Waktu menunjukkan sekitar pukul 20.00 WIB, wanita karir yang sudah berumah tangga itu pulang ke rumahnya. Tanpa banyak bicara ibu mertua dari wanita tersebut mengeluarkan kata-kata yang tak pantas di dengar di depan laki-laki juga anak dari wanita itu. Pulang dengan tubuh lelah menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga juga wanita karir yang dibilang tidak mudah. Merias wajah, menjaga pakaian, adalah syarat wanita dalam dunia kerja. Kuku yang harus dirawat, rambut yang terurai indah, postur badan yang ideal, dan tidak boleh ada bercak.
Ucap sang ibu mertua, kamu dari mana saja? Pulang selepas kerja lalu membiarkan suami mu memasak? Merawat se isi rumah? Membuang kantong plastik yang berisikan sampah? Bukankah itu tugas mu? Dengan tatapan yang menjengkelkan ia juga berucap bahwa anak laki-laki tersebut dibesarkan dengan sepenuh hati bak pangeran namun ketika menjalani kehidupan berumah tangga malah menjadi pembantu, tak sungkan wanita itu menjawab aku juga dibesarkan dan diperlakukan layaknya putri sebelum menjalani kehidupan berumah tangga.
Memasak, mencuci, merawat anak dan suami, menjaga se isi rumah, mengandung, tidak hamil, dituntut untuk tetap mempertahankan postur tubuh yang ideal, wajah yang tidak lusuh dan tetap cantik meski sudah sangat lelah setelah mengurusi seisi rumah, seakan sudah menjadi kewajiban wanita ketika menjalani kehidupan berumah tangga. Menikah di umur yang mudah di bilang perempuan tidak baik? Bukankah itu ada sangkut pautnya dengan sisi keluarga wanita yang paham akan agama? Menikah di umur 25tahun? Jangan kelamaan kata mereka nanti akan sulit mendapatkan laki-laki. Menikah di umur 30 tahun bahkan lebih, akan lenih jahat lagi mulut-mulut manusia diluaran sana.
Mengambil alih seisi tubuh perempuan seolah barang dan memang hanya dipandang sebagai objektivitas saja adanya, diperlakukan layaknya mesin  yang bisa saja diperdayakan semau mereka dan harus dituruti. Mau sekolah sampai perguruan tinggi? Tidak usah ucap mereka, nanti tidak akan ada laki-laki yang mau sebab minder dengan wanita yang mau sekolah tinggi-tinggi. Bukankah anak butuh bekal? Bekal masa depan dengan mempunyai ibu yang tidak hanya sekadar ibu. Menikah bukan hanya soal umur, bukan tentang memuaskan hasrat, bukan jalan pintas dari permasalahan yang sedang dihadapi, wanita bukan barang untuk dipertaruhkan. Sehingga bisa diatur kapan saja tanggal untuk melemparinya kepada pihak yang kalian saja tidak tahu betul bagaimana seluk beluknya.
Menikah atau tidak itu pilihan, menikah dala keadaan mental yang tidak matang, tumbuh dari keluarga yang runtuh itu tidak mudah, dipaksa membaik-baikkan keadaan yang sudah jelas buruk, mengesampingkan ego demi kebahagiaan orang lain semata, tetap tersenyum dan tenang padahal aslinya sudah kacau. Dimana letak dunia memihak wanita? Seakan-akan tubuh wanita menjadi kehendak orang lain yang harus menjadi sempurna ketika diinginkan. Di bantai habis-habisan ketika sudah tidak sesuai porsi yang telah diminta.
Bukankah beberapa hal yang sudah menjadi tabiat wanita sejak ia ada di dunia juga seharusnya menjadi hal yang lumrah ketika dilakukan para lelaki? Kenapa kata-kata jahat itu selalu masuk ke dalam telinga saya, bahwa wanita itu tugasnya di dapur, menyapu, mengepel, memasak, mencuci piring, mencuci baju, mengurusi anak. Sudah dilakukan, malah dituntut untuk tetap tampil cantik dan tidak kumuh, sudah menuntut tapi tidak memberikan uang, sama saja. Omong kosong!
Berikan ruang kepada wanita untuk menggapai segala cita-citanya maka ia bisa merawat apa yang harus ia rawat, akan tetap tampil cantik meskipun sudah lelah seharian. Apa yang kalian harapkan dengan tubuh wanita setelah ia mengandung? Setelah ia melahirkan? Tidak akan sama seperti dulu lagi, pun jika akan kembali waktu dan uang adalah jawaban dari segala-galanya. Jika hanya sebatas mengharapkan tanpa bisa memberikan waktu dan uang, maka telan saja omong kosongmu.
Seperti di penjara saja, mau kesana kemari saja rasanya seperti dibuntuti, CCTV ada di mana-mana, bukankah perempuan juga ingin bebas, mungkin rasanya begitu berat, sebab stigma-stigma yang ada sudah melekat erat didalam kepala masyarakat. Umur tubuh perempuan seperti sudah diatur kapan batas ia harus berhenti atau memilih untuk berjalan terus. Berhenti sebab telah diberikan pilihan, memilih untuk berjalan terus sebab telah menentukan pilihan. Perempuan yang tidak bekerja akan dengan mudahnya dipandang sebelah mata, perempuan yang tumbuh dari keluarga sederhana akan dengan mudah dipandang sebelah mata, bukan begitu? Iya.
Sebegitukah kalian memandang perempuan? apakah harus perfeksionis dari segala sisi? Menjadikan tubuh perempuan kehendak atas segala yang kalian ingin? Tidak. Tidak menikah ataupun menikah itu pilihan, memilih menjadi wanita karir ataupun ibu rumah tangga itu pilihan, bahkan untuk menjalani keduanya wanita pun bisa, memasak? Mencuci? Menyapu? Itu adalah tugas laki-laki bukan semata-mata kewajiban perempuan.
Berpenampilan ataupun tidak itu adalah pilihan, terlebih jika sudah menerima diri sendiri, menikah cepat ataupun lambat itu pilihan banyak hal yang harus di matangkan bukan hanya sekadar aku menerima kurang dan lebih mu. Kehidupan setelahnya tidak sebercanda itu, dunia tidak bepihak pada perempuan yang sebagaimana rupa ia bertumbuh. Tetaplah memperjuangkan hal-hal yang masih banyak diperdebatkan bahkan masih terdengar asing ketika diperbincangkan, tidak ada yang salah ketika dibicarakan, yang salah itu ketika kita hanya tunduk dan mau saja diperbudak oleh dunia dan seisinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H