Mohon tunggu...
Nyoman Arto Suprapto
Nyoman Arto Suprapto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Urban and regional planner based on its culture and preserve of environment

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kuta, Surga yang Tak Lagi Mempesona

12 Januari 2015   22:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:17 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pantai Kuta

Keindahan Pantai Kuta memang sangat mempesona, bagaimana tidak salah satu tujuan wisata paling digemari di bali adalah Pantai Kuta. Meskipun pemerintah Kabupaten Badung ataupun Provinsi Bali belum pernah melakukan pendataan pasti terkait dengan jumlah kunjungan yang masuk ke Objek Wisata ini, karena memang Pantai Kuta dan pantai-pantai lain di Bali tidak mengenakan retribusi untuk masuk ke Objek Wisata tersebut. Namun dengan melihat berjubelnya wisatawan baik asing maupun lokal yang selalu memadati objek wisata ini, dapat dipastikan Pantai Kuta masih menjadi salah satu primadona di Bali. Bahkan sudah menjadi sebuah kebiasaan kalau ada teman yang jalan-jalan ke Bali selalu minta diajak ke Pantai Kuta. Ya memang sepertinya diluar sana Pantai Kuta begitu mempesona bukan karena pantainya yang bagus, tapi karena namanya sudah begitu terkenalnya, sehingga setiap orang yang liburan ke Bali belum lengkap rasanya jika belum berkunjung ke Objek Wisata yang satu ini. Kemarin sore saya diajak ketemu oleh teman lama dari Jakarta, kebetulan dia sedang ada tugas untuk penelitian di Bali, sorenya dia ada sedikit waktu luang dan ingin menikmati sedikit waktu luangnya untuk menikmati suasana Bali yang sesunggunya. Hal pertama yang dia minta adalah mengantarkannya ke Pantai Kuta. Ya seperti biasanya, teman saya begitu "mempercayai" pantai ini. Jam 5 sore kita berangkat dari Hotel tempatnya menginap, di kawasan Sanur. Jalur yang kita gunakan tidak melalaui jalur yang paling pendek karena dia ingin melihat kemegahan Tol Bali Mandara yang dibangun di atas perairan Teluk Benoa. Sekitar jam setengah 6 kita sudah sampau di Parkir C*ntro, salah satu Mall terbesar di Kawasan Pantai Kuta ini. Tidak lama bersiap kita langsung menuju pantai Kuta. Dia sedikit tercengang melihat bagaimana keadaan pantai yang sepertinya jauh dari apa yang dibayangkannya. Tidak dipungkiri suasana laut yang dikombinasikan dengan angin dan langit yang begitu cerah memberikan suasana pantai yang begitu mempesona. Desiran angin, ombak, dan hamparan pasir putih begitu memanjakan mata dan membuatnya begitu malas untuk berkedip, seolah-olah setiap kedipan akan menghempaskan semua keindahan ini pada suatu kehampaan.

Salah satu sudut keindahan Pantai Kuta

Sampah berserakan dimana-mana seolah-olah memberikan kesan betapa amburadulnya manajemen pemerintah daerah dalam mengelola sebuah objek wisata ini. Bagamana bisa objek yang begitu terkenal, begitu mempesona dan tentunya objek yang begitu "sexy" untuk menghasilkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) bisa terlantar seperti ini. Seperti tidak berlebihan jika ada media asing yang bahkan mengatakan Pantai Kuta sebagai surga yang hilang.

Sampah berserakan di Pantai Kuta

Ingin sekali rasanya melihat sebuah ekspresi kecewa dan ketidakpuasan di raut muka teman saya itu. Sayangnya, justru tidak terlihat sebuah kekecewaan, melainkan sebuah expresi bergairah, sebuah expresi exploratif. Ternyata penelitiannya ke Bali terkait dengan penanganan masalah persampahan yang ada di Bali. Dengan begitu bergairahnya dia mengambil sudut demi sudut panatai untuk mengeksplorasi lebih jauh bagaimana kotornya pantai ini. Pada sebuah titik kami bahkan menemukan sebuah tabung gas LPG yang dikerubungi berbagai jenis sampah lainnya.

Sebuah tabung gas LPG di salah satu sudut Pantai Kuta

Meskipun ada begitu banyak sampah yang mengiasi pasir putih pantai Kuta, sepertinya wisatawan yang datang kesini tidak mau ambil pusing. Mereka tetap saja menikmati suasana pantai ini dengan berbagai aktifitas mereka, ada yang menikmati pantai dengan bermain bola, ada juga yang menikmati deburan ombak untuk berselancar, ada juga yang hanya duduk duduk sambil menikmati suasana pantai ditemani alunan musik para seniman yang menjajakan suara merdu mereka. Sebuah pemikiran sederhana muncul secara tiba-tiba dibalik berbagai suasana hati yang ada di pantai ini. Sebuah pantai yang katanya dahulu kala (sekitar tahun 70an) begitu indah, pasir putih menghiasi hampir sepanjang mata memandang, ditepian pantai angin akan berirama dengan lambaian dauh kelapa yang berjejer laksana pasukan perang yang sedang bersiap untuk meluncurkan senjata terbaik mereka. Ombak yang begitu kencangnya bersiap menghempaskan kekuatan terbesar mereka pada serpihan pasir putih yang dengan gagah sudah menunggu. Sang kala yang bersinar terarng sudah bersiap ke dalam peraduannya dan iringin irama alam semakin menguatkan dirinya untuk semakin bergema. Jika dulu tidak ada manusia yang tertarik dengan suasana tersebut, kini ribuan bahkan mungkin jutaan orang sangat tertarik untuk melihat dan merasakannya, tetapi sebaliknya dahulu orang tidak tertarik namun tetap menghargai alam layaknya kehidupan mereka sendiri, sekarang mereka ingin menikmati alam justru dengan merusaknya. Sekitar jam 7 malam, sang kala sudah tidak terlihat di ufuk barat, bayangan cahaya kuning masih terlihat samar menunjukan sebuah geliat warna yang begitu menarik. Pemandangan tampak berbeda, pantai yang tadinya begitu tampak kotor sudah terlihat berbeda, goresan-goresan pasir bagai sebuah lukisan tangan abstrak menghiasi hampir seluruh hamparan pasir dan sisanya sudah tersapu air laut yang mulai pasang. Sungguh sebuah antiklimaks, tadinya saya berharap melihat ketidak pedulian dan pencarian kambing hitam. Tetapi itu justru sirna, karena semua sampah yang tadinya berjubel telah hilang, bahkan tumpukan sampah yang sudah terkumpul dan juga sebuah tabung gas LPG sudah tidak tampak. Desarin angin yang makin menguat menunjukan waktu yang semakin larut dan sampailah saya pada sebuah kesimpulan. Sampah ini terlalu banyak, bahkan mereka datang terlalu cepat, pemerintah tidak bisa membersihkannya setiap saat, mereka bertanggung jawab terhadap kebersihan namun sayangnya mereka tidak bisa melakukannya setiap menit. Sebuah pertanyaan besar muncul ketika saya mencoba merenungkan persoalan sederhana ini. Sampah ini adalah sampah kiriman,bukan dari mana-mana, melainkan dari Kota Denpasar dan kawasan hulunya. Sampah ini terbawa sungai menuju laut kemudian dihempaskan oleh gelombang dan terkumpul di Pantai Kuta. Pemerintah harusnya perfikir dan bersikap lebih holistik dalam mengelola sampah mereka, tidak cukup hanya denganmembersihkan dan mengumpulkan sampah pada tempatnya, karena pada akhirnya sampah itu akan terus berdatangan. Pemerintah harus mulai berpikir, bagaimana caranya sampah tidak masuk ke sungai, tidak masuk ke laut, dan tidak keluar dari tempat sampah, TPS, ataupun TPA, karena memang disanalah harusnya sampah berada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun