Ucapan-ucapan seperti "Kamu harus belajar lagi pulang sekolah nak!" atau "Les kursus nanti malam ya setelah sekolah!" dan lain-lain memang tak asing di telinga Kita. Saat masa kecil dulu terutama masa bersekolah ada saja beberapa anak yang "berbeda" dalam lingkungan pertemanan dan dunia sekolah. Kenapa berbeda? Mereka seperti tidak bisa terlalu bermain semestinya dan Mereka seperti tidak lepas dalam menjalani hidup pada kadarnya sebagai anak-anak.
Kadang sampai berfikir ada apa dan kenapa? walaupun saat kecil dulu hanya bisa berfikir sederhana bahwa orang tua Mereka mungkin mempunyai perhatian lebih kepada anaknya. Perhatian kepada anak itu sangat lah yang dicari, bagaimana tidak? beribu anak-anak lain justru mengharapkan kasih dan perhatian dan Mereka mendapatkannya. Namun seiring berjalannya waktu dan pengamatan hidup ternyata ada sesuatu yang mungkin agak asing.
Hal yang Mereka alami tersebut adalah Tiger parenting. Istilah tersebut dapat didefinisikan sebagai salah satu metode atau cara pengasuhan yang cenderung kaku dan absolut serta menerapkan target yang lebih baik dari sebelumnya terutama dalam bidang prestasi. Pola asuh seperti ini juga bersifat mengatur lebih dari batas sewajarnya dari waktu bermain, makanan, aspek sosial dan lainnya sehingga bersifat menekan dan cenderung non-demokratis.
Dari mulai masalah belajar, makanan, jam bermain, teman-temannya pun sangat diperhatikan oleh sang orang tua. Prestasi tidak boleh turun sedikit pun dan harus naik. Padahal kadang memang sangat bertentangan dengan masa anak-anak yang kadang sifatnya memang masih belum bisa menerima hal yang sangat kaku. Niat orang tua pasti baik untuk anaknya hanya saja dalam mendidik, banyak cara terbentang di hadapan orang tua untuk mendidik anaknya.
Hal yang terpenting selanjutnya adalah mengetahui karakter dan sifat si anak. Mengapa? karena antara pola didik dan karakter si anak harus lah cocok atau pas. Jika tidak, maka dikhawatirkan terjadi hal yang tidak diinginkan. Jika si halus dididik dengan keras dan sebaliknya juga tidak masuk di dalam logika bukan? karena karakter dan sifat memang sudah menjadi warisan turunan dan hampir menjadi identitas pribadi si anak.Â
Apakah Anda semua mengetahui kasus tentang Jennifer Pan? tentang remaja berprestasi dan aktif dalam kegiatan les piano dan skating. Ia menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi orang tuanya setelah sebelumnya nilainya merosot dan ketahuan bergaul dengan teman-temannya.Â
Ia terlalu banyak bermain karena sebelumnya bermain adalah hal yang sangat dijauhinya. Fasilitas laptop, internet dan lain-lainnya segera di cabut oleh orang tuanya dan semua itu melatar belakanginya untuk berencana membunuh orang tuanya dengan pembunuh bayaran. Lihat betapa mengerikannya jika pola didik ini dikonsumsi dengan berlebih? ya, sangat mengerikan dan seperti bola salju yang akan membesar.
Dari kasus tersebut, Tiger parenting memang bisa berpotensi membuat anak-anak cenderung berbohong dan mencuri-curi kesempatan untuk melakukan hal yang dilarang oleh orang tuanya. Potensi dendam dan pelampiasan kepada orang tua juga menjadi alasan anak-anak bisa melakukan hal tersebut.Â
Seringkali Kita mendengar tentang ucapan "jika dikekang pasti akan berontak" atau ucapan seperti "sesuatu yang dilarang pasti akan membuat rasa penasaran apalagi jika dilarang dengan alasan tak jelas"Â dan bayangkan jika kalimat-kalimat tersebut tertanam di otak anak lalu apa yang terjadi? pastilah akan menjadi masalah terutama anak-anak memang sedang ingin tahu-tahunya dan mencoba sesuatu.
Bahkan didikan Tiger Parenting yang kadang disertai kekerasan verbal ataupun fisik juga banyak diterapkan. Namun sebuah riset yang dilakukan oleh  UC Riverside Graduate School of Education. Riset eksperimen yang dijalankan pada tahun 2014 ini mematahkan konsep Tiger Parenting yang dikemukakan Amy Chua melalui buku karyanya, Battle Hymn of the Tiger Mother.Â
Dalam buku tersebut, Amy Chua meyakinkan bahwa pola didik keras (Tiger Parenting) yang banyak diterapkan di keluarga Cina adalah yang terbaik. Namun teori ini patah seiring dengan kemajuan zaman yang makin dinamis. Pola asuh seperti ini tidak lagi diminati dan faktor karakter anak yang berbeda-beda juga tidak bisa disamakan dengan menerima pola asuh tersebut.