Mohon tunggu...
Arta Uly Siahaan
Arta Uly Siahaan Mohon Tunggu... lainnya -

belajar menulis. Biru. Malang. Siantar

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Tidak Cukup Dua Ribu"

29 Mei 2013   20:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:50 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sudah lupa tanggal berapa kejadian ini. Tapi terekam sempurna di short memory-ku. Mudah ku bongkar. Sore itu hujan, tidak terlalu deras, tapi cukup membuat adem kota kecil ini, jujur saja kota ini akhir-akhir ini semakin menarik hatiku untuk tinggal lebih lama. Aku mendapat telepon dari abangku (panggilan saudara laki-laki bagi orang batak) untuk membayar tagihan yang hampir sudah deadline. Dengan cepat aku menuju bank yang dimaksud, naik angkot ditengah hujan kala itu. Langsung ke teller karena pembayaran tidak bisa dilakukan lewat atm. Urusan selesai dan dengan payung pink itu aku berjalan menuju halte angkot untuk pulang. Jujur sebelum pulang ingin makan karena perut sudah kelaparan, si maag sudah memberontak sejak beberapa jam lalu. Aku melayangkan pandangan disekitar jalanan, tidak ada kutemui warung makan atau apalah yang membuat mataku tertarik untuk singgah. Aku putuskan membeli makan di dekat kosan saja dan dengan berjalan cepat aku langsung naik ke angkot. Masih ada aku dan seorang wanita di depan ku. Ku amati wajahnya, rasanya dia terpelajar, dengan ransel yang besar di pangkuannya, 10 menit menanti rasanya ingin menyapanya, namun raut wajahnya ku perhatikan seperti sangat serius. Ku urungkan niat ku karena takut mengganggu. Masih rintik diluar, sudah jadi tradisi disini bahwa angkot ini akan berjalan jika penumpangnya sudah penuh. Hampir 20 menit, aku mulai bosan, menunggu itu tidak menyenangkan, sangat tidak menyenangkan dan itu yang kurasakan saat itu. Aku mencoba mengeluarkan buku dari tas dan mencoba berkonsentrasi membacanya. Berusaha konsentrasi, lumayan juga buat bahan presentasi minggu depan pikir ku. 10 menit membaca, 30 menit menunggu, ia aku semakin bosan, ingin rasanya aku keluar, namun jelas saja hujan diluar mengurungkan niat ku, lagian mau naik angkot apalagi selain ini? Baru beberapa bulan di kota ini, aku tidak mau ambil resiko macam-macam. satu persatu ada yang masuk, wajar saja mungkin karena memang sedang hujan jadi orang pada malas keluar. Hampir 40 menit masi ada beberapa kursi kosong yang tersisa, ku simpan saja bukuku toh rasanya tidak ada yang nempel di kepalaku walau sudah kucoba untuk fokus namun sia-sia sudah. Hatiku dan pikiranku terlalu sibuk untuk bicara, aku sendiri malah bingung mengapa sepertinya terlalu banyak dikepala ini, semacam berisik dan itu momen yang tidak aku sukai. Berikutnya ada adegan yang memaksaku mengapa harus menuliskan tulisan ini. Adegan sebelum angkot ini maju dan mencuri hati kecil ku, seorang anak kecil masuk ke dalam angkot, mungkin msi 5 tahun atau 4 tahun (dalam perkiraanku) mungkin dia belum sekolah, sangat imut, ganteng lagi, aku benar-benar jadi teringat ponakanku Javanson atau Steven, lucunya seperti mereka. Dia bernyanyi, mengamen tepatnya. Bernyanyi sangat semangat, lagunya aku lupa, namun seingatku lagu anak-anak begitu. Tak dipungkiri aku harus menatapnya, kulihat matanya yang masih sangat polos, matanya, bagian yang paling aku perhatikan pada waktu bicara dengan siapapun, bagian yang paling aku sukai jika bermain dengan anak-anak. Mata itu polos, bening, bersih, senang, namun itu melukai hatiku. Masih saja aku terpaku menatapnya, menit berikutnya, aku melihat seorang ibu di pintu angkot itu (aku menyimpulkan itu pasti ibunya) menggendong anak yang masih bayi. Sementara memandang sang ibu, aku masi terus saja mendengarkan si bocah ini menyanyi girang, aku geram, hatiku mengerang. Uang Rp.2000 aku ambil dari saku tas ku dan kumasukkan ke bekas gelas plastik air kemasan yang sengaja di sodorkan si bocah ini kepada penumpang di angkot. Adegan itu selesai, si ibu kemudian menggendong si bocah keluar dan ucapan terimakasih dalam bahasa jawa terdengar lantang dari mulut bocah kecil pengamen itu. Lalu mereka pergi. Aku melayangkan tatapanku kea rah perginya mereka, si ibu itu rasanya masih muda, belum terlalu tua. Aku pikir dia kuat bekerja. Ah, rasanya hidup ini sungguh tidak adil, kenapa anak sekecil itu “dimanfaatkan”? dia masih terlalu kecil untuk beban itu, gitar kecil itu seharusnya bukan miliknya. Dia belum memahami gelas bekas air mineral itu, dimana orang seperti terhipnotis untuk memberi uang kepadanya. Menatap matanya saja ingin menangis. Aku tidak tau, pikiranku, hatiku dipenuhi kegeraman. Bukan di angkot atau bahkan dijalanan tempat anak 4 tahun itu, namun setidaknya bermain, bermain ceria bersama teman-temannya, bukan jadi alat oleh orang tuanya, mencari uang, uang demi sesuap nasi dan hari esok! Mereka belum memahami itu. Ahhh..lagi-lagi aku terdiam..tidak cukup dua ribu itu, tidak cukup ratusan aksara ini saja, tidak cukup prihatin ku saja, tidak cukup doaku saja, tidak cukup geram ku saja, atau bahkan air mata, anak itu butuh tangan yang terlurur, seperti bangsa ini yang membutuhkan tindakan, mereka masa depan bangsa ini. anak itu mungkin hanya satu dari ratusan ribu anak yang tertangkap oleh mataku, diluar sana pasti lebih banyak lagi, orang tua itu merampas hak mereka, hak masa kanak-kanak, dan dilibatkan memikirkan hidup yang keras. Ia, benar hidup ini memang keras, dan anak 4 tahun itu dilibatkan menghadapi hidup yang keras, dengan cara keras. Aku harus turun dari angkot, kuhentikan pikiran tentang itu, berjalan menelusuri jalan ke kos, melanjutkan hidup, tugas dan lembur… …….:-(

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun