Mohon tunggu...
Dwi Bima
Dwi Bima Mohon Tunggu... -

bersikap lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kebanggaan Dari Sebuah Mobil dengan Membeli Nama?

27 Desember 2014   05:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:23 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Mobil sebuah kendaraan bermotor yang sangat memiliki fungsi fundamental dalam kehidupan sehari-hari umat manusia saat ini. Sering di acuhkan oleh sebagaian masyarakat yang karena fungsinya sebatas penghantar dan mempersingkat perjalanan. Tapi apakah anda tahu jika ''mobil'' sering jadi ajang konspirasi politik maha dahsyat. Lihat Jerman, di akhir tahun 1920'an harga daging bisa mencapai 1 milliar mark, akibat kekalahan Jerman di Perang Dunia 1 waktu itu. Tak di duga, pemimpin baru negara itu yang kita kenal dengan sebutan Hitler justru merilis mobil nasional yang bernama Volkswagen atau di Indonesiakan mobil rakyat. Bagi kita tentu tak habis pikir, apa alasan menciptakan mobil yang harganya tentu lebih mahal dari sepotong daging, ketika sepotong daging saja sudah 1 milliar mark terus berapa harga sebuah mobil? Kebanggaan, ya kebanggan, itu yang ingin Adolf Hitler ciptakan. Kekalahan di perang dunia ke-2 membuat kepercayaan diri bangsa Jerman runtuh dan perlu di bangkitkan kembali. Hitler kemudian merequest langsung mobil ini, untuk membangkitkan semangat Jerman yang yang runtuh dan mengatakan Jerman telah bangkit. Cerita soal mobil tidak hanya di Jerman, apakah anda tahu Uni Soviet ngebet bekerja sama dengan Fiat Italia untuk menciptakan mobil nasional Lada? Atau Malaysia yang berkompromi dengan Jepang tahun 81, yang di tolak sebelumnya oleh masyarakat Indonesia lewat Malari 1974, untuk menjadikan Perusahaan Mobil Nasional (PROTON) sebagai mobnas mereka? Barangkali jika saya boleh berandai, proyek mobnas PROTON tidak akan pernah ada jika Malari tidak meletus, tapi ini bagaian sejarah dan permainan politik tingkat tinggi.

Indonesia setelah milenium baru, masih enggan untuk kembali bermimpi menciptakan mobnas setelah Timor gagal. Kita sekarang cenderung negara berbasis money oriented ketimbang pride oriented, barang kali itu yang bisa saya sematkan kepada negara saya ini. Kenapa begitu? Di saat negara tetangga bisa hidup dengan membuka diri untuk di bangun pabrik-pabrik mobil, Thailand, dari Asia Timur atau Eropa, negara kita juga kepincut. Negara ini tidak kepincut dengan negara tetangga lain yang sudah bisa mencipta PROTON. Era SBY di deklarasikan proyek ''mobnas berroyalti'' LCGC. Saya bilang ''mobnas berrolayti'' karena kita membeli merk perusahaan mobil yang sudah mapan bukan mencipta produk baru. Sakitnya lagi janji LCGC yang berbasis ekspor oriented tak pernah tercapai hingga sekarang. Info terakhir dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), jika kapasitas produksi mobil secara nasional tahun 2013 adalah 1.229.904, naik dari tahun 2012 yang sekitar 1.116.230. Sekilas prestasi dengan kenaikan produksi, namun apakah anda tahu berapa dari mobil itu yang mampu di ekspor? Hanya sekitar 170.90 atau hanya 13,9%, tak sesuai janji yang ada bukan? Meskipun mobil ini juga di janjikan untuk kelas menengah Indonesia, sudah siapkah kita dengan infrastruktur jalan yang ada? Yang ada justru cuma kemacetan yang berujung proses distribusi terhambat, justru menjadikan kerugian belum lagi berapa bbm yang dihamburkan unutk menerjang macet? Di mana isu pengelolaan bbm masih menjadi polemik.

Politik itu berubah setiap waktu, itu yang saya tahu. Begitu juga dengan Jokowi, ketika beliau menolak proyek LCGC saat menjabat Gubernur Jakarta karena alasan infrasturktur jalan yang tidak memadai, kini justru mendukung dan menghidupkan proyek ini lagi. Kata wakilnya, Bapak Jusuf Kalla, Jokowi sekarang lebih melihat dari sisi nasional bukan lagi dari problematika ibu kota, jadi kini setuju. Apalagi mobil ini di anggap hemat bbm, perjalanan 20 km mobil ini bisa menghemat 1 liter bbm. Tapi pertanyaan muncul di benak saya, kalo yang pakai semakin banyak ya apa kita mampu memenuhi bbm'nya? Di tahun 2014 saja, SKK Migas yang di beri mandat mengelola minyak mentah kita telah gagal memproduksi minyak sesuai dengan rancangan awal APBN 2014 yaitu 818 rb barel per hari dan hanya mampu memproduksi 775,9 ribu barel per hari. Kalau produksi dalam negeri gagal memenuni target, jadi kita akan import bbm lagi semakin banyak? Di mana janji berdikari dan efisiensi saat kampanye?

Saya yang hanya seorang pengamat hanya bermimpi negara ini benar-benar menjadi bangsa yang modern, maju dan visioner. Bagi saya ukuran seberapa banyak mobil yang berkeliaran di jalan, bukan jadi ukuran negara maju tapi justru negara maju adalah yang mampu menciptakan modal transportasi umum yang memadai dan mampu mencetak mobil dengan nama sendiri. Hal itu urung saya lihat di Indonesia, tidak ada niat menciptakan mobil baru dan transportasi umum masih jauh dari kata layak. Saya cuma bisa menulis opini ini sembari berdoa, bahwasannya mobil smk dulu bukan hanya sebagai kendaraan politik ke istana, namun benar-benar niat tulus menjadikan negeri ini maju. Doa lainnya adalah jika kalau negara ini hingga kiamat gagal menciptakan mobil karya bangsa, semoga proyek LCGC atau proyek mobil semacamnya benar-benar ekspor oriented, bukan semata-mata karena kita memiliki pangsa pasar yang besar yaitu 230 juta penduduk indonesia yang 40 jutanya telah berada di golongan menengah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun