Mohon tunggu...
Dwi Bima
Dwi Bima Mohon Tunggu... -

bersikap lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pasca Mundurnya Setya Novanto, Hati-Hati Absolutisme!

17 Desember 2015   21:55 Diperbarui: 17 Desember 2015   21:59 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada akhirnya setalah proses yang agak terasa berbau transaksional di Dewan Kehormatan DPR, ketua DPR Setya Novanto mundur. Mundurnya Setya Novanto memang harus mau tidak mau dilakukan. Setya Novanto sendiri bagi saya merupakan bukan elite politik yang jago berpolitik. Alasan saya mengutarakan pernyataan tersebut karena kesembronoan atau entah kecerobohan dari Setya Novanto sendiri. Bagaimana tidak, seharusnya Setya Novanto harus sadar jika dirinya menjadi target utama untuk digulingkan oleh elite penguasa. Isu penyelewengan penggunaan plat nomer kendaraan dan kasus korupsi Bank Bali jelang pelantikan menjadi ketua DPR.Kemudian setelah itu bertemu dengan Donal Trump serta menggunakan masker saat sidang DPR yang dilakukan sebagai protes atas masalah kabut asap di Sumatra namun justru diserang sebagai bentuk penghinaan sidang DPR. Sekarang justru nekad ikut campur urusan perpanjangan Freeport, entah ini nekad atau oportunis.

Mundurnya Setya Novanto bisa jadi oase bagi elite pengguasa saat ini. Ada selentingan kabar di media jika UU MD3 akan diubah dan memungkian partai penguasa untuk menguasai kursi ketua DPR. Apalagi, dengan bergabungnya PAN, praktis legislatif saat ini dikuasai oleh partai elite penguasa. Tentu bisa kita bayangkan bagaimana mulusnya nanti program-program pemerintah yang sebelumnya harus melewati DPR. Masalahnya kemungkinan tak semua kebijakan yang ada berpihak kepada kepentingan kemajuan bangsa.

Jika kita berkaca sebelumnya, bagi saya ada sejumlah kebijakan-kebijakan yang tidak popular dan justru agak aneh. Misal kenaikan BBM, di era sebelumnya jika ada pembahasan kenaikan BBM partai elit penguasa saat ini adalah langganan walk out. Para kadernya juga yang sering getol bersuara di media menolak proposal kenaikan bbm. Ketika naik menjadi penguasa mereka sadar jika memang seharusnya BBM naik dengan komplesitas yang ada dan akhirnya mereka menaikan. Meskipun saya setuju dengan kebijakan menaikan harga BBM, tetap saja tingkah kader elite penguasa sekarang di era sebelumnya bagi saya adalah sebuah pencitraan agar terlihat pro-rakyat.

Masih banyak lagi kebijakan-kebijakan yang rasanya agak aneh dan tidak berpihak terhadap rakyat. Misal dengan memasukan pekerja-pekerja asing dengan kenyataan masih ada 7 juta pengganguran di negeri ini. Jika pekerja-pekerja asing tersebut adalah profesional yang memungkinkan transfer ilmu, bagaimana jika tidak? Kemudian melemahnya rupiah sepanjang tahun ini, membuat ada kabar yang saya dapat jika sekarang kita mulai mengekspor apa saja termasuk bahan mentah. Sebelumnya saya pernah berbincang dengan teman yang memiliki usaha yang memerlukan bahan mentah batok kelapa untuk dijadikan arang batok. Kabarnya untuk menemukan batok kelapa sudah sangat susah sekarang semenjak Cina juga mulai ikut-ikut dalam dunia bisnis ini dan mengambil bahan dari Indonesia yang kisaranya mencapai kurang lebih 50 juta kg/tahun. Volume ekspor yang tinggi mungkin bisa menguatkan rupiah kita terhadap dollar, tapi bagaimana jika dengan itu kita selalu menjadi negara eksportir bahan mentah dan pengkonsumsi barang jadi terus menerus?

Pemimpin kita saat ini pernah memberikan kesempatan bagi beberapa rekan kompasiana untuk berkunjung ke kantornya dan berujar jika kompasiana semoga kedepannya bisa menimbulkan optimis publik. Tentu pernyataan tersebut saya sangat setuju namun bagaimana jika kedepannya ada kebijakan-kebijakan yang tidak benar-benar peduli dengan kemajuan bangsa? Harus kita menimbulkan semangat optimisme ke publik? Berkaca dari sejarah awal Orde Baru yang pemimpinnya mampu menggulingkan PKI dan kemudian berdalih membersihkan kabinet dan legislatif dari kader PKI kemudian memasukan TNI yang kita kenal dengan Dwi Fungsi ABRI. Setelahnya rezim tersebut mampu bertahan 32 tahun dengan kesewenang-wenangnya. Semoga mundurnya Setya Novanto tidak menjadi titik balik absolutisme yang hanya memenangkah kepentingan elite penguasa semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun