Siang itu (Jumat, 12/10) udara di Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Gunung Kidul, D.I Yogyakarta terik. Pendeta Christiono Riyadi sebagai gembala sidang Gereja Kristen Jawa (GKJ) Kemadang memperlihatkan sebuah gudang berukuran panjang 4 meter dan lebar 3 meter serta tinggi 3 meter. Tidak terlalu luas. Namun gudang itu cukup untuk menyimpan gabah dan beras dari petani.
"Inilah salah satu gudang kami. Gudang di samping gereja yang menjadi pusat penampungan dari 3 gudang yang dimiliki lumbung pangan Desa Kemadang. Dua gudang lainnya ada di wilayah sini juga tak jauh dari gereja ini," kata Pdt.Christiono.Â
Lumbung pangan Desa Kemadang, menurut Pdt.Christiono diawali sejak tahun 2006 lewat kesepakatan jemaat yang profesinya kebanyakan sebagai petani, nelayan dan pedagang.
"Pada waktu itu kami mengadakan semacam sarasehan soal pertanian. Dan muncullah ide untuk membantu warga desa dengan membuat lumbung pangan ini. Prinsipnya warga jemaat yang kebanyakan berprofesi sebagai petani ingin hasil panen padi tadah hujan mereka dapat membantu, tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan mereka sepanjang tahun tapi juga membantu saat musim kering serta proses penanaman Kembali berlangsung," katanya.
Dari sarasehan itulah kemudian pelan-pelan terwujud. "Paling tidak lumbung itu menyimpan hasil panen petani sehingga tidak mengalami paceklik saat cuaca ekstrem seperti ini," ujar Pdt.Christiono yang ditahbiskan menjadi Pendeta tahun 2005.
Lebih jauh Pdt.Christiono bercerita bahwa lumbung pngan yang digagas berasal dari perayaan unduh-unduh.
"Unduh-unduh atau hari panen dilakukan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas hasil panen setiap tahunnya dan tradisi ini terus dilakukan hingga sekarang. Maka, hasil unduh-unduh itulah yang dikumpulkan di lumbung pangan dan digunakan untuk jemaat juga. Karena musim tidak menanam itu antara bulan Juli sampai Oktober. Nah, di sini sering muncul problem. Karena saat panen harga gabah itu rendah dan saat tidak musim tanam, harga gabah tinggi. Maka muncul gagasan, andai gereja bisa membeli hasil panen itu dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar lokal sehingga petani bisa memperoleh kesejahteraan dari hasil jual gabahnya. Ini yang kita kelola, ketika petani membawa hasil panennya dan menjualnya ke lumbung pangan. Pada perkembangannya tidak hanya diperuntukan bagi jemaat tapi juga masyarakat sekitar."
Lumbung pangan yang dibentuk itu bernama Lumbung Pangan Artha Mandiri dikembangkan di 3 desa, yaitu Desa Kemadang, Desa Planjan dan Desa Banjarejo.
"Anggotanya dari ketiga desa itu sudah 90 an orang. Ide dari jemaat itulah kemudian diwujudkan menjadi Lumbung Pangan Artha Mandiri sejak 2021 lalu, yang anggotanya bukan hanya warga jemaat gereja tetapi lintas agama. Dari testimoni anggota lumbung pangan yang masyarakat umum lintas agama, mereka itu merasakan bahwa kehadiran gereja memberikan perhatian buat semua, nda hanya mikir dirinya tapi juga bagi yang lain," ujar Pdt.Christiono.
Â