[caption caption="penggambaran model news room abad 21"][/caption]
Model ini memiliki enam tahapan, tiga tahap focus pada kecepatan dan tiganya lagi fokus pada kedalaman.
Kecepatan
Tahap 1: Respon terhadap aksi (Respond to Action)
Salah satu kunci jurnalisme adalah kecepatan, selalu ingin menjadi yang pertama dalam memberitakan. Jika tidak bisa menjadi yang pertama dalam menceritakan kejadian, setidaknya jurnalis mendapatkan gambar pertama atau wawancara pertama, reaksi pertama, atau bahkan analisis pertama. Kompetisi antar media telah mengantarkan pada rutinitas produksi, yang berkaitan dengan deadline penyiaran dan distribusi cetak. Pada media konvensional terdapat perbedaan rutinitas dengan media digital. Pada media konvensional, reporter mencari berita, menulisnya kemudian menyerahkannya ke editor, desain, percetakan lalu distributor. Sedangkan pada media digital, reporter dapat mengumpulkan informasi, menulis berita, kemudian mengunggahnya ke website (atau mendistribusikannya sendiri).
Tahap 2: Draft terbuka, Liveblogging “Draft pertama dalam jurnalisme”
Liveblogging lebih dari sekedar kecepatan, bukan penambahan kecepatan tapi format yang menyediakan kesempatan untuk lebih cepat, dari berbagai arah dan berbagai media. Liveblogging harus mengakomodasi fitur kunci dari pemberitaan online. Media cetak dan penyiaran dapat membuat asusmsi tentang akses audiens mereka ke informasi lainnya. Liputan langsung tradisional biasanya akan mendokumentasikan kejadian dari perspektif satu orang dengan sesekali diberi rincian latar belakang untuk mengisi kekosongan ketika hanya ada sedikit yang diliput langsung.
Namun, jurnalis liveblogging harus mengansumsikan banyak yang mengambil bagian dalam kejadian tersebut akan mempublikasikan liputan mereka sendiri pada saat yang sama dan di seluruh platform yang sama, seperti web, Twitter, Facebook dan situs jaringan social lainnya.
Liveblogging itu reaktif dan proaktif, reaktif dalam mendokumentasikan pada yang terjadi, tapi juga harus mengagregatkan apa yang paling penting. Agregat sendiri merupakan keterbukaan terhadap keterbatasan jurnalis dan menarik keahlian audiens, dengan kata lain jurnalis membutuhkan sumber dari tempat lain seperti kritik dan saran audiens untuk mengetahui mana yang penting. Ketika jurnalis harus menganalisis apa yang terjadi, mereka juga harus mengagregat anlisis dari sumber lain. Lalu ketika mereka memperkaya liputan dengan menambahkan video, audio, foto, mereka perlu mengagregatkan elemen multimedia tersebut dari platform seperti website berbagi video dan foto. Pada liveblogging diperlukan juga verifikasi, yang merupakan bagian paling penting dari kejadian.
Tahap 3: Artikel dan Pengemasan
Media cetak dan penyiaran mengalami masalah dalam hal distribusi. Pada beberapa kasus, penerbit menjadikan terbitan harian menjadi terbitan mingguan. Namun hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Media online hadir di tengah masalah tersebut, dimana interaktivitas dapat dilalui dari berbagai jalur seperti Google dan Facebook. Maka masalah distribusi dapat dialihkan ke online yang tak memerlukan percetakan dulu.
Kedalaman
Tahap 4: Konteks (Portal, Jaringan, Penjelasan, Halaman dan Agregasi, Wikifikasi Berita)
Steve Yelvington membuat perbedaan antara halaman topik yang ditujukan untuk public yang luas dengan blog yang memantau cerita tertentu tapi untuk pembaca yang lebih kecil. Topik yang baik mengandung komponen:
1. Sinopsis editorial. Tentang apa/siapa ini? Kenapa harus dipedulikan?
2. Gambar, peta, atau infografis.
3. Link ke web sumber