Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "karakter" memiliki arti tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, dan akhlak yang membedakan seseorang dengan yang lain. Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak.
Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona. Menurutnya, karakter adalah "A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way". Selanjutnya Lickona menambahkan, "Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior". Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan (moral khowing), lalu menimbulkan komitmen terhadap kebaikan (moral feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behaviour). Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).
Untuk mewujudkan makna karakter seperti pengertian di atas, muncullah konsep pendidikan karakter. Pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) . (Lickona, 1991: 51).
Dari kedua pengertian di atas, dapat dipahami bahwa karakter merupakan suatu sifat alamiah dalam diri tiap individu yang akan menentukan cara berpikir dan berperilaku untuk diimplementasikan dalam segala aspek kehidupan. Karakter sangat identik dengan kepribadian. Untuk membentuk kepribadian yang bermoral, diperlukan penanaman pendidikan karakter sehingga terciptalah sikap dan perilaku individu yang sesuai dengan kaidah nilai dan norma dalam kehidupan.
Mengawali Langkah dengan Pembentukan Karakter (Character Building)
Sebagai penerus perjuangan bangsa, generasi muda masa kini atau yang disebut dengan generasi millenials harus memiliki karakter yang berbudi luhur. Langkah awal yang harus dilakukan adalah pemberian sosialisasi mengenai pembentukan karakter atau dikenal dengan istilah character building.
Pembentukan karakter harus dilakukan sedini mungkin. Agen sosialisasi yang pertama dan yang wajib memberikan pemahaman ini tentulah keluarga. Orang tua mempunyai peran sangat vital bagi pembentukan karakter anak agar menjadi generasi muda yang berakhlak mulia dan berbudi luhur. Orang tua harus berpretensi untuk membimbing anak agar memiliki nilai-nilai karakter mulia seperti sikap jujur, hormat dan peduli pada orang lain, tanggung jawab, memiliki integritas, dan disiplin.
Tak hanya peran keluarga, pembentukan karakter juga diperoleh dari agen-agen sosialisasi lainnya, seperti sekolah, lingkungan masyarakat, media, pemerintahan, dan berbagai pihak yang mempengaruhi generasi muda. Sebagaimana perkataan Helen G. Dauglas yang dikutip oleh Muchlas Samani dan Hariyanto (2013), menyatakan bahwasannya karakter tidak diwariskan, tetapi sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakan (p. 41)
Â
Penerapan Pendidikan Karakter dalam Kehidupan Sehari-hari
Pendidikan karakter harus dijadikan sebagai suatu kebiasaan. Maka pembentukan karakter seseorang memerlukan proses pembelajaran, pelatihan, dan pembiasaan yang terus-menerus dalam jangka panjang. Generasi millenials Indonesia yang terbentuk melalui pendidikan karakter yang berkelanjutan mulai dari TK sampai ke perguruan tinggi harus  mampu mewujudkan nilai-nilai karakter yang terkandung dalam prinsip empat olah. Keterpaduan prinsip empat olah tersebut secara ringkas ditunjukkan sebagai berikut (Zubaedi, 2011, p. 72).
Â
Â