High Performance Work System (HPWS) Dalam Pengelolaan Institusi Pendidikan
High-performance-work-system (HPWS) dipopulerkan pertama kali oleh Carillon (1992). Konsep HPWS terus berkembang dan diteliti efektivitasnya. Dari penelitian "Through the looking glass of a social system: Cross-level effects of high-performance work systems on employees' attitudes" (Takeuchi, Chen, & Lepak, 2009), menyatakan bahwa penerapan HPWS akan memprediksi kepuasan kerja serta komitmen karyawan. Penerapan HPWS telah mendorong kepedulian perusahaan/organisasi terhadap karyawan.
Penelitian Tran Huy (2023) berjudul Crafting your career success: The role of high-performance work system, HRM attribution, and job crafting, menyatakan bahwa HPWS berperan bukan saja membantu organisasi, tetapi membantu karyawan mengusahakan kesuksesan karir mereka. Penerapan HPWS membuat karyawan berusaha kreatif terhadap pekerjaannya hingga mencapai kondisi/kinerja yang optimal.
Studi yang dilakukan oleh Eniola et al. (2023), berjudul High-performance work system on sustainable organizations performance in SMEs, menunjukkan bahwa mempertahankan kinerja (organisasi) adalah tantangan nyata bagi organisasi. Agar organisasi dapat berhasil, diperlukan inovasi yang dilakukan melalui investasi pada pekerja atau sumber daya manusia. Melalui HPWS, organisasi berfokus atau melakukan investasi dengan melakukan optimalisasi berbagai sistem pengelolaan sumber daya manusia, hingga menghasilkan yang kondisi optimal bagi organisasi. Karyawan merasa bahwa sukses dalam pekerjaan bukan saja penting bagi organisasi/perusahaan, tetapi juga penting bagi dirinya. Melalui sistem pengelolaan kinerja, karyawan melihat riwayat/perjalanan karirnya, hingga menilai bahwa dirinya berharga baik secara pribadi maupun bagi organisasi.
Dalam praktik HPWS setidaknya terdapat enam indikasi, yaitu: (a) rekrutmen yang dilakukan secara selektif; (b) pemberian pelatihan kepada karyawan; (c) pemberian rasa aman dalam menjalankan peran dan penjagaan terhadap informasi pribadi; (d) pemberian motivasi untuk peningkatan komitmen; (e) pemberian kesempatan kepada karyawan untuk berinteraksi dan berpendapat; dan (f) pemberian penghargaan/kompensasi yang sesuai dengan kinerja. Keeman indikasi tersebut umumnya diterapkan pada organisasi bisnis/perusahaan. Dalam tulisan ini, penerapan HPWS akan dipaparkan dalam konteks institusi pendidikan.
Pertama, rekrutmen yang dilakukan secara selektif. Dalam institusi pendidikan terdapat dua jenis sumber daya manusia, yaitu staf administrasi pendidikan dan staf pengajar/staf akademik. Kedua jenis sumber daya tersebut, direkrut berdasarkan kriteria seleksi yang sistematis, mulai dari informasi lowongan hingga proses penerimaan di dalam institusi pendidikan. Dalam kriteria seleksi, institusi pendidikan perlu menetapkan sikap/kepribadian (attitude/personality), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill) yang relevan dengan institusi pendidikan. Misalnya: memiliki keinginan untuk terus belajar (love of learning), bersikap mengayomi, empati (kindness) terhadap peserta didik, memiliki kreativitas dan pengetahuan yang dibuktikan dengan karya tulis dan kemampuan mempresentasikan pemikiran, serta memiliki keterampilan dalam menggunakan teknologi informasi.
Kedua, pemberian pendidikan/pelatihan. Dalam institusi pendidikan, HPWS diwujudkan dengan memberikan kesempatan pelatihan kepada para staf administrasi pendidikan maupun kepada staf pengajar/staf akademik. Pendidikan/pelatihan berfungsi untuk terus meningkatkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan, agar staf administrasi pendidikan dan staf pengajar/staf akademik dapat melaksanakan tugas/pekerjaanya dengan baik. Beberapa contoh pendidikan/pelatihan yang diperlukan misalnya: pendidikan/pelatihan mengenai berbagai kebijakan/peraturan terkait institusi pendidikan; sistem akreditasi dan penjaminan mutu internal; norma berperilaku, pelayanan prima, etika berkomunikasi; administrasi kepegawaian dan penilaian kinerja; penyusunan dan evaluasi kurikulum; pemanfaatan teknologi informasi; efektivitas dan efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya; pelatihan pengembangan kepribadian, pengelolaan waktu kerja, serta berbagai pelatihan lainnya untuk mempersiapkan sikap/pengetahuan/keterampilan pada jabatan tertentu.
Ketiga, pemberian rasa aman dalam menjalankan peran dan menjaga kerahasiaan informasi pribadi. Terkait dengan keamanan, keselamatan, dan kesehatan di dalam institusi pendidikan, pengelola institusi pendidikan perlu memastikan/menjamin bahwa lingkungan pendidikan cukup aman dari berbagai risiko, seperti: narkoba, minuman keras, perilaku merokok, penyimpangan/kekerasan seksual, dll. Berbagai risiko tersebut akan berdampak pada keamanan dan kesehatan siswa/mahasiswa, staf administrasi pendidikan, dan staf pengajar/akademik. Untuk menjamin perasaan aman para sivitas akademika, institusi pendidikan perlu menyediakan personil keamanan yang peduli dan memiliki wibawa; perlu menyediakan klinik/unit kesehatan; perlu melakukan sosialisasi informasi prosedur penanggulangan jika terjadi kebakaran, gempa bumi, kondisi darurat lainnya; serta contact person (hotline) yang dapat dihubungi jika menemukan situasi/kondisi yang berpotensi mengganggu keamanan, keselamatan, kesehatan di lingkungan institusi pendidikan.
Untuk mendukung keamanan, keselamatan, dan kesehatan, institusi juga perlu memerhatikan keamanan psikologis, termasuk di dalamnya adalah menjaga kerahasiaan informasi pribadi. Penjagaan terhadap informasi pribadi merujuk pada kebijakan yang diambil oleh institusi pendidikan untuk melindungi staf pengajar/akademik, staf administrasi pendidikan, ataupun mahasiswa/siswa. Informasi pribadi mencakup data identitas atau kehidupan pribadi seperti nama, alamat, nomor telepon, nomor identitas, informasi keuangan, atau data pribadi lainnya. Pengelola institusi pendidikan yang mengetahui latar belakang, keterbatasan, kekurangan, kelemahan pengalaman hidup yang mungkin kurang positif dari para sivitas akademika, perlu lebih waspada dalam mengelola database informasi pribadi, serta berusaha melindungi data pribadi sivitas akademika dengan cermat. Perlindungan terhadap data pribadi berdampak terhadap perasaan aman dan kesejahteraan psikologis sivitas akademika dalam melaksanakan tugas/pekerjaan.
Keempat, pemberian motivasi untuk peningkatan komitmen. Pemberian motivasi berguna untuk meningkatkan kinerja karyawan atau untuk menurunkan perilaku kontraproduktif. Pemberian motivasi dapat dilakukan dengan menetapkan tujuan yang bersifat SMART; yang merupakan singkatan dari: (a) specific, (b) measurable, (c) achievable, (d) relevant, dan (e) time-based. Pertama, yaitu penetapan tujuan bersifat specific; berarti tujuan dirumuskan dalam kriteria yang terdefinisi dengan jelas; misalnya apa, dimana, dengan siapa kinerja akan dilakukan. Sebagai staf pengajar/akademik, dapat distimulasi dengan apa topik yang akan diteliti, dimana penelitian akan dilakukan, dan bersama siapa penelitian akan dilaksanakan. Sebagai staf administrasi akademik, dapat distimulasi dengan apa bidang/standard yang akan diadministrasikan, di mana administrasi akan dilakukan (apakah di dalam form tertentu), dan bersama siapa atau kepada siapa administrasi akan diselesaikan/dilaporkan.
    Kedua, yaitu penetapan tujuan bersifat measurable; berarti tujuan dirumuskan dengan kriteria yang terukur. Kriteria terukur, berarti tujuan kinerja dinyatakan dalam bentuk angka (1, 2, 3, dst.) secara objektif. Misalnya, bagi staf pengajar/akademik, dituntut untuk memberikan pengajaran minimal 12 jam dalam satu minggu, memberikan bimbingan kepada 12 mahasiswa/siswa, dst.. Sedangkan bagi staf administrasi pendidikan, misalnya terdapat target jumlah minimal mahasiswa/siswa yang mengikuti ujian seleksi masuk, jumlah minimal mahasiswa/siswa yang registrasi, jumlah anggaran yang diajukan, jumlah ruangan/fasilitasi yang perlu dikelola, dll; yang prinsipnya bersifat terukur.