kesah dan menyampaikan tujuannya untuk resign, kadang Ia mengingat masa pandemi serta masih tidak munafik karena butuh sumber penghidupan dan uang.
Ia menengok kebelakang dan mendapati keluarga kecilnya yang harus dinafkahi. Bahkan terkadang seseorang harus menafkahi keluarganya secara banyak dan maksimal. Kali ini ada dua sisi yang berlawanan beradu dalam keinginan dan pertanyaan sederhana yakni "resign atau tidak ya?".