Sejarawan Universitas Oxford, Kerajaan Inggris, Peter Carey, dalam Asal-Usul Perang Jawa menjelaskan, tuntutan Diponegoro untuk mendapatkan pengakuan sebagai penguasa tunggal Mataram dengan meniadakan Keraton Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran dan Dalem Pakuan, tidak dapat dipenuhi. Â Tuntutan pengakuan sebagai penguasa tunggal tanah Jawa merupakan sisi Perang Diponegoro yang jarang muncul dalam pembahasan sejarah Republik Indonesia.
Tersentak juga pada saat membaca kutipan di atas. Pikiran saya langsung menerawang pada masa-masa duduk di bangku sekolah dasar (SD). Mencoba mengaduk-aduk simpanan memori saya dan saya tidak menemukan sedikitpun soal 'penguasa tunggal tanah jawa' ini. Kutipan di atas berasal dari bukunya Iwan Santosa, Legiun Mangkunegaran (1808-1942). Terbitan Kompas. Buku ini sebenarnya mengulas tentang Legiun Mangkunegaran. Tapi ternyata berkaitan dengan banyak peristiwa sejarah yang jarang sekali dibicarakan. Salah satunya tentang Perang Diponegoro itu. Perang Diponegoro berawal dari, seperti yang sudah kita ketahui dari sejarah, masalah patok. Patok yang dipasang melintasi tanah milik Diponegoro. Inipun ternyata ada beberapa versi. Juli 1852 Pepatih Dalem Yogyakarta bermaksud membuat jalan lurus dari Yogyakarta ke Magelang. Dan ternyata jalan ini memotong tanah kebun Dipenogoro, sumber lain mengatakan memotong sawah milik Diponegoro, ada juga yang mengatakan tanah leluhur Diponegoro. Perang ini kemudian berkembang menjadi Perang Jawa, yang berlangsung selama 5 tahun. Selain soal pengakuan sebagai penguasa tunggal tanah Jawa, sisi lain yang terungkap soal pihak yang bertempur bukan cuma antara pihak Belanda & pihak Pangeran Diponegoro. Pihak Belanda sendiri ternyata terdiri dari para Pangeran dan Pembesar Jawa lainnya. Termasuk di dalamnya Keraton Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran dan Dalem Pakuan. Ini berarti secara tak langsung Perang Saudara juga. Sisi lainnya, tak ada tipu muslihat soal penangkapan Pangeran Diponegoro. Penangkapan Pangeran Diponegoro adalah akibat kekalahannya. Kekuatan pasukannya yang semakin melemah. Berturut-turut para pendukungnya tertangkap atau tewas, mulai dari Kyai Maja, Pangeran Ngabehi, Mangkubumi, ibunda & putri Diponegoro, Sentot Alibasyah hingga Danoeredjo. Ini yang mengakibatkan mau tidak mau Diponegoro mau berunding dan ditangkap. Saya tak bermaksud mempertentangkan apa yang selama ini sudah terekam dalam benak saya dengan 'sisi lain' yang diungkapkan buku ini. Buat saya ini kenyataan menarik, menarik buat dibaca dan dijadikan 'vitamin' sejarah. Masalah setuju atau tidak setuju, versi mana kita berpihak, kembali kepada diri kita masing-masing. Apalagi cukup sulit merubah persepsi sejarah yang sudah tertanam cukup lama. Buat yang yang tertarik bukunya silahkan dibeli, bukan bermaksud promosi, karena saya tak ada hubungannya dengan penulis. Sekali lagi menarik buat dijadikan 'vitamin' sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H