Indonesia itu unik. Kalau kita punya rumah, apalagi beli sendiri, kemungkinannya kita merasa sombong. Hal tersebut tak sepenuhnya salah. Sebab membeli rumah merupakan hal yang lumayan "tersier" di mata orangtua, terutama bagi orang yang hendak menikah. Namun faktanya, segala aset yang ada di depan muka kita, merupakan segala kekayaan milik negara. Maka, sebagaimana Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 melantunkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. Sehingga, melalui kekayaan negara, salah satu kewajiban kita adalah membayar pajak sebagai pungutan demi mencukupi aset pemerintah untuk kemakmuran rakyat. Menyelaraskan dengan hal tersebut, terdapat pula kewajiban lain misalnya ketika membangun rumah, kita harus memiliki izin atau yang dinamakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sebagaimana tertulis dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Maka, dari hal tersebut disimpulkanlah kewajiban merupakan sesuatu yang harus dipenuhi dan dilaksanakan melalui ketentuan yang telah ada sebelumnya. Suatu kewajiban mengharuskan individu atau kelompok untuk bertindak dengan cara tertentu (maupun tidak), tanpa mengimplikasikan bahwa sungguh-sungguh menginginkan orang tersebut bertindak demikian. Artinya, hal tersebut dilakukan salah satunya agar hak orang lain tak terganggu. Maka melalui hal tersebut, Hans Kelsen menuliskan, di dalam suatu prosedur hukum terdapat objek yang dinamakan ought atau kewajiban. Pun begitu, kewajiban merupakan sesuatu yang berlawanan dengan konsep hak.
Hak menurut Kelsen ada dua terma. Yakni "jus in rem" dan "jus in personam". Sekarang mari disimpulkan. "Jus in rem" merupakan hak atas suatu benda, sedangkan "jus in personam" ialah hak yang menuntut orang lain atas suatu perbuatan atau hak atas perbuatan orang lain. Hak tak hanya menyangkut HAM maupun kebendaan, tetapi kedua hal tersebut sejalan dengan konsep "hak" itu sendiri. Hanya saja, hal tersebut berbeda terma dan merupakan hal yang berlawanan dengan konsep kewajiban sebab ketika kita memiliki suatu hak, maka secara harafiah berarti kita tidak diwajibkan melakukan sesuatu. Misalnya seperti ini, individu memiliki hak untuk mendirikan rumah, maka dalam waktu bersamaan individu tidak diwajibkan untuk harus mendirikan rumah. Hak adalah hal yang dapat kita ambil dan memiliki konotasi yang tidak memaksa. Di samping itu, contoh hak lainnya (atau disebut sebagai contoh yang kedua) adalah ketika kita berhasil mendirikan rumah dan telah memiliki hak atas izin yang didapat, kita juga memiliki hak untuk menjual rumah tersebut, maupun hak untuk dapat tinggal/menetap di suatu rumah dan/atau tanah tersebut.
Hak ini kerap kali menimbulkan permasalahan di kala hukum yang kadang masih banyak celahnya. Terutama di saat keadaan ekonomi di Indonesia sering mengalami kekacauan. Salah satu objek yang sering menjadi korbannya ialah properti, terutama rumah. Yang dulunya rumah merupakan benda "tersier" yang diidamkan, sekarang ketika kita ingin menjualnya kita harus menekan harga semaksimal mungkin agar tidak kehilangan client. Kondisi di mana harga rumah ditekan serendah-rendahnya dinamakan sebagai housing bubble. Maka, dengan adanya kondisi ini orang lebih memanfaatkan lelang rumah. Memang benar, harga rumah sudah murah sekarang, tetapi dengan adanya "lelang" harga rumah akan semakin ditekan habis, dan dapat dijual dengan harga lebih mahal ketika ditambahkan dengan real estate. Bahkan, justru ada yang lebih memilih untuk lelang tanah saja ketimbang harus lelang rumah. Sebab, rumah adalah properti yang paling "bapuk" di antara yang lain.
Sayangnya, sistem lelang justru memungkinkan preman berkecimpungan. Hal ini dapat melanggar hak yang dimiliki orang lain, sehingga orang yang menjadi korban dapat dirugikan karena penipu dapat memanipulasi data yang ada. Misalnya adalah memanipulasi lokasi, hingga memanipulasi sertifikat yang ada. Hal serupa juga terjadi pada salah satu warga Batam yang tertipu lelang lahan Bank BRI Tanjung Jabung Barat. Pada artikel yang dilansir pada 13 November 2024 berjudul Warga Batam Diduga Tertipu Lelang Lahan Bank BRI Tanjung Jabung Barat, Rugi Ratusan Juta Rupiah diedit oleh Nofri Affandi.
Memang benar, proses lelangnya telah sesuai prosedur Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Namun, pada saat proses pencarian lokasi, tetapi pihak Bank BRI yang hadir pada saat meninjau lokasi itu tidak dapat memberikan penjelasan secara rinci terkait lahan lelang itu hingga kasus ini bergulir di Polres Tanjung Jabung Barat. Faktanya kasus ini dapat dikatakan sebagai salah satu pelanggaran hak sebab terjadi kelalaian dalam memastikan keabsahan status tanah sebelum dilelang. Sehingga, pemilik 1 merasa bahwa seharusnya tanah tersebut merupakan hak miliknya secara utuh, tetapi sebab kesalahan dalam proses lelang, malah harus ada pihak lain (pemilik 2) yang secara tiba-tiba memegang sertifikat tersebut juga. Penyelenggara lelang seharusnya memverifikasi keabsahan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memastikan tidak ada sertifikat ganda.
Saat pihak yang menang lelang, yakni Mauliater Pane, mencoba mengakses lahan ditemukan pihak lain yang mengklaim kepemilikan tanah tersebut dengan dokumen yang sama sahnya. Hal ini jika dikaitkan dengan kondisi hukum Indonesia yang "bapuk" maka celahnya ada pada dualisme hukum pertahanan. Di Indonesia, beberapa lahan masih menggunakan dokumen lama seperti girik, petok D, atau surat keterangan tanah (SKT), yang sering dijadikan dasar untuk menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM). Jika ada pihak yang memiliki dokumen lama dan mengklaim tanah, sertifikat baru bisa diterbitkan meskipun sudah ada sertifikat lain. Selain itu, Mauliater Pane sebagai pemilik kedua atau orang yang memenangkan lelang juga dirugikan yakni hingga Rp200 juta yang ditanggung korban karena nyatanya tanah tersebut belum bisa menjadi sepenuhnya milik Pane, tetapi bank terkesan tak ingin ganti rugi. Di samping itu, pemilik pertama juga menjadi korban atas pelanggaran hak sebab tanah tersebut masih menjadi hak miliknya, tetapi terpaksa harus terlibat dengan konflik yang berakar pada kelalaian pihak bank, padahal pemilik awalnya tak-tahu-menahu mengenai hal ini.
Mirisnya, mungkin ini baru sebagian kecil, yang sangat kecil, dari keseluruhan kasus lelang yang lain. Namun, semoga di masa yang akan datang tak ada Mauliater Pane "yang lain" lagi. Sebab kelalaian administrasi dan hukum di Indonesia benar-benar memungkinkan seseorang untuk melakukan tindakan yang mengganggu hak orang lain. Terutama di kala uang mengalami inflasi, lantas disusul harga barang yang sering mengalami fluktuasi. Pun pihak bank yang biasanya didambakan sebagai pekerjaan yang "kaya raya" berdasarkan streotype keluarga Indonesia, nyatanya masih mencari kesempatan dalam kesempitan di kala mereka lalai. Demi uang Rp200 juta, mereka rela membuat Pane merasa dibengkalaikan, padahal "200" bukanlah angka yang sedikit. Di samping itu, pemilik pertama pun juga merasa terganggu karena sertifikat tanah milik Pane juga "sah" secara keabsahannya.
Maka, berdasarkan apa yang telah saya tuliskan, disimpulkan bahwa pelanggaran hak dalam kasus lelang lahan yang dialami Mauliater Pane memiliki beberapa akar penyebab utama. Pertama, kelalaian dalam memverifikasi keabsahan dokumen tanah oleh pihak penyelenggara lelang, dalam hal ini Bank BRI dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Penyelenggara tidak memastikan apakah sertifikat tanah yang dilelang sudah bebas dari sengketa atau tumpang tindih sertifikat. Kedua, dualisme hukum pertanahan di Indonesia memungkinkan dokumen lama seperti girik atau petok D tetap menjadi dasar klaim kepemilikan, meskipun sudah ada sertifikat baru. Ketiga, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum dalam proses administrasi pertanahan menciptakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan, bahkan jika hal tersebut melanggar hak orang lain.
Bagi individu (dampaknya), Mauliater Pane kehilangan uang hingga Rp200 juta dan waktu akibat konflik yang tidak seharusnya terjadi. Pemilik pertama tanah juga mengalami gangguan karena hak miliknya dipertaruhkan dalam sengketa. Bagi masyarakat, kasus seperti ini merusak kepercayaan terhadap lembaga perbankan dan sistem lelang resmi, serta menunjukkan kelemahan hukum yang dapat dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Selain itu, situasi ini menciptakan ketidakpastian dalam transaksi properti, yang pada akhirnya dapat menghambat investasi dan pembangunan ekonomi.
Melalui kasus ini, dapat menjadi pelajaran bahwa pemerintah harus sigap dalam masalah data pertanahan melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dengan sistem yang dapat mendeteksi bila sudah ada pemiliknya, jadinya keberadaan sertifikat ganda dapat diminimalkan. Setiap klaim atau perubahan data tanah harus terekam secara real-time, sehingga tumpang tindih data dapat segera terdeteksi. Langkah ini lebih efektif sebab memanfaatkan teknologi (yakni berupa sensor) untuk mengurangi kesalahan dalam proses administrasi.
Bank atau lembaga penyelenggara lelang harus diwajibkan melakukan verifikasi menyeluruh terhadap status tanah melalui BPN sebelum dilelang. Pemerintah perlu membuat regulasi yang mengatur sanksi tegas bagi lembaga yang lalai dalam proses ini. Selain itu, lembaga independen harus mengawasi pelaksanaan lelang untuk memastikan transparansi dan keadilan. Upaya ini penting untuk mengurangi risiko pelanggaran hak seperti dalam kasus Mauliater Pane.