Mohon tunggu...
auioe
auioe Mohon Tunggu... -

aiiiii

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kami Memanggilnya Prof. Djeki

3 Juni 2013   14:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:36 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prof. Dr. Sri Redjeki, S.H.kami biasa memanggil beliau Prof. Djeki.  Aku pertama kali mendengar nama beliau ketika masuk menjadi salah satu mahasiswaMagister Ilmu Hukum (MIH)Universitas Diponegoro Semarangdankisah inspiratif ini pun dimulai. Siapa yang tidak mengenal Prof. Djeki? Bila kau menuntut ilmu di UNDIP pastilah kau mengenal beliau kawan, kesan pertama yang kau tangkap adalah ketegangan! Aku pertama kali melihat namanya di jadwal kuliah, beliau mengajar tiga mata kuliah sekaligus! Aku bertanya dalam hati sehebat apa Prof. Djeki ini? Sampai mata kuliah kunci jurusan Hukum Ekonomi dan Teknologi (HET) semua dipegang oleh beliau? Isu yang pertama kali dibahas di kelas ku adalah Prof. Djeki, beliau sungguh populer! Beliau terkenal di seantero UNDIP sebagai dosenkiller, dosen pakar hukum ekonomi dan perusahaan paling ahli, senior dan galak!Bahkan sangking terkenalnya beliau, di depan ruang kelas kami tergantung papan nama bertuliskan, “ruangan kuliah Prof. Djeki” hebat bukan?Prof. Djeki adalah momok bagi semua anak HET, anak-anak UNDIP yang lebih dulu mengenal beliaumenjuluki beliau sebagai “Empunya Perdata” (Sang Maha Guru) danmemilih untuk waspada terhadap dosenseniormereka ini. Baiklah,segalak-galaknya dosen jawa pasti lebih galak dosen Sumatra, celetuk ku dalam hati.

Perkuliahan pun dimulai, pertama kali aku melihat beliau aku langsung teringat nenekku. Prof. Djeki, dosensenior-konvensionalberumur 60 tahunanyang mengajar menggunakan papan tulis, tidak mengenal teknologi, tegas, selalusiapbertanyadan mendebat mahasiswanya sertahafal semua bahan kuliahnya di luar kepala! Kuliah dengan Prof. Djeki berarti kita harus siap seperti tentara, sikap duduk sempurna, fokus mendengarkan, mencatat dan menanggapi pertanyaan beliau dan harus siap bertanya kalau tidak mau kena semprot! Beliau menganggap kami semua ini calon master hukum yang harus siap menghadapi kerasnya dunia dan menjadi generasi muda penerus bangsa yang dapat diandalkan. Puitis sekali kedengarannya, tapi aku yakin ini juga doa setiap orangtua. Aku selalu duduk di barisan depan, bukan karena aku inginpedekatedengan beliau tapi karena sudah kebiasaan waktu kuliah S1 dulu. Aku masih ingat pola mengajar beliau, beliau tiba tepat waktu, mengucapkan selamat pagi, lalu mulai berceramah memberikan mata kuliah lalu kami sibuk mencatat, mendengarkan dan bila sudah bosan beliau akan bertanya atau menyuruh kami bertanya, biasanya aku, mas budi, jafar yang memberikan umpan dan teman-teman yang akan menanggapi atau hanya diskusi kecil antara kami bertiga dan Prof. Djeki, pokoknya harus ada yang bertanya kalau tidak mau melihat beliau marah. Bertanya pun kami harus hati-hati jangan sampai ngelantur, kalau tidak beliau pasti akan balik bertanya. Lama-kelamaan kami mulai terbiasa dengan metode kuliah disiplin-partisipatif model Prof. Djeki, satu semester kami lewati dengan hasil yang cukup baik dengan menyelesaikan deadline makalah-makalah dan ujian lisan khusus untuk mata kuliah beliau.

Semester duapun tiba, kamiberjumpa kembalidengan Prof. Djeki, kami akan lebih mengenal sisi lain beliau. Pepatah mengatakan tak kenal, maka tak sayang itu benar adanya. Diam-diam aku mulai mengagumi Prof Djeki, aku kagum dengan filosofi hidup beliauyang membumi. Prof. Djeki selalu menyelipkan pesan-pesan moraldi ceramah kuliahnya, dibalik sifat tegas aristokratjawanya,beliau sebenarnya hanya ingin kami menjadi manusia yang mandiri dan bermanfaat untuk orang lain. Prof. Djeki itu menganggap kamisekumpulananak muda yang minim pengalaman, sok hebat, terlalu ambisius tapi cerobohini harus banyak diberi pelajaran tentang moral, kehidupan dan etika, beliau ingin kami belajar bahwa hidup tidak mudah!

Kalian masih ingat bencana meletusnya gunung merapi di Yogyakarta tahun lalu bukan? Peristiwa duka inilah yang mendekatkan kami pada Prof. Djeki, beliau berinisiatif memberikan bantuan pada korban merapi secara langsung. Beliau menyampaikan rencana ini pada saat kuliah, kami awalnya enggan. Kami kaum anak muda ini memang sedikit tak tahu diri, kami ikut berduka tapi kami malas disuruh terlibat aktif  pada kegiatan sosial seperti ini, tugas kuliah sudah cukup menyita waktu kami. Apa boleh buat perintah Prof. Djeki bagi kami tugas mulia, titah sang ratu. Maka, kami semua mahasiswa pasca sarjana jurusan HET UNDIP mengumpulkan dana, mengedarkan kotak sumbangan ke seluruh MIH, lalu kami mengantarkan sembako hasil sumbangan itu ke rumah baca (perpustakaan) milik beliau. Kami sekelas sebelumnya bersepakat mengantarkannya langsung agar bisa “setor muka” pada beliau. Aku kagum melihat perpustakaan dua lantai beliau yang lumayan besar, koleksi buku-buku yang rapi, lukisan di dinding, koleksi kain-kain tradisional pribadi yang beliau dapatkan sebagai cindera mata ketika mengajar atau menjadi pembicara di luar kota. Perpustakaan beliau ini lebih besar dari rumah beliau yang berada tidak jauh dari perpustakaan, rumah beliau menurutku cukup sederhana untuk ukuran seorang profesor senior. Aku baru tahu di kemudian hari bila beliau mengelola perpustakaan ini secara pribadi, membayar gaji petugas perpustakaan dari uang pribadi beliau sendiri (walau tidak besar) dan sebagian besar buku-buku juga adalah koleksi pribadi beliau sebagian lagi sumbangan. Pada waktu itu, beliau sangat senang menerima kunjungan kami ke perpustakaannya, walaupun beliau tetapcoolseperti biasanya, tapi wajah beliau terlihat sumringah. Beliau menerima kunjungan kami, gerombolan mahasiswa tak tahu diri yang hanya ingin mendapat nilai A dari beliau dengan ramah, beliau menawarkan kami minuman dan kue kering yang tersedia untuk pengunjung perpustakaan. Kami menikmati waktu bersama beliau dengan lebih santai, tanpa pertanyaan, tanpa makalah dan tanpa ujian lisan. Pada saat kami hendak pamit, beliau melarang karena beliau sudah memesan gado-gado khusus untuk kami. Maka sebelum pulang, kami menghabiskan jatah gado-gado gratis kami dengan lahap, kami bahagia karena mendapatkan kesempatan langka melihat sisi beliau yang baik hati dan ramah di luar jam kuliah. Aku ingat bagaimana semangat beliau mendiskusikan rencana sosial kami ini setelah kuliah, berapa jumlah dana yang terkumpul, kapan kami akan berangkat dan hal-hal penting lainnya.

Singkat cerita, seminggu kemudian kami terpaksa ikut mengantarkan paket sumbangan, melihat jumlah paket sembako yang cukup banyak, pasti beliau sudah mengumpulkan dana dalam jumlah yang banyak hasil uang pribadi dan sumbangan koneksi beliau, karena paket sembako sumbangan kami itu sangat sedikit. Kami pun berangkat, aku tidak tahu pasti kami akan ke mana, aku hanya tahu kami hanya mengikuti mobil rombongan yang ada di depan. Kami mampir ke rumah makan milik pelawak senior Yati Pesek untuk makan siang, lagi-lagi Prof. Djeki yang membayar semuanya. Pada saat kami bersiap hendak pamit, munculah sang bintang Ibu yati pesek. Dasar kami memang mahasiswa yang sering lupa diri, sempat-sempatnya kami heboh berfoto dengan ibu Yati Pesek. Entah apa yang ada dalam pikiran Prof. Djeki, tapi beliau kelihatan menikmati sesi foto bersama ini.

Lalu kami melanjutkan perjalanan ke sebuah desa entah apa namanya, entah di mana letaknya aku tak tahu pasti yang aku tahu kami melewati jalan raya dari Semarang menuju Yogya, lalu berbelok ke jalanan desa yang berkelok turun naik sepertirool coaster. Aku terlalu lelah mengingat detail perjalan kami, aku hanya melihat kenyataan bahwa desa itu diselimuti abu merapi, aku terharu dengan pemandangan yang ada di hadapanku. Aku tidak menyangka bahwa aku melihat sendiri akibat dari letusan gunung merapi, aku melihat rumah-rumah yang masih tertutup abu, padahal kami datang beberapa minggu setelah bencana itu. Kami mendapat banyak pelajaran dari perjalanan panjang ini, terutama pelajaran tentang keikhlasan dan perjuangan menjalani hidup. Apapun yang terjadi, kehidupan harus tetap berjalan, itu juga yang Prof. Djeki sampaikan kepada warga desa, beliau memberikan semangat dengan menggunakan bahasa jawa halus yang sebagian besar tidak ku mengerti. Aku hanya mengerti bahwa sesudah ini kami harus lebih sering bersyukur, aku dan teman-temanku punya kehidupan yang jauh lebih baik, kami termasuk golongan kaum yang beruntung yang bisa mencicipi pendidikan pasca sarjana di negeri ini. Melalui perjalanan panjang ini Prof. Djeki mengajarkan arti penting rasa kemanusiaan, betapa sedikit rasa kepedulian kami sangat berarti bagi orang lain. Banyak pelajaran yang telah diajarkan Prof. Djeki pada kami, calon-calon Master Hukum yang sok hebat dan pemalas bahwa sedikit kepedulian kepada lingkungan sekitar membawa dampak positif  bagi masyarakat. Prof. Djeki mengajarkan bahwa gelar dan umur tidak menghalangi seseorang untuk membantu orang lain, Prof. Djeki mengajarkan pada kami bahwa kepedulian kita terhadap sesama membawa dampak positif  bagi diri sendiri berupa ketenangan jiwa. Waktu pun berlalu demikian cepatnya, kami sudah melewati ujian semester dua, termasuk ujian lisan, makalah-makalah untuk syarat lulus mata kuliah beliau.

Kami sadar bahwa kami akan merindukan UNDIP, terutama Prof. Djeki. Aku teringat sesi mengobrol sarapan pagi bersama teman-teman, di sela suapan nasi uduk, kami tanpa sadar berdiskusi ilmiah tentang Prof. Djeki, kami bernostalgia mengenang waktu kuliah yang menegangkan bersama beliau. Kami mengingat bagaimana tatapan tajam matanya ketika menatap kami, bagaimana ekspresi wajah beliau ketika marah, berkomentar, bertanya dan wejangan beliau. Kami sepakat bahwa dengan sikap galaknya  Prof. Djeki ingin mengajarkan kami mandiri, berjuang dan menyadari bahwa hidup ini keras, Prof. Djeki sering bercerita tentang perjuangannya untuk mendapatkan pendidikan, meraih cita-cita yang tidak ada apa-apanya dengan kerja keras kami sekarang, kami tinggal menikmati kemerdekaan dan hidup enak tidak seperti perjuangan generasi beliau dulu. Sikap galaknya Prof. Djeki tidak ada apa-apanya bila dibandingkan kerasnya dunia yang akan kami hadapi, memang benar realita di dunia kerja jauh lebih keras bila dibandingkan nasehat Prof. Djeki. Hal lain yang aku pelajari dan kagumi dari beliau adalah bagaimana komitmen dan dedikasi beliau sebagai akademisi, beliau jarang sekali terlambat dan Prof. Djeki selalu berusaha membuktikan perkataannya harus sesuai dengan perbuatannya. Belum apa-apa kami sudah rindu dengan beliau, aku ingat bagaimana beliau menceramahi ku tentang kehidupan setelah aku menyelesaikan ujian tesis dengan beliau. ceramah beliau ini mengingatkan ku kembali tentang obrolan sore antara aku, riza dan Prof. Djeki ketika aku dan riza berkunjung ke rumah beliau untuk urusan kuliah, beliau bersikap seperti nenek pada umumnya, aku dan riza diceramahi panjang lebar, disuguhi kue dan menemani beliau bermain dengan cucunya.

Aku menyadari satu hal bahwa sikap galak beliau hanya berlaku di ruang kuliah, di luar lingkungan Universitas Diponegoro beliau menjadi pribadi yang berbeda. Kami semua berhasil melewati ujian dari Prof. Djeki selama kuliah, tapi ujian itu hanya sebagian kecil, ujian kehidupan pasti sudah menunggu kami. Aku berharap bisa bertemu beliau saat aku mengantarkan hasil perbaikan tesis ke perpustakaannya, tapi ternyata beliau tidak ada. Aku hanya bisa mengingat setiap wejangan beliau, beliau selalu berpesan agar kami tidak sombong dan selalu ingat Tuhan, beliau berharap bahwa kami bisa menjadi manusia yang berguna bagi orang lain. Aku menyesal belum sempat menyumbangkan buku ke perpustakaan beliau, tapi suatu saat aku akan kembali berkunjung ke sana mengingat bagaimana perjuangan seorang penuntut ilmu, dosen, ibu dan nenek yang memberi contoh bahwa kepedulian kita bisa merubah keadaan menjadi lebih baik dan hal itu bisa dimulai dari diri sendiri seperti yang beliau lakukan selama ini.

Aku sedang merintis jalan sebagai seorang great jurist, akademisi yang baik dan berdedikasi dan CSR spesialist, aku belum secerdas dan segalak beliau tentunya. Ini hanya masalah proses, komitmen, tanggung jawabku sebagai seorang akademisi. Aku ingin berdedikasi pada profesiku, aku juga ingin menjadi Profesor yang hebat dan membumi seperti beliau. Aku mengerti ini butuh waktu, aku masih 23 tahun. Aku masih belajar mengajar dengan menjadi dosen luar biasa yang mengajar dari satu universitas ke universitas lain di kota ku, perjalananku untuk meraih gelar profesor memang tidak mudah, tapi aku pasti bisa! Aku gadis muda yang masih bau kencur bermimpi menjadi guru besar seperti Prof. Djeki, aku ingin beliau bangga pada kami para mahasiswanya yang selalu bikin ulah bisa menjadi penerus bangsa yang beliau harapkan! Semoga Tuhan meridhai dan memudahkan cita-cita besar ini, aku berdoa semoga Prof. Djeki selalu diingat kebaikannya sebagaimana kami tidak pernah lupa sifat galak beliau, semoga kami bisa tumbuh menjadi seperti Prof. Djeki  yang selalu bersemangat untuk berbuat kebaikan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun