Kerap kali perempuan tidak sadar siapa pemilik utuh tubuhnya, perempuan dibentuk sejak awal oleh kaum patriarki. Sehingga mereka berpikir bahwa ayah dan suami-nya kelak yang menjadi pemilik tubuhnya. Siapa sangka bahwa banyak isu kekerasan seksual yang beredar, salah satunya seorang ayah memerkosa anaknya sendiri hingga 100 kali (detik.com, 31 agustus 2023).
Teman, kerabat, keluarga rasanya bukan tempat dan ruang yang aman untuk sesekali waktu membahas tentang seksualitas. Teknologi informasi juga kurang mengeksplor mengenai seksualitas, sebab sampai saat ini pembahasan mengenai seksualitas masih dianggap sangat tabu. Semasa duduk di bangku SD,SMP, pun tidak ada guru biologi yang mampu menjelaskan dan menunjukan bagaimana bentukan reproduksi perempuan. Bagaimana proses masuknya penetrasi ke vagina, bagaimana ketika sel sperma masuk ke dalam ovum upaya untuk terjadinya pembuahan.
Sejak kecil kita tidak diajari untuk mengenal tubuh kita sendiri, kita tidak diajari untuk mencintai tubuh kita sendiri, kita tidak diajari untuk memberikan batasan-batasan bagi orang-orang diluar sana yang ingin menyentuh tubuh kita, kita tidak diajari bahwa untuk menyentuh tubuh orang lain juga harus meminta izin terlebih dahulu.
Sejak kecil kita sudah ditanamkan bahwa perempuan harus menjaga kesucian-nya, untuk siapa? Untuk suami kita kelak. Sejak kecil kita sibuk ditakutkan oleh kehamilan, daripada mengajarkan mereka untuk mengenali tubuhnya dan bagaimana cara menghindari kehamilan yang tak terencana.
Disini kita juga akan kesulitan menerima bahwa keperawanan adalah hoax belaka, sebab keperawanan hadir hanya untuk melahirkan stigma bahwa hanya perempuan yang belum pernah berhubungan seksual-lah yang masih dianggap perawan. Tanpa melirik bahwa tidak semua perempuan dikarunai selaput darah, tidak mencari tahu ketika bagian dari vagina terkena benturan maka akan terjadi robekan organ kelamin (misalnya labia mayora, labia minora, hymen).
Ketika perempuan selalu berbicara mengenai seks maka disitu pula akan muncul pemikirian bahwa perempuan yang kerap kali membicarakan seks maka dia mau-mau saja untuk melakukan hubungan seksual, bahkan di labeli perempuan sangean. Dengan adanya pendidikan seksual mengajarkan kita bahwa, untuk melakukan aktivitas seksual sekalipun harus ada persetujuan di dalamnya (consent) tidak hanya sekedar bertanya, sebab dengan pertanyaan yang ada tidak benar-benar membuat perempuan menjawab pertanyaan tersebut.
Barangkali untuk menghindari kekerasan seksual, perempuan mampu meng-iyakan ajakan tersebut. Disitulah terjadi ketimpangan seksual, karena konsep persetujuan yang tidak seimbang. Dengan adanya pendidikan seksual perempuan mampu menuhankan dirinya sendiri untuk merasakan kenikmatan seksual, tanpa sekalipun bergantung pada laki-laki.
Dengan adanya pendidikan seksual, kita akan lebih berhati-hati untuk melakukan hubungan seksual. Tubuh perempuan bukanlah ajang pertarungan seksual untuk mendapatkan dan memenuhi hasrat kejantanan daripada laki-laki. Seks bukan ajang pertarungan. Seks adalah sarana untuk mengenal tubuh, mencintai tubuh, dan berbagi kasih sayang dengan pasangan.
Perempuan saja mampu menuhankan dirinya sendiri untuk mendapatkan kenikmatan seksual, bagaimana dengan lelaki? Apakah dia menuhankan perempuan untuk memenuhi hasrat seksualitasnya?
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H