Mohon tunggu...
Arta Yenta Harefa
Arta Yenta Harefa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Akuntansi/Universitas Mercu Buana/ NIM (43223010204)

Mahasiswa Sarjana S1-Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo Daito, S.E, Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kuis 3 - Ranggawarsita Tiga Era, Kalasuba, Katatidha, Kalabendhu, dan Fenomena Korupsi di Indonesia

30 Oktober 2024   23:27 Diperbarui: 31 Oktober 2024   07:13 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ranggawarsita Tiga Era, Kalasuba, Katatidha,Kalaendhu, dan Fenomena Korupsi

 

Dokpri, Prof. Apollo UMB
Dokpri, Prof. Apollo UMB

Nama asli Raden Ngabehi Ranggawarsita adalah Bagus Burhan. Ia lahir pada 14 Maret 1802 dan menghembuskan nafas terakhir pada 24 Desember 1873. Beliau merupakan Pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia juga dianggap sebagai pujangga besar terakhir di tanah Jawa. Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burhan diasuh oleh Ki Tanujaya, abdi dari ayahnya.

Sewaktu muda Burhan terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. 

Setelah Bagus Burham berumur 38 tahun, ia mulai produktif dengan karya sastranya. Dan pada tahun 1844 pihak keraton mengangkat menjadi Kliwon Carik dan disyahkan menjadi Pujangga Keraton. Ia dinamai dengan Raden Ngabehi Ronggowarsito dan semakin terkenal. Kariernya tidak licin sebab agaknya juga dipengaruhi bahwa orang tuanya (Raden Tumenggung Sastronegoro) dianggap bersalah kepada kompeni Belanda sebab pernah merencanakan akan menggempur benteng Kompeni diwaku jaman pemberontakan Diponegoro (1825-1830). Akhirnya R.T. Sastronegoro disiksa  dan dibuang ke laut.

Tidak ada pujangga yang mampu menyamai dirinya.Itulah mengapa ia dikenal sebagai pujangga pamungkas di tanah Jawa. Melalui karya-karyanya kita menjadi tahu, tentang pelajaran kehidupan. Di kalangan masyarakat, Ronggo Warsito bukan hanya dikenal sebagai pujangga, tetapi juga sebagai peramal masa depan. Hal ini dikarenakan melalui beberapa karyanya, banyak ramalan sang pujangga tidak meleset alias tepat. 

Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Ranggawarsita dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Makamnya pernah dikunjungi dua presiden Indonesia, yaitu Soekarno dan Gus Dur pada masa mereka menjabat.

Berbagai macam karya Ranggawarsita antara lain dongeng, lakon wayang, babad salasilah, sastra, kesusilaan, kebatinan, ilmu kasampurnan, filsafat Jawa, primbon, hingga ramalan. Beberapa karya Ranggawarsita yang terkenal, yaitu Serat Hidayat Jati, Serat Ajidarma Tuwin, Serat Ajinirmala, Serat Suluk Sukmalelana, Serat Jaka Lodhang, Serat Jayengbaya, Serat Pawarsakan, Serat Kalatidha, dan Serat Witaradya.

Apa yang Dimaksud dengan Era Kalasuba, Era Kalatidha, dan Era Kalabendhu Menurut Ranggawarsita?

Dokpri, Prof. Apollo UMB
Dokpri, Prof. Apollo UMB
Dokpri, Pro. Apollo UMB
Dokpri, Pro. Apollo UMB
Dokpri, Prof. Apollo UMB
Dokpri, Prof. Apollo UMB
Era Kalasuba

Era atau zaman Kalasuba dalam pemikiran Ranggawarsita merujuk pada zaman yang sering disebut sebagai zaman kegelapan, kerusuhan, atau masa yang penuh ketidakpastian dan kemerosotan moral. Ranggawarsita, seorang pujangga besar asal Surakarta pada masa Keraton Kasunanan Surakarta, menuliskan konsep Kalasuba ini dalam berbagai karyanya sebagai bagian dari refleksi sosial dan budaya di tanah Jawa pada masa transisi dari zaman kerajaan tradisional menuju pengaruh kolonialisme yang semakin kuat.

Dalam konteks Jawa, Ranggawarsita menjelaskan Kalasuba sebagai masa peralihan yang membawa kebingungan, di mana nilai-nilai lama mulai ditinggalkan, namun nilai-nilai baru belum benar-benar merambah masyarakat. Penulisannya sangat kritis terhadap berbagai perubahan sosial, politik, dan budaya yang menurutnya membawa masyarakat Jawa ke arah keterasingan dan kehilangan identitas diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun