Secara historis, perkembangan kota Yogyakarta dimulai sejak berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdasarkan Perjanjian Giyanti tahun 1755. Secara garis besar, isi Perjanjian Giyanti adalah membagi Mataram menjadi dua bagian yaitu Kesultanan Surakarta di bawah pimpinan Pakubuwana III dan Kesultanan Yogyakarta di bawah kepemimpinan Pangeran Mangkubumi atau yang kemudian bergelar Hamengkubuwana I.
Pasca terjadinya Perjanjian Giyanti tersebut, kondisi politik di Jawa Tengah dapat dikatakan hampir stabil. Begitupula dengan VOC yang sedari awal turut campur dalam setiap konflik Kerajaan Mataram, di akhir tahun 1760 an sudah stabil dengan peran barunya sebagai penguasa daerah pesisir atau sekitar Kota Semarang. (Ricklefs , 2001, hlm 227). Kondisi tenang ini kemudian dimanfaatkan oleh Hamengkubuwana I untuk melakukan pembangunan-pembangunan di Istana nya. Hamengkubuwana I berusaha keras agar VOC tidak mencampuri urusan-urusan istana karna sangat menyadari kekuatan potensial VOC yang kapan pun bisa saja memperalat kekuasaannya. Bahkan, Hamengkubuwana I mencegah VOC untuk membangun benteng pertahanan yang kuat di Yogyakarta sampai menjelang akhir pemerintahannya.Â
Benteng pertahanan yang dimaksud adalah sebuah benteng yang berdiri di depan keraton Kasultanan Yogyakarta. Awal mula pembangunan benteng ini adalah ketika timbulnya kekhawatiran VOC terhadap kemajuan Keraton Yogyakarta. VOC menyadari sikap Hamengkubuwono I yang sangat anti terhadap mereka, sehingga agar tidak menimbulkan kecurigaan akhirnya mereka memohon kepada Hamengkubuwana I untuk dibuatkan sebuah tempat yang dapat digunakan pasukan VOC untuk membantu menjaga keamanan istana keraton. Alasan tersebut sebenarnya hanyalah 'alibi' VOC saja agar permintaannya dapat diwujudkan, karna pada kenyataannya benteng yang nantinya dibuat akan dipergunakan sebagai tempat memantau dan mengontrol segala kegiatan di dalam keraton.
Menurut cerita gubernur pantai utara (kini Semarang) M.Hartingh, pada tahun 1760 benteng yang dibangun oleh Hamengkubuwana I untuk pasukan VOC di Yogyakarta itu sederhana sekali yakni tembok dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren. Kondisi benteng tersebut tidak mengalami perubahan hingga akhirnya pada tahun 1765 W.H Van Ossenberch gubernur pengganti Hartingh mengusulkan pada Hamengkubuwana I agar benteng VOC itu diperbaiki menjadi lebih kokoh untuk menjamin keamanan orang-orang Belanda (Wibowo, 2019, Â hlm 107). Usul tersebut disetujui oleh Sultan dan dua tahun kemudian pembangunan tersebut dimulai dibawah pengawasan ahli bangunan Ir. Franks Heak. Pembangunan benteng ini berjalan sangat lambat, padahal direncanakan selesai dalam waktu satu tahun saja. Hingga tahun 1781, yang saat itu Gubernur Pantai Utara Jawa adalah J. Siberg dilaporkan bahwa penyebab lambatnya pembangunan ini adalah karena Sultan hanya sibuk membangun istananya. Setelah 28 tahun pembangunan akhirnya benteng ini selesai dan diresmikan dengan nama Rustenbergh pada tahun 1787.
Fungsi awal Benteng Vredeburg adalah sebagai tempat tinggal perwira maupun prajurit VOC. Bangunan yang saat ini berfungsi sebagai Diorama 1 dan Kantor Administrasi pada Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, pada awalnya merupakan barak bagi para perwira. Peranan VOC di Yogyakarta memang lebih difokuskan dalam militer bukan untuk perdagangan. Hal ini dikarenakan pusat perdagangan di Jawa Tengah itu berada di Kota Semarang yang merupakan daerah pesisir. Berdirinya benteng vredeburg pun dimaksudkan sebagai benteng pengawasan jikalau terjadi pemberontakan di dalam Keraton Yogyakarta. Hal ini jelas terlihat dari dekatnya jarak benteng dengan keraton yang berada pada jarak meriam.
Kecurigaan VOC terhadap petinggi-petinggi Jawa memang tidak pernah lenyap, pada bulan September 1789 VOC menerima kabar bahwa Raja-raja Jawa akan melakukan penangkapan dan juga pembunuhan terhadap orang-orang Eropa. Oleh karena itu, VOC kemudian mengutus Andries Hartscik dengan menggunakan pakaian adat Jawa untuk ikut menghadiri pertemuan rahasia di Istana Jawa. Rasa panik mulai melanda VOC apalagi di tahun ini kesehatan Sultan Hamengkubuwana I terus memburuk yang mana besar sekali kemungkinan terjadinya serangan militer dair pihak Surakarta.
Benteng vredeburg yang sedari awal menjadi pusat militer VOC Â memiliki pasukan yang dapat bertempur kapan saja. Hal ini menjadi tujuan Hamengkubuwana I untuk meminta kerjasama dari VOC agar membantu pihak Keraton Yogyakarta untuk menggagalkan rencana penyerangan oleh Pakubuwana IV. Hal ini disetujui oleh VOC dengan cara mendatangkan pasukan-pasukannya dari Madura, Bugis, Melayu dan Eropa ke benteng vredeburg untuk persiapan penegpungan Keraton Surakarta. Akhirnya, pada bulan November 1790, ratusan serdadu dari Yogyakarta, daerah Mangkunegara I, dan VOC mengepung sekitar Surakarta. Krisis hebat terjadi di dalam keraton yang sudah dikepung, para pangeran dan pejabat senior Surakarta segera mendesak Pakubuwana IV agar segera meninggalkan rencana-rencana mereka sebelum kerajaan hancur.
Penyelesaian konflik ini adalah keluarnya perjanjian baru yang merumuskan unsur-unsur pokok dari pembagian yang permanen atas Jawa Tengah. Atas desakan VOC pula, perjanjian ini ditandatangani oleh Pakubuwana IV, Hamengkubuwana I, Mangkunegara I, dan Gubernur VOC untuk wilayah pesisir timur laur, Jan Greeve. Campur tangan VOC dalam pemerintahan dan militer kerajaan di Yogyakarta tidak berlangsung lama karna pada tahun 1799, lembaga ini mulai mengalami keruntuhan yang diakibatkan oleh kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pejabat di dalamnya sehingga kebangkrutan tidak dapat dihindarkan lagi. Kondisi ini berpengaruh terhadap status kepemilikan benteng vredeburg. Secara yuridis formal benteng ini tetap miliki kasultanan tapi penggunaan benteng secara de facto menjadi milik Bataafsche Republik (Pemerintah Belanda) di bawah Gubernur Van Den Burg dan tetap difungsikan sebagai markas pertahanan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H