Mohon tunggu...
Dwi Bima
Dwi Bima Mohon Tunggu... -

bersikap lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ketika Logika Pasar Menjadi Paradigma Pembangunan

20 Februari 2014   07:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:39 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_323705" align="aligncenter" width="516" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPASIANA/Hendra Wardhana)"][/caption] Saya adalah seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Yogyakarta yang terkenal sebegai kota pendidikan. Beberapa hari yang lalu saat hendak pulang ke kos setelah melewati rutinitas kuliah seperti biasa, saya melewati hotel berbintang di Jogja yang sedang dikembangkan dari hanya hotel sekaligus mall. Seperti biasa ditempat sebuah proyek, dimana truk-truk molen keluar masuk dan macet pasti jamak ditemui. Berbicara soal mall, saat ini di Jogja terhitung mungkin ada 3 mall, setahu saya. 3 kawasan belanja tersebut memiliki ukuran yang besar bukan dari bentuk tapi dari jumlah transaksi jika saya lihat dari jumlah pengunjung yang memang luar biasa padat. Tapi maklum saja, kini Jogja telah berkembang pesat sebagai tujuan para pencari ilmu dari Sabang hingga Merauke, mungkin ini yang menjadi daya tarik Yogyakarta saat ini bagi pemilik modal. Teringat dibenak saya kata mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahatir Muhammad, ''If you no spend money, you will never build anything''. Dalam pengertian ekonomi dalil itu cukup saya mengerti. Kita tidak akan mampu membangun pertumbuhan ekonomi yang baik tanpa berinvestasi uang dengan jumlah banyak untuk menciptakan infrastruktur berjalanya jual-beli. Untuk membangun Yogyakarta, yang saya lihat tidak memiliki potensi besar menciptakan pundi-pundi uang besar, perlu siasat khusus untuk menciptakan iklim investasi. Benar kiranya jika Yogyakarta akhirnya mengklaim sebagai kota pendidikan, entah klaim itu orisinal dari pemerintah pusat, warga provinsi lain atau berasal dari Yogyakarta sendiri. Dengan pengklaiman sebagai kota yang bersahabat bagi pendidikan, menarik banyak pemuda untuk menuntut ilmu dikota ini. Dari data yang saya peroleh, di Yogyakrata sendiri terdapat sekitar 120 lembaga pendidikan baik itu politeknik, universitas, institute, akademi dll. Mari berhitung, jika satu lembaga pendidikan saya memiliki 4000 mahasiswa saja berarti akan ada 480.000 mahasiswa yang menuntut ilmu di Provinsi Yogyakarta. Jika untuk hitungan kasar saja, setiap mahasiswa mendapat uang saku 1 jt per bulan berarti hampir setiap bulan ada 48.000.000.000 yang siap dibelanjakan oleh para mahasiswa. Dimana ada gula disitu ada semut, ini adalah asal mula masalah yang saya angkat. Dengan perputaran uang sekitar 48 miliar dari mahasiswa, investor mana yang tidak tergiur? Tidak heran bagi saya jika Yogyakarta saat ini sudah mulai sesak dengan pembangunan baik apartemen, kos eksklusif atau supermall dengan segala hiburannya. Banyaknya pembangunan, muncullah kepadatan, kepadatan menjadi sebab dari kemacetan, belum lagi jika urusannya pembangunan berskala besar pasti juga diiringi oleh banjir dan kurang ramahnya pembangunan negara kita terhadap lingkungan selama ini. Yogyakarta yang juga mendapat predikat daerah istimewa dari pemerintah, tak lagi istimewa bagi saya. Kota Yogyakarta bukan lagi kota yang dulu saya kenal, sudah tidak berhati nyaman, dimana-mana macet. Saat ini, dari kabar yang saya dengar akan akan tiga pusat perbelanjaan baru di Yogyakarta. Pertanyaan muncul dibenak saya, apakah masih relevan jika Yogyakarta yang istimewa ini tetap menjadi kota pendidikan, mengingat fasilitas hiburan kini lebih mencolok ketimbang fasilitas studi. Bagaimana mungkin jika suatu masa, mahasiswa lebih memilih nonton bioskop atau menjeng di mall ketimbang membaca diperpustakaan. Saya pernah menyasikan sebuah perbincangan di televisi lokal yang mengatakan bahwa minat baca di Yogyakarta sendiri masih tinggi, pertanyaan muncul lagi di benak saya, apakah itu akan bertahan jika mall-mall yang sedang dibangun itu sudah rampung? Saya adalah orang yang skeptis soal ini. Saya memang tidak memiliki penelitian khusus tentang ini, tapi bagi saya jauh dari orang tua akan menyebabkan hilangnya kontrol terhadap para mahasiswa. Hilangnya kontrol berarti keleluasaan bagi mahasiswa untuk cenderung mejeng di mall daripada menghadiri perkuliahaan bukan? itu logika saya. Masikah Jogja bersahabat bagi para penuntut ilmu? Baru persoalan akademik yang saya persoalkan, masih ada beberapa masalah lagi. Salah satu masalah yang jamak saya lihat adalah gerombolan polisi dan satpol PP yang mengusur pemukiman warga. Memang wajar jika rumah-rumah liar berdiri ditanah orang dan akhirnya digusur, tapi ini lama tidak saya lihat di Yogyakarta. Banyak pemukiman liar yang didiamkan sekian lama dan baru diotak-atik ketika pemilik modal datang dan berani bayar mahal untuk mengeksekusi lahan yang dia sudah beli. Dari pengamatan sederhana saya, berarti petugas akan bertindak ketika ada klaim dari si empunya sertifikat atau ada uang yang melicinkan. Jika sistemya seperti ini, tidak heran jika di Jakarta ada rumah-rumah liar yang dialiri listrik dan didiamkan saja sampai beralihnya estafet kepemimpinan ke yang sekarang. Di Yogyakarta juga begitu, rumah-rumah yang saya lihat digusur tampaknya dulu pernah bercahaya lampu yang terang, bedanya pemimpinnya disini tetap kerena Jogja memiliki keistimewaan daripada wilayah lain soal pemimpin. Tesis lain telah saya tarik, yaitu dimana ada pembangunan berskala besar disitu pasti akan menjamur juga penggusuran. Yogyakarta kini benar-benar tidak berhati nyaman bagi saya. Persoalan kota-kota besar macam Jakarta juga saya temui di Yogyakarta seperti persoalan banjir, macet hingga premanisme. Banjir? Saya tidak perlu banyak cerita soal ini, tanyakan saja yang pernah ke Jogja pada musim hujan. Hujan deras 10 menit beberapa daerah protokol bisa langsung tergenang air. Macet? Sudah saya sering lihat. Kalau boleh cerita, ada sebuah pembangunan mall yang berada tidak dijalan protokol, hanya sebuah jalan kecil yang lebarnya mungkin tak sampai 8m. Saya langsung parno sendiri dibuatnya, bagaiamana kalau mallnya sudah jadi, mau semacet apa ya? Premanisme, saya langsung blak-blak'an. Ada sebuah embung yang setiap sore biasanya digunakan orang untuk jogging atau mengajak jalan-jalan anjingnya dan di embung itu kita ditarik retribusi oleh sekelompok pemuda yang mengaku PETA, bukan PETA Pembela Tanah Air tapi Pemuda Embung Tambak Boyo, keren bukan namanya. Karena saya juga sedang merintis usaha di daerah tersebut, saya dengar PETA juga pernah meminta sejumlah uang kepada seorang pemilik kos. Dimana pak polisi kita? Masih nyamankah Jogja? Wahai Sultanku, yang kubela dengan berteriak referendum atau memisahkan diri dari NKRI pada tahun 2010, ketika isu pilkada harus dilakukan untuk memilih gubernur, dimana engkau Sultanku? Apakah kini logika uang ''dimana ada gula disitu banyak semut''  akan juga berpengaruh banyak terhadap tanah yang sudah diwariskan kepada engkau bagindaku? Apakah engkau akan membiarkan investor pencari untung meruntuhkan semangat belajar kami dengan rayuan tempat karoeke, mall, bilyard spot atau diskotik? Diaman engkau Sultanku, kenapa engkau jarang muncul untuk persoalan pembangunan ini? Ketika banyak aktivis berteriak bahwa Jogja sudah tidak berhati nyaman, kampanye-kampanye atas nama menyelematkan ''keistimewaan Jogja" diaman engkau bagindaku?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun