Mohon tunggu...
Artani Hapsari
Artani Hapsari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Berpraktik sehari-hari di Lembaga Psikologi Insania Indonesia Gresik. Tertarik pada bidang ilmu psikologi, terutama psikologi remaja dan dewasa awal. Semoga tulisan yang saya bagikan dapat bermanfaat :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Psikolog Juga Manusia

20 Februari 2022   22:10 Diperbarui: 20 Februari 2022   22:25 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.verywellmind.com/

Judul yang saya buat mungkin mengingatkan kita semua pada sebuah lagu di awal tahun 2000-an, yaitu Rocker Juga Manusia yang juga punya rasa dan punya hati. Mengapa saya perlu membuat tulisan ini?

Beberapa minggu lalu seorang rekan kerja (bukan psikolog) yang bekerja di sebuah instansi pemerintahan curhat kepada saya. Tiba-tiba dia bilang "Mbak, ternyata profesimu  itu ada juga ya yang nggak baik. Ya keras kepala, ya egois, ya semaunya sendiri." Secara pribadi, saya tidak tahu siapa yang beliau maksud dan konteks obrolan yang mereka lakukan. Namun karena yang dibahas adalah rekan satu profesi, sehingga saya pun merasa terusik dengan pernyataan tersebut. Muncul pertanyaan di dalam hati saya seketika itu "Memangnya kalau psikolog nggak boleh ya keras kepala? Nggak boleh egois?" Apabila memang masih dalam lingkup pekerjaan, seorang psikolog memang diharuskan melepas atribut pribadinya dan selalu mengutamakan kepentingan klien di atas kepentingan pribadi. Sebaliknya, apabila obrolan yang dilakukan di luar konteks pekerjaan dan profesionalisme maka membawa-bawa atribut profesi dalam keluhan pribadi tersebut saya rasa kurang tepat.

Saya paham betul bahwa tugas seorang psikolog adalah untuk melayani klien. Sebagai seorang psikolog klinis yang juga bagian dari tenaga kesehatan layaknya dokter, perawat, bidan, dsb kami telah disumpah untuk menjaga integritas pekerjaan dan selalu mendahulukan kepentingan klien. Namun banyak orang terkadang lupa bahwa di luar profesi dan pekerjaan tersebut, kami juga manusia biasa yang butuh waktu untuk diri kami sendiri. 

Sehari-hari, saya pribadi menyadari bahwa ada 2 sisi yang berbeda dari diri saya. Yaitu Artani "Seorang Psikolog" dan Artani "Si Bukan Siapa-Siapa." Saat di dalam ruangan bertemu klien, saya harus menjaga suasana hati agar tetap baik sehingga bisa menyalurkan energi positif dan menyerap energi negatif. Sering kali saya hanya diam mendengarkan klien bercerita sambil menangis selama 2 jam lebih karena memang itu yang mereka butuhkan. Setelah sampai di rumah, saya masih harus mengerjakan beberapa laporan profiling harian atau mingguan yang juga mengharuskan saya mengingat kembali apa yang terjadi saat itu di ruang praktik. Oleh sebab itu, penting rasanya untuk punya waktu melepaskan atribut profesi dan menjadi diri saya yang sebenarnya. Itulah yang selama ini saya lakukan. Di hadapan rekan kerja dan di tempat kerja, saya akan bersikap profesional sesuai bidang yang saya kuasai. Di rumah, saya adalah anak dari bapak dan ibu saya serta adik dari 2 orang kakak saya. Di lingkungan sosial, saya juga melakukan hal-hal bodoh dan bersenang-senang dengan teman-teman saya. Bahkan saya juga butuh berkeluh kesah dengan orang lain. Psikolog juga butuh psikolognya sendiri saat mereka sedang merasa tidak baik-baik saja.

Mengapa kita perlu sesekali melepaskan atribut profesi yang melekat pada diri kita? Hal ini sebetulnya berkaitan erat dengan self-worth atau keberhargaan diri, yaitu sejauh mana kita memberikan apresiasi pada diri sendiri bahwa kita berharga (Ackerman, 2021). Self-worth adalah bagian dari salah satu aspek penting yang harus dimiliki sebagai bentuk rasa cinta terhadap diri sendiri. Berkembangnya sosial media beberapa tahun terakhir ini tak dipungkiri membuat kita berlomba-lomba untuk menunjukkan siapa diri kita dari apa pekerjaan kita, apa yang kita miliki, barang apa yang kita kenakan, dan hal lainnya yang sebenarnya tidak mendefinisikan diri kita yang sebenarnya (Hill, 2018).

Dari pernyataan tersebut, kurang tepat apabila rasa keberhargaan diri masih dikaitkan dengan atribut lain seperti profesi, pencapaian karir, atau status ekonomi. Kita perlu melihat ke dalam diri sendiri apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan kita sebagai seorang manusia. Sehingga meskipun nanti kita tidak menyandang status tersebut, kita masih bisa menjadi diri sendiri dalam versi terbaik.

Tulisan ini saya buat untuk menjadi bahan renungan bersama. Tidak peduli direktur, fotografer, influencer, dokter, psikolog, atau presiden sekali pun, kita semua merasakan hal yang sama karena kita punya masalah dan kekhawatiran masing-masing. Ada kalanya kita merasa tidak berharga, putus asa, dan lelah luar biasa sehingga berdampak pada perilaku yang kita tampilkan ke lingkungan. Terkadang kita terlalu sibuk untuk fokus pada atribut yang melekat sehingga kita melupakan satu fakta penting, bahwa sebelum menjadi apa pun kita telah terlebih dahulu menjadi MANUSIA.

Sumber:

Ackerman, C.A. (2021). What is Self Worth and How Do We Increase It. Diakses pada tanggal 20 Februari 2022 dari https://positivepsychology.com/self-worth/

Hill, J.T. (2018). What is Self Worth and How to Recognize Yours. Diakses pada tanggal 20 Februari 2022 dari https://positivepsychology.com/self-worth/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun