Mohon tunggu...
Arta Elisabeth
Arta Elisabeth Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca, Penulis dan Penghayat Sastra

Pembaca yang sedang senang-senangnya membaca dan menghayati sastra

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Karakter 2020

7 Januari 2020   14:34 Diperbarui: 9 Januari 2020   08:07 1391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan Karakter

Memasuki tahun 2020 artinya juga siap menjadi bagian dari program Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dalam menekankan Pendidikan Karakter melalui penghapusan UN yang akan berlaku pada tahun ajaran 2020/2021. Kendati gebrakan ini menimbulkan pro dan kontra dari berbagai macam pihak, namun nyantanya Presiden Joko Widodo turut mendukung penuh penilaian survei karakter yang sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendikbud No 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Seto Mulyadi juga berpendapat bahwa UN cenderung hanya mengakomodasi sisi ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara unsur lain seperti estetika, etika, dan nasionalisme justru dikesampingkan. Maka tidak heran, jika banyak aksi pelajar yang meresahkan masyarakat secara nasional, maupun dalam regional Yogyakarta, antara lain aksi klitih yang kerap menelan korban jiwa, tindakan asusila, radikalisme dan berbagai kasus lainnya yang perlu mendapat perhatian khusus.

Berdasarkan dari data Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, kasus pengaduan anak berdasarkan Klaster Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) (Januari-Februari 2019) sekitar 24 kasus di sektor pendidikan dengan korban dan pelaku anak yang didominasi oleh kekerasan. Sementara, berdasarkan informasi dari Kepala Divisi Humas Jogja Police Watch, Baharudin Kamba setidaknya ada 13 kasus Klitih dengan dua korban meninggal di Yogyakarta pada tahun 2018 dan kasus serupa masih terjadi hingga akhir tahun 2019 dengan kasus pembacokan seorang mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) oleh 3 pelajar SMP hingga mengalami luka yang cukup parah di bagian kepala dan tangan pada Minggu (10/11/2019) dan pembacokan terhadap siswa kelas XII oleh dua pelajar SMP pada Minggu (2/12/2019) dini hari (KrJogja).

Kasus asusila juga kerap terjadi, seperti viralnya video hubungan intim berdurasi lima detik hasil rekaman pelajar lain juga berada di ruangan yang sama di Tuban, Jawa Timur awal Oktober lalu. Radikalisme yang disoroti Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu juga menyasar sekitar 23,4 persen mahasiwa dan sekitar 23,3 persen siswa SMA yang setuju dengan aksi jihad dan berkomitmen memperjuangkan negara Islam atau Khilafah.

Dalam menangani berbagai kasus tersebut, strategi dan konsep pendidikan karakter ala Nadiem sebaiknya berlandaskan pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya pada keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender dan ras. Guna mengefektifkan pesan "penguatan pendidikan karakter", seluruh pelaksana program, mulai dari Kemendikbud, dinas pendidikan, sekolah dan seluruh lembaga terkait hingga ke daerah pelosok tanpa terkecuali perlu memperhatikan aliran komunikasi formal yang bisa dijadikan sebagai sebuah pedoman untuk dapat saling berkomunikasi antara lain komunikasi dari atas ke bawah, bawah ke atas, horizontal dan diagonal.

Komunikasi dari atas ke bawah perlu dimonitoring secara profesional sehingga program pendidikan karakter dapat terlaksana dengan baik hingga ke daerah pelosok secara merata. Sementara komunikasi dari bawah ke atas dapat diwujudkan melalui laporan pelaksanaan program pendidikan karakter baik secara tertulis atau lisan dengan cara konvensional ataupun digital (online) oleh para pengajar kepada pembuat kebijakan. Selain itu, perlu pertemuan kelompok rutin sebagai bentuk evaluasi dari pelaksanaan program dan hal yang perlu dibenahi kedepannya sehingga hal perlu dipertahankan ataupun dibenahi dapat segera dilakukan dengan cepat.

Komunikasi horizontal antar pengajar juga perlu diperhatikan karena bagaimanapun pengajar merupakan role model bagi para peserta didik, maka iklim komunikasi efektif harus dipelihara dengan baik sehingga sinergisitas dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dapat terwujud. Selain itu, komunikasi diagonal yang merupakan aliran komunikasi dari lembaga pendidikan terkait yang memiliki hierarki yang berbeda sekalipun tidak memiliki hubungan kewenangan secara langsung juga perlu saling mendukung satu sama lain. Dengan demikian Pendidikan karakter berlandasarkan Pancasila yang dicanangkan Nadiem dapat berjalan secara efektif kepada peserta didik.

Arta Elisabeth Purba

Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun