Mohon tunggu...
Dwi Bima
Dwi Bima Mohon Tunggu... -

bersikap lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi, Hadiah Terbesar Bangsa Indonesia

18 Agustus 2015   00:12 Diperbarui: 18 Agustus 2015   02:14 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tujuh puluh tahun bukan waktu singkat bagi sebuah bangsa membangun. Dalam rentang waktu itu, Indonesia berhasil menaklukan segala isu persoalan bangsa. Tak mudah bagi Indonesia untuk menyelesaikan persoalan isu bangsa jika menengok bagaimana keragaman yang dimilikinya. Pernah satu hari Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill, mengatakan betapa mustahilnya Jawaharlal Nehru membina 645 etnik dan 1.600 bahasa serta dialek dalam satu atap yang dimiliki India. Penyataan itu jelas mengambarkan bagaimana sulitnya para pemimpin bangsa kita menciptakan kondisi dan situasi yang aman, tentram dan sejahtera bagi semua golongan mengingat Indonesia dan India memiliki kemiripan yaitu keberagaman.

Tujuh kali kita berganti pemimpin. Setiap pemimpin memiliki ceritanya sendiri dalam mengakomodasi kehendak kemajemukan bangsa ini. Ada kala fase dimana demokrasi yang kita miliki mengalami kemunduran. Fase awal kemunduran demokrasi adalah ketika Dekrit Presiden 5 Juli 1959 di munculkan untuk membubarkan konstituante, kemudian kemunculan Orde Baru dan penghapusan konstituante kembali di era Bapak Abdurrahman Wahid.

Tidak hanya fase kemunduran dalam demokrasi, bangsa Indonesia juga pernah beberapa kali mengalami kesadaran akan pentingnya kebebasan bereskpresi dan berpendapat. Di mulai dengan Tritura selepas tragedi G 30S/PKI, demo besar- besaran menolak kehadiran Perdana Menteri Jepang yang dikenal dengan tragedi Malari kemudian peristiwa '97. Semua peristiwa kemajuan dalam demokrasi tentu ada yang menginisiasi, namun tanpa kesadaran dan keinginan yang kuat dalam bangsa Indonesia sendiri, betapa hebatnya inisiator tidak akan pernah mampu mendorong bangsa Indonesia melakukannya.

Mendekati setahun kepemimpinan Joko Widodo, banyak kritik melayang yang ditujukan kepada Presiden ketujuh tersebut. Mengurus negara memang tidak mudah, apalagi negara seluas, seberagam dan sebesar Indonesia. Indonesia membutuhkan pemimpin yang tahan tekanan eksternal namun juga tahan omelan rakyat yang tak kunjung puas. Sayangnya, banyak warga negara bangsa Indonesia ini kurang mengerti bagaimana menyampaikan kritik dan saran bagi pemimpinya. Latar belakang tersebut membuat wacana pengesahan undang-undang penghinaan kepada Presiden di munculkan. Presiden beranggapan jika ini justru melindungi bagi warga negara yang mampu menelurkan kritik dengan arif dan bijak terakomodasi.

Secara pribadi saya memang geram melihat bagaimana cara segelintir oknum menyapaikan kritik dan keluhan dengan cara dengan tidak sopan. Kemudahaan akses informasi membuat masyarakat membati buta dalam mengkritisi pemerintahan tanpa memperhatikan asas kesopanan dan adat ketimuran. Tapi jauh dalam pemikiran saya, apakah dengan memunculkan undang-undang penghinaan Presiden akan menyelesaikan persoalaan itu atau justru membrendel rakyat agar diam. Menilik sejarah, Orde Baru pernah menggunakan cara-cara yang hampir mirip dengan sekarang untuk membrendel pers. Di awali atas tuduhan tragedi Malari yang dikatakan disebabkan oleh pers, membuat pers Indonesia di brendel saat itu dan kemudian mengalami stagnasi.

Salah satu pelopor revolusi bangsa Indonesia, Sutan Syahrir, pernah berujar jika kemerdekaan nasional adalah bukan pencapaian akhir, tapi rakyat bebas berkarya adalah pencapaian puncaknya. Jangan sampai alasan penghinaan Presiden dapat memunculkan pasal yang membuat rakyat diam. Sebagai pemimpin, Joko Widodo, harusnya sadar dan legowo jika memang menjadi Presiden akan selalu menjadi sasaran kritik dan gerutu. Rakyat juga harus belajar bagaimana menyampaikan keluhan dengan bijak. Sebagian kaum yang menggangap dirinya intelek harus mampu melihat persoalan ini yang tadinya kabur menjadi lebih jelas. Jangan sampai demokrasi yang telah dibangun 70 tahun ini menjadi hadiah dari pendahulu bangsa yang sia-sia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun