Selain kasus korupsi kasus apalagi yang hanya dipandang sebelah mata? Bahkan tidak mendapat dukungan dari sosial malah disalahkan. Iya, kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan. Dalam tulisan kali ini saya tidak mengatakan bahwa kasus tersebut hanya terjadi kepada perempuan sahaja. Kasus tersebut juga bisa terjadi dikalangan kaum adam, namun tidak dipungkiri ketika laki-laki mendapati kasus tersebut yang ada mungkin malah dipertanyakan, apakah iya kamu lelaki namun mendapatkan perlakuan semacam itu? Tanggapan tersebut menuai kesimpulan bahwa hal tersebut mustahil bahkan jarang terjadi dikalangan lelaki.
Dari pertanyaan di atas dijadikan boomerang apabila hal tersebut terjadi pada perempuan, pertanyaan yang sering kali timbul ketika hal tersebut terjadi kepada peempuan adalah, apa memang betul pelaku melakukan itu?, jangan-jangan pakaiannya terlalu terbuka, mungkin perempuan itu mencoba merayu pelaku, bagaimana jika korban berhijab? Mengulurkan sekujur gamis sampai tidak ada lekukan pada tubuhnya yang terlihat? Siapa yang patut disalahkan? Apakah perempuan juga? Pernyataan lain juga saya dapati begini ujarnya,"makanya kalau ke sekolah jangan banyak gaya" pernyataan ini saya dapati di salah satu story instagram yang memposting soal kasus kekerasan yang terjadi pada anak siswi SMP di Mesuji yang dicabuli teman, ketika korban hendak melaporkan kasus tersebut, kepala sekolah malah mencabuli kembali siswi SMP tersebut.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan korban ketika mendapati pernyataan seperti itu, begitu juga dengan rasa trauma. Bukan ditindak lanjuti, difasilitasi dalam sisi psikis namun malah menambah rasa trauma. Di dalam dunia pendidikan kasus kekerasan seksual seperti sudah tidak asing lagi, pun jika ditindak lanjuti hanya dari sisi pelakunya saja. Bagaimana dengan kondisi korban? Bagaimana jika korban merasa depresi berat dan  memilih untuk mengakhiri hidup? Apakah pihak memikirkan itu? Sejatinya mereka hanya ingin menjaga nama baik pendidikan saja, tidak menjamin tuntas sampai dimana dan bagaimana kondisi korban.
Bagaimana dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekolah islam? Pesantren? Kepada perempuan yang berkerudung? Kenapa kasus kekerasan seksual berbasis agama sekarang masih marak? Di dalam postingan instagram perempuan berkisah dituliskan bahwa, sudah jadi korban dituduh lemah iman pula, faktanya kekerasan seksual pesantren ada di posisi kedua sebanyak 19%, lembaga pendidikan yang banyak terjadi kekerasan seksual, menurut komnas perempuan. Banyaknya kasus kekerasan seksual di organisasi agama terjadi karena mitos: orang-orang yang paham (dan memiliki ilmu) agama tidak akan pernah menjadi pelaku atau korbam kekerasan seksual.
Salah satu alasan kenapa KKS berbasis agama bisa terjadi karena buah dari anggapan bahwa pemuka agama dan pemimpin lembaga agama yang memiliki kuasa secara relijius tidak mudah ditolak jika menginginkan sesuatu. Terlebih, lembaga agama memiliki struktur sosial yang kuat dan berpengaruh. Ada beberapa kekhasan masyarakat ketika mengetahui bahwa pelaku dari KKS adalah bagian dari lembaga keagamaan yaitu: dianggap khilaf dan perlu dimaafkan, disebutkan terus kontribusinya selama ini pada agama, dihilangkan kasusnya demi menjaga nama baik, menyalahkan korban dengan dalih lemah iman, menganggap kekerasan seksual yangg terjadi adalah hubungan antara suka sama suka. Hal yang lebih mengkagetkan lagi adalah korban diminta untuk memaafkan pelaku dan dibungkam dengan memanfaatkan ketimpangan relasi kuasa korban dengan pelaku.
Kekhasan masyarakat ini juga terjadi tidak hanya dalam respon pelaku KKS berasal dari lembaga keagamaan namun respon yang sama juga terjadi ketika pelaku berasal dari kalangan masyarakat biasa maupun dalam kerja-kerja sosial yang lainnya. Saya sampai heran kenapa masih banyak yang mempertanyakan hal yang tidak-tidak kepada korban? Bagaimana rasanya jika kalian ada di posisi korban? Lalu menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang tidak enak didengar bahkan malah menambah beban pikiran saja.
Bagaimana dengan yang sudah menutup aurat lalu dijadikan objektivitas? Ketika yang terlihat hanya wajah dan telapak tangan? Ketika yang dipakai netral-netral saja? Yang tidak mengundang hawa nafsu? Siapa yang harus disalahkan? Perempuan juga kah? Sulit diakui ketika hal itu terjadi yang salah adalah lelaki, dengan sejuta pikiran keji yang ada, yang hanya memikirkan tentang hasrat seksualitas saja. Jika banyaknya ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat namun tidak bisa dikaitkan dengan agama, bagaimana dengan ini? Perempuan yang bebas dalam mengekspresikan segala hal pada dirinya patut berlindung atas hak asasi manusia (HAM) yang ada. Bukankah hal tersebut juga sama? Atau beda? Beban moral yang ada pada perempuan sudah sangat banyak dibandingkan lelaki. Kata 'tidak apa-apa' selalu diberikan kepada laki-laki tidak kepada perempuan.
Bukankah kita sama? Hanya berbeda gender saja, mungkin. Kata yang 'baik' diperolehkan untuk perempuan, kata yang 'buruk' diperolehkan untuk laki-laki. Hal tersebut hanya untuk menjaga dan melindungi perempuan, bukankah kehancuran kebanyakan perempuan diawali karena terlalu banyak menerima tuntutan dan kekangan? Sekelas saya saja memilih untuk jauh dan rantau sebab ingin merasakan apa arti kata "kebebasan" yang sebenarnya.
Tidak mudah untung memberikan edukasi mengenai kekerasan seksual di zaman yang semakin maju ini, media sosial seakan hanya menjadi tempat untuk hura-hura saja, tidak ada hal lain, pun jika ada mungkin hanya akan dilewatkan. Tidak ada yang spesial jika hanya itu-itu saja, bukan maksud untuk memandang sebelah mata orang lain. Namun bukankah generasi Z sekarang bahkan anak kecil dan bayi pun sekarang sudah menguasai betul dan meluangkan waktu 1x24 jam untuk menatap layar handphone? Penting juga untuk mengajari pada sikecil sejak dini tentang edukasi seksual dan kekerasan seksual, pada remaja? Orang dewasa? Orangtua? Kenapa tidak? Belum terlambat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H