Artaria Nuraini No41
Kami duduk berhadapan. Kulitnya makin tak elastis, setiap aku merabanya terasa bergelambir. Di balik kacamatanya, ayahku melirik raksa dalam tabung tensimeter yang berdegup-degup.Â
"Berapa?"
"120/85. Terakhir periksa di manokwari berapa?"
"150"
"Apa yang papa rasakan sekarang?Apakah papa lebih santai selama di Jogja?"
Ayahku mengangguk,"Tapi tidak lagi setelah masuk kantor nanti".
"Papa punya hobi?" Ayahku tak menjawab.Tanpa bertanya pun aku sudah tahu jawabannya. Ia gemar berternak.Â
Aku masih ingat sekali saat papa masih lebih muda dan kami masih mempunyai peternakan ayam petelur. Cita-citanya untuk punya mobil, rumah, bergantung pada ayam-ayamnya yang lebih sering dikunjungi daripada mahasiswanya di kampus.
Ayahku Lebih idealis dan bersemangat waktu itu, sebelum surat kaleng mampir di rumah kami. Isinya memintanya berhenti. Wajar saja orang-orang khawatir luar biasa. Virus flu burung lagi tenar. Itu baru awalnya, karena kemudian berrak-rak telur menumpuk di seantero rumah, kecuali kamar mandi. Dan perlahan, peternakan ayahku benar-benar tutup.Â
Ketika divonis hipertensi pun aku yakin ia masih ingin beternak. Namun kondisi Saat ini tak lagi sama untuknya memelihara ayam. Tanpa minat, musuhnya kali ini adalah stress. Maka beberapa kali aku memintanya lebih rileks. Aku tahu ia gemar dan ingin beternak, dan ketika aku bertanya hobinya apa, aku  ingin ia menjawab membaca atau main gaplek saja.Â