Mohon tunggu...
Arther Efflin
Arther Efflin Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Writing about social issues. ✍️

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Norma sebagai Prosedur Hukum (Mengulas Ulang Hans Kelsen)

25 September 2024   07:05 Diperbarui: 25 September 2024   07:24 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bicara tentang hukum, perlu diketahui bahwa---nyatanya, ia merupakan objek yang diadakan bukan sebab memikat, melainkan sebab hukum adalah objek penentu atas hukuman yang akan dilandaskan. Di dalam hukum sendiri terdapat sistem norma. Yang artinya "memikat" merupakan sifat dari "hukum", bukan hukum itu sendiri. Sebab hukum adalah hal yang dinamis, artinya hukum dapat terkredisasi saat dibenarkan oleh norma itu sendiri. Norma adalah suatu tatanan yang memediasi hukum. Artinya, norma adalah penentu akhir di saat suatu hukum terjadi ketidakbenaran. Maksud saya, suatu hukum dapat diuji kebenarannya melalui norma itu sendiri. Ini merupakan titik awal proses pembuatan hukum dan secara keseluruhan memiliki karakter dinamis. Suatu sistem hukum adalah valid sebab prosedurnya. Yang perlu kita ketahui sekarang, suatu norma hukum dibuat dengan cara yang berbeda. Norma umum akan dibuat melalui kebiasaan atau legislasi, norma individual melalui tindakan yudisial dan administratif atau transaksi hukum.

Norma umum hanya terikat untuk hal yang bersifat keduniaan yang akan mengatur sekelompok orang, bersifat sebagai kontrol sosial, tetapi akan selalu memberi ruang agar individu melalukan introspeksi atas tindakan masa lampau yang ia lakukan. Jelas berbeda dengan norma individual yang mengajudikasikan individu satu dengan yang lainnya. Terdapat suatu ruang yang membelenggukan bahwa suatu hukum dibuat atas dasar yang ingin melancarkan adu-mengadu di ruang sidang, atau kehidupan. Misalnya seorang hakim yang memproses apakah suatu hukuman yang dijatuhkan adalah rasional atau irasional. Yang kemudian, terdapat tendensi untuk membuktikan suatu hal adalah fakta atau tidaknya. Suatu hal adalah rasional ketika menyangkut alasan di balik individu melakukan tindakan dan/atau kejahatan (reasoning). Tindakan kriminal adalah yang raisonal. Namun akan menjadi tidak rasional ketika pelakunya menghindar dari hukum yang ditetapkan. Sebab suatu hal akan menjadi irasional ketika menyangkut "pribadi" manusia. Sifat dari "menolak objek yang ditetapkan" terkait nafsu manusia. Rasa nafsu dan rasa suka akan mengontrol individu agar menghindar dari ketetapan yang berlaku. Sebaliknya, berdasarkan yang ditetapkan bahwa kejahatan hanya membutuhkan alasan. Berarti kejahatan dapat dikatakan sebagai sesuatu yang rasional. Semua yang rasional bukan berarti "semua" yang baik. Tugas norma di sini adalah memberikan verifikasi bahwa suatu hal adalah "yang melanggar" dan "bagaimana seharusnya" (ought), sementara hukum adalah objek yang memberikan bentuk "hukuman" atau "sanksi". Sebetulnya, hukum tidak selamanya adalah "hukuman", sebab: hukum juga dapat---hanya---sebagai bentuk kontrol dan sugesti kepada individu lain agar tidak melakukan apa yang dilakukan oleh individu sebelumnya (yang adalah pelanggaran). Hukum bukanlah selamanya adalah sanksi, sebab: dalam hukum terdapat mekanisme untuk menilai adalah benar atau salah; hukum merupakan objek pembanding atas kompromi yang telah ada, sehingga menyempurnakan tindakan yang kurang dan memberi justifikasi kepada hal yang seharusnya dibenarkan.

Hingga sekarang pun hukum sendiri masih memiliki definisi yang berbeda-beda serta belum mendapatkan pengistilaan yang stabil dari para ahli. Validitas norma hukum mungkin terbatas waktunya, dan adalah penting untuk memperhatikan bahwa akhir sebagaimana awal validitas ini ditentukan hanya oleh tata aturan di mana norma tersebut ada. Alasan ini lumayan masuk akal bila dikatakan suatu hukuman mungkin berlaku terhadap kasus pencurian, dan tidak berlaku pada kasus perampokan. Hanya sebab dalam pencurian, pelakunya adalah kaum fakir miskin, dan dalam kasus perampokan pelakunya adalah tergabung dalam organisasi rampok tertentu. Artinya, suatu sistem norma akan memproses hal yang berbeda dalam kasus pertama dan kedua. Ada alasan yang melandasi dalam kasus pertama, yaitu ingin memenuhi hidup. Baik materialnya ataupun secara kepuasannya sendiri. Dalam kriminal yang pertama, ada aksi untuk mempertahankan hidupnya menjadi lebih layak. Merupakan sebab akibat; hidup juga tentang "bertahan", individu cenderung mempertahankan dengan apa yang "bisa" dilakukan dan bukan "seharusnya" dilakukan. Mirip dalam teori das sollen dan das sein. Pada das sollen mungkin mengatakan apa yang seharusnya; "ia tidak boleh mencuri sebab melanggar hukum", tetapi secara das sein akan menuntut apa yang sebenarnya teejadi; "ia melakukannya demi keberlangsungan hidup". Suatu norma harus menempatkan dirinya dalam kasus yang tepat agar dapat dikatakan sebagai hal yang kredibel. Lantas, keadilan merupakan produk akhir dari norma yang berhasil mengkredibelisasi suatu hukum, "terlaksana". 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun